7 | dua lebih baik dari satu

17.8K 1.7K 107
                                    

Peraturan lapak Fulv:

•Tekan vote sebelum membaca✅
•Wajib komen yang banyak✅

Terima kasih & halpy reading bestiiiiee!

***

Dikta tidak bodoh untuk tak mengenali mobil yang biasa istrinya pakai. Untuk apa Iren membuntutinya? Sampai seniat itu memarkirkan mobil agak jauh dari restoran tempatnya makan siang dengan Luna. Dikta tahu persis nomor plat mobil Iren.

"Bukannya itu istri kamu?" gumam Luna.

"Iya."

Dua orang yang Dikta kenal itu masuk ke restoran yang sama dengannya. Iren sama sekali tak melihat ke arahnya, berbanding terbalik dengan Joy yang sejak melangkah masuk sudah menebarkan senyum ramah pada Dikta dan Luna.

Sekali lagi ia menatap Iren yang duduk di meja yang cukup jauh darinya. Setelah itu, Dikta berusaha tak peduli. Toh, Dikta sendiri merasa tidak pernah menggangu kencan Iren dengan Dewa, jadi Dikta pikir tak ada masalah sekalipun mereka makan di tempat yang sama. Dikta harap Iren berlaku sama padanya.

"Nggak usah khawatir, Iren nggak akan ngapa-ngapain."

"Beneran?"

Dikta mengangguk serius.

Namun, Luna tetap takut. Mau serusak apa pun hubungan rumah tangga Iren dan Dikta, Luna tetap merasa tak aman dengan status dirinya sebagai selingkuhan.

"Nggak usah takut."

Tangan Luna yang mengganggur di atas meja kini dielusan lembut oleh Dikta. Dikta juga menunjukkan senyum paling hangatnya untuk menenangkan Luna, senyum hangat yang biasanya hanya tersungging ketika Dikta sudah bertemu Una setelah seharian bekerja.

"Terakhir kamu ketemu Iren, kapan?"

Alis pria itu saling tertaut mendengar pertanyaan Luna

"Tadi pagi," jujur Dikta.

Luna tampak kaget sebelum ber-oh panjang. Setelah itu Luna tak berkata apa pun lagi.

"Semalam Iren nginap." Dikta bercerita tanpa ditanya. "Seperti biasa, kangen sama Una."

"Aku nggak nanya loh."

"Aku tahu kamu pasti penasaran."

Luna menghela napas. Senyum Luna baru terlihat saat mengucap terima kasih pada pramusaji yang membawakan minuman berikut makanan pesanan mereka.

"Kalau kamu mau ngomong sesuatu dikeluarin aja biar nggak jadi beban pikiran," ujar Dikta yang bisa membaca suasana berdasarkan ekspresi mendatar Luna yang terlihat jelas, Luna enggan menatapnya.

"Gimana ya."

Bibir Luna mengerucut.

"Hm? Cerita aja."

"Kita udah bertahun-tahun pacaran kayak gini."

Pikiran Luna terbang jauh ke masa lalu, mereka berpacaran sejak masih duduk di bangku kuliah, Dikta adalah seniornya di kampus, dua tingkat di atas Luna. Bisa dibilang hubungan mereka sudah berjalan hampir delapan tahun. Jika ditanya apakah dulu Luna pernah berharap berjodoh dengan Dikta sebelum bertemu masalah serunyam ini, jawabannya adalah ya. Luna pernah dengan percaya dirinya menaruh harapan tinggi bahwa mereka akan bersatu. Sayangnya, harapan Luna harus pupus sebulan setelah hari jadi hubungan mereka yang keenam tahun.

Sakit? Tentu saja. Luna mengurung diri usai Dikta tiba-tiba memberitahunya kabar bahwa pria itu dijodohkan dengan anak dari sahabat karib orang tuanya. Rasanya Luna ingin mati saat itu. Luna kecewa dan marah besar pada Dikta yang baru memberitahunya saat pernikahan pria itu tinggal menghitung bulan. Namun, empat bulan setelah mereka putus, Dikta tiba-tiba kembali menemuinya, mengatakan bahwa pernikahannya tidak baik-baik saja dan tak bisa lagi diselamatkan.

Berpisah Itu Mudah (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang