Jakarta Kala Itu

214 13 0
                                    

         Pertengahan bulan November tahun 2017. Pertama kalinya saya menginjakan kaki di ibu kota Jakarta. Mungkin sedikit berlebihan, namun jujur saya merasa kesal dengan kota ini. Dari balik layar televisi saya memiliki opini tersendiri, yaitu kota Jakarta adalah kota yang penuh dengan ambisi dan polusi. Ada satu hal lagi yang paling membuat kesal, yaitu tradisi untuk saling menghakimi.

         Saya tidak memiliki rencana akan berapa lama, yang dipikirkan hanyalah saya rindu dengan dirinya dan ingin segera bertemu. Masih tengah malam, beberapa jam lagi sebelum kereta sampai di kota itu, saya masih terlalu berlebihan dengan membingungkan hal apa yang akan dilakukan saat bertemu untuk pertama kali. Mungkin sapaan, sebuah pelukan hangat, atau justru akan diam beribu bahasa. Lagian diam bukan berarti tidak tahu apa-apa, tapi karena bahasa tidak bisa mewakilkan perasaanya.

         Jaket kumal melekat pada kaos oblong warna putih kumal, lengkap dengan sepaket celana sobek, dan sepatu converse abu-abu yang tidak mau kalah kumal. Saya berjalan menyusuri jalan keluar Stasiun Pasar Senen, melewati lorong menuju lobby tempat penjemputan. Dengan segelas botol kopi , saya mencoba untuk menikmati atmosfir kota dengan setiap teguk pahitnya.

          Cukup lama saya menunggu, hingga akhirnya dia berada tepat ada di depan mata, lengkap dengan senyum manis yang perlahan merekah. "Sialan, saya jatuh cinta untuk kesekian kalinya"

          "Oi" Sapanya bersamaan dengan tawa manja yang sering ia pamerkan dari balik telfon.

         Obat apa yang dapat meredakan rindu selain sebuah pelukan? Sepertinya tidak ada. Satu lagi penyesalan yang dirasakan di pagi ini adalah tidak memeluknya. Nyali kian menciut dan enggan untuk tersampaikan, bersamaan dengan tingkah yang kaku, seolah sedang mencoba untuk merayakan pertemuannya sendiri.

         Alih-alih untuk mencairkan suasana, namun justru melakukan kesalahan untuk yang pertama kalinya. Menginjak sepatu putih yang baru saja di cuci semalam. Ya, senyumnya berubah menjadi lekukan, cemberut, tapi tidak lama. Sepertinya ia hanya berusaha untuk memperbaiki moodnya seolah tidak terjadi apa-apa, ia tidak ingin menodai sebuah pertemuan.

         "Nunggunya lama ya?" Tanyanya.

        "Engga kok, paling cuman 15 menitan doang" Jawab saya dengan penuh kehati-hatian, ada mood yang harus saya jaga.

        "Oh iya, nanti kamu tidur dimana?" Tanyanya setengah khawatir, maklum saya datang ketempat ini tanpa persiapan yang matang.

        "Belum tau, ntar aja aku cari di aplikasi online, yang penting cari yang murah sama deket sama rumahmu"

        "Yaudah, ini nanti kerumahku dulu ya?"

        "......"

        Cukup mengangetkan, semua memang tanpa persiapan. Tau apa yang saya pikirkan? Saya merasa tidak percaya diri. Apalagi soal kostum, memang ini adalah kostum yang biasa digunakan pada kehidupan sehari-hari, namun ini berbeda. Saya hanya takut jika di nilai berdasarkan tampak luarnya saja, tanpa harus mengenal lebih dalam hingga memberikan restu pernikahan suatu saat nanti. Semoga saja perkenalan dengan orang tuanya bisa berjalan dengan lancar. Semua itu tidak terlepas dari jawaban "Gapapa" pada setiap pertanyaan yang saya tanyakan.

         "Ini beneran gapapa? Celanaku sobek-sobek loh, nanti kalo ibumu ga nerima aku gimana?" Sesekali saya menanyakan hal ini, dan jawabanya pasti sama "Santai aja Ji, Gapapa kok".

         Rasa tidak percaya diri semakin berantakan saat kaki mulai memasuki gerbang rumah. Berusaha biasa saja seolah tidak terjadi apa-apa ternyata tidak jauh lebih baik. Justru semakin engah dengan sesekali menatap celana sobek yang saya gunakan. Gaya seorang petualang yang tidak takut dengan gelapnya perjalanan, tapi takut jika tidak mendapatkan restu orang tuanya.

SucoWhere stories live. Discover now