MBSD|26|LAMARAN

598 33 6
                                    

Ikuti akun author, jangan lupa berlangganan ya.

Happy reading🤗
***

"Jauhi suamiku!” sergahnya dengan nada suara tinggi.

Aku mundur selangkah dari jaraknya saat dia berkata demikian, jujur saja tidak mengerti dengan wanita hamil di depanku yang beberapa jam lalu memintaku untuk ikut bersamanya. Nyatanya dia mengajakku ke sebuah rumah minimalis nan sederhana. Dia bahkan belum menyuguhi minuman, tapi memerintahkan hal yang sangat sulit untuk kumengerti.

Suami? Siapa yang dia maksud? Bukankah istrinya Mahendra adalah Bu Anggi? Lalu, dia siapa?

“Beraninya sekali kamu mendekatinya, dasar pelakor!”

Entah sudah ke berapa kalinya aku disebut seorang pelakor, hal itu membuatku ingin tertawa karena panggilan itu kini sudah mendarah daging dalam diriku. Aku tidak pernah mengira jika kehidupanku akan sesuram ini, merebut suami orang dengan perilaku yang pandai.

“Suami? Maksud Anda siapa? Saya tidak mengerti.” Aku terkekeh-kekeh pelan karena wanita di depanku ini terlalu tidak sopan mengajakku untuk ikut bersamanya lalu sekarang dimarahi dengan seenaknya. Bodohnya juga aku mengiyakan ajakannya karena penasaran ingin tahu siapa wanita hamil itu.

“Mas Revan.”

Revan? Apakah aku tidak salah mendengarnya jika dia mengakui pria yang beberapa hari ini kukenal bernama Revan. Bukankah Ibu dan keluarganya sudah saling berbisik menjodohkanku dengannya bahkan mereka juga sempat mengatakan akan segeraa menentukan tanggal pernikahan setelah kami lebih mengenal lebih dekat. Padahal aku atau pun pria itu tidak sekali pun mengiyakan mengenai perjodohan ini. Ibunya sempat mengatakan juag jika anaknya masih lajang, terlalu sibuk bekerja sampai dia lupa soal menikah. Kata Ibu, sifatnya sama sepertiku yang tidak pernah sekali pun memikirkan mengenai pasangan padahal sudah pantas memiliki keluarga.

“Suamimu Revan?” tanyaku mengulangi memastikan perkatannya.

Wanita itu mengangguk pelan, lalu tangannya mengarah pada perutnya yang sudah membesar. “Janin ini adalah anaknya. Kami sebentar lagi menjadi orang tua, dia bahkan sangat bahagia saat tahu jenis kelamin anaknya. Apakah kamu masih tetap bersikeras merusak kebahagiaan kami?”

Pria yang beberapa hari ini bersikap manis terhadapku, nyatanya sudah beristri dan bahkan sebentar lagi dia menjadi seorang Ayah. Dia sudah menikah, tapi kenapa ibunya menjodohkan putranya bahkan mengatakan jika dia masih lajang. Bahkan Revan juga tidak pernah menjelaskan apa pun padaku.

Dia sudah menikah mempunyai seorang istri yang begitu baik dan terlihat sabar. Aku hadir dalam hidup mereka dengan tujuan melampiaskan rasa sakit hati yang baru saja diterima dari Mahendra. Baru saja hendak membuka hati, semua rahasianya terbongkar lebih dulu, beruntung saja aku segera mengetahuinya.

Aku kembali mendekati seorang pria yang sudah memiliki istri, benar apa kata Irvan jika sifat pelakorku sudah mendarah daging sejak berhubungan dengan Mahendra. Sebenarnya, aku pun tidak mau seperti ini yang pastinya akan menjadi bahan obrolan kebanyakan orang. Seorang pelakor memang selalu dipandang sebelah mata, seolah banyak permasalahan hingga membuat kebanyakan beranggapan jika sosoknya sangat ditakuti setiap kali melakukan pergerakan. Semisalnya saja aku yang selelu dianggap remeh oleh para tetangga karena mereka pernah melihatku bersama pria padahal itu hanya teman saja masih berada di batas wajar.

