Mengevaluasi

162 8 0
                                    

         Semua sudah berjalan dengan rencana. Bersama kedua kawan, saya memutuskan untuk melakukan pendakian di Gunung Andong. Kita mendaki gunung untuk mengevaluasi diri, menghitung entah sudah berapa banyak ego yang kita hamburkan untuk membanggakan diri sendiri. Semakin lama, maka semakin mengerti jika membanggakan diri tidaklah lebih penting dari bisa membahagiakan orang lain. Mungkin hanya ambisi, atau obsesi yang menjadi-jadi, tapi diri juga harus di evaluasi dan semoga bisa terobati.

         "Udah tau hujan, tapi kok masih dipaksain naik gunung sih?"

         "..."

         "Kalo udah tau badai mending gausah naik gunung deh. Lagian juga ngapain kamu naik gunung tengah malem gini."

          "..."

         "Yaudah terserah. Kamu naik gunung sehat, turun juga harus sehat." Tegasnya dari pesan singkat yang ia kirimkan beberapa menit yang lalu.

          Tengah malam, kita memaksakan diri untuk memulai pendakian. Hujan masih terlalu lebat, tapi tidak menyurutkan tekat seorang pria yang keras kepala. Dari berbagai macam opsi dan pertimbangan untuk tidak melanjutkan pendakian, kita memilih untuk tetap mendaki gunung di tengah badai dan kabut. Langkah kami seolah diseret oleh derasnya aliran air hujan di jalur pendakian, pandangan kami juga diajak sesat oleh kabut yang sesekali datang dan pergi. "Untuk apa mendaki gunung jika hanya untuk mencari eksistensi" itu yang saya pikirkan waktu itu.

        Memiliki ambisi untuk mendapatkan pelajaran dari sebuah perjalanan. Sibuk mengevaluasi diri, tanpa memikirkan perasaan orang lain. Mungkin dia khawatir dengan hal nekat yang saya lakukan malam ini, saya pikir dia akan marah, entah dia berusaha bersikap bodo amat, atau memang dia sudah menyerah karena saya terlalu keras kepala.

        "Kamu kok belum tidur?" Pesan masih bisa terkirim, sinyal belum sepenuhnya hilang di gunung ini.

        "Belum ngantuk" Jawabnya.

        "Khawatir ya?"

        "..." Pertanyaan bodoh yang saya tanyakan tidak mendapat balasan.

        Hubungan ini memang masih seumur jagung, belum genap tiga bulan. Beberapa kali saya membuatnya khawatir dengan kebiasaan yang kurang menyenangkan. Kebiasaan baru yang ditemukan setelah melakukan perjalanan untuk melupakan. Saya pernah menjadi orang yang paling bebas di muka bumi, bebas melangkah kemanapun kaki ingin melangkah. Buruknya, saya sering lupa dengan dia yang selalu menunggu kabar, saya hanya takut jika sebuah kabar dan peraturan menjadi hal yang paling di agungkan.

        Pesan yang belum terbalas tidak menjadi sebuah beban pikiran. Saya datang ketempat ini untuk melakukan pendakian, bukan untuk menunggu balasan. Sudah larut malam, dan sudah sewajarnya manusia pada umumnya untuk tertidur. "Semoga dia memimpikan saya, ya paling tidak ada nama saya pada doanya"

        Pada pagi buta, kita baru sampai di puncak gunung andong. Tidak menghiraukan kostum yang terkena air hujan, kita bergegas untuk mendirikan tenda. Menyiapkan kompor untuk memasak mie instan dan menyeduh kopi. Sejenak kita mencoba menikmati dingin, namun dingin malam ini mulai jahil dan mengganggu. Dengan tidur sejenak mungkin bisa mengembalikan sedikit energi yang tercecer di jalur pendakian.

        Hari telah berganti

        Badai juga sudah diakhiri

       Jingga mulai tampak dari balik kerumunan

       Membebaskan diri dari gelapnya peraduan

       Hangat sinar mentari pelan dalam pelukan

       Membingkai indah pada setiap kenyamanan

       Sebelum kembali kemarau

       Utarakan

       Riuh obrolan di balik tenda membangunkan dari tidur yang terlanjur pulas. Mata masih terlalu redup untuk jingga yang kembali hidup. Malam terlalu posesif dengan menyembunyikan indah jingga di balik gelap. Sepertinya malam takut jika jingganya membantu mereka untuk memperoleh kenyamanan, atau yang paling sederhana adalah senyuman.

       Dengan dihiasi tanah basah, saya berdiri di depan tenda, menikmati dingin yang terurai bersama indahnya jingga. Saya mengadu pada jingga, saya terlalu egois dan merasa paling benar. Bukan hanya kebebasan yang saya butuhkan, melainkan rasa untuk saling membutuhkan. Membuatnya khawatir, membuatnya marah, membuatnya kesal dengan perilaku yang seolah-olah paling benar, seolah dibutuhkan tapi tidak membutuhkan. Satu hal yang tidak dia tahu, bahwa saya sangat membutuhkannya. Saya hanya tidak tahu bagaimana caranya rasa ini bisa tersampaikan.

       "Kamu udah bangun belum?"

      "Tumben kamu ngechat duluan, kan semalem aku yang belum bales" Jawabnya.

      "Maafin aku ya"

      "Maaf buat apa? Perasaan ga ada apa-apa deh" Tanyanya kebingungan, entah memang bertanya, atau hanya untuk menutupi kekhawatirannya.

     "Gapapa kok"

     "Ihh kenapa loh, tumben banget"

     "Aku sayang banget sama kamu"

     "Lah? Kamu kenapa sih? Aneh banget"

      Saya tidak ingin dia menyesal karena telah memilih saya. Saya tahu kejamnya rasa khawatir seperti apa, mencekik untuk berusaha biasa saja, seolah menetralkan doa dan pikiran agar tetap baik-baik saja. "Saya sangat menyayangimu, terlepas dari bagaimana cara saya menyampaikan rasa itu". Menjadi pribadi yang jauh lebih baik ternyata lebih terhormat, ketimbang tetap menjadi diri sendiri tanpa mendengarkan orang lain. Ada rasa yang harus saya jaga, lengkap dengan tawa dan luka di dalamnya.

       Sisa hujan kemarin petang sudah tergantikan dengan cahaya siang. Aroma tanah basah di pegunungan, bau yang selalu saya rindukan setiap pulang kerumah. Sejauh-jauhnya kaki ini melangkah, sejauh mata memandang sebuah perjalanan, rumah tetaplah rumah. Pergi untuk kembali, pulang kerumah dengan kenyamanan yang semestinya ada.

       Rintik hujan menemani perjalanan pulang ke rumah. Sepertinya hujan di perjalanan sedang mencoba mengharmonisasikan suasana dengan rintiknya. Seorang pria yang sedang memeluk diri sendiri, dengan air mata yang mulai menggenang, rindu yang ditangisi di dalam hati kian mulai terkenang. Saya akan selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik, tanpa harus menipu diri, atau berpura-pura bisa berjalan sendiri.

SucoWhere stories live. Discover now