“Tolong jauhi suami saya.” Dia menangkupkan kedua tangannya di atas dada seolah mengajukan permintaan yang entah diterima atau tidak.

Lama sekali aku diam karena pernyataan itu membuat kepalaku terasa pening, bukan soal duda atau lajang. Akan tetapi, permasalahannya yaitu kapan aku bahagia dan dengan siapa? Padahal aku sudah berpikir dengan matang akan membuka hati kepada pria yang masuk dalam hidupku saat ini selain Mahendra. Namun, harapanku pada Revan sirna seolah lenyap seketika. Sepertinya aku memang tidak bisa bahagia, sudah seharusnya merana seorang diir. Bahagiaku memang saat berada di samping Mahendra, tapi kebahagaiaan itu ada banyak orang yang menangis karena aku yang sudah merebut kebahagiaan mereka diganti dengan tangisan.

“Untuk apa saya jauhi suami Anda, sedangkan keluarga kami saling bersatu. Bahkan sudah menentukan tanggal pernikahan kami.” Bibirku menyungging membentuk senyuman samar.

Dia menatapku tidak suka, kedua matanya menyorot ke arahku dengan tajam seolah ada amarah di sana.

“Dia suamiku. Dasar pelakor!”

“Kamu tidak bisa memanggilku pelakor karena pria yang kamu akui sebagai suamimu pun tidak menganggapmu ada. Dia mengatakan jika dirinya masih lajang. Tidak mengatakan sudah menikah atau mempunyai istri yang tengah hamil tua. Jika seperti itu berarti kamu istri yang tidak dianggap keberadaannya, begitu?” tanyaku, aku tersenyum penuh kemenangan karena wanita itu menatapku dengan kesal.

“Pelakor memang selalu banyak tingkahnya untuk bahagia.” Kedua matanya merah padam, bahkan tidak lama dia menitikkan air matanya membasahi kedua pipinya.

Aku ingin tertawa saat itu, jika seorang pelakor bisa bahagia. Lalu, aku yang disebut sebagai pelakor kenapa tidak pernah bahagia? Apakah tingkatanku masih di bawah standar belum bisa menjadi pelakor yang berkualitas?
***

Keluarga Revan kembali mendatangi rumah, ibuku menyamburt mereka dengan ramah. Namanya juga sama besan mana mungkin tidak bersikap baik. Revan juga ikut berada di sana, aku hanya terdiam sambil memikirkan banyak hal. Meluruskan pertanyaan yang terpendam, dan menelusuri pernyataan yang kuragukan.

“Saya ingin segera menikahi Meta.” Pernyataan itu suara dari Revan yang membuat dadaku terasa sesak. Nyatanya ada pria yang menyukaiku selain Mahendra. Namun, perkataan wanita hamil yang sempat kutemui membuatku meragukan keinginannya.

Revan menghadap ke arahku, tanpa kuduga dia menyodorkan sebuah kotam berwarna merah yang nyatanya berisi sebuah lingkaran permata yang hendak disematkan di jari manisku. Dia melamarku? Tanpa kuduga dia sudah menyiapkan segalanya. Aku benar-benar meragukannya, bagaimana jika pernyataan dari wanita itu memang benar jika dia adalah istrinya. Mana mungkin dia mengada-ngada mengenai persoalan ini. Aku akan menjadi seorang pelakor? Tidak ada habisnya panggilan itu tersemat pada diriku.

Akan tetapi, sekarang banyak sekali wanita yang mengada-ngada mengenai persoalan kisah hidupnya. Hal itu membuatku lebih dulu menjauhkan hal-hal yang menghalangi segala hal yang mungkin saja akan membuatku bahagia kelak.

Jika aku menerima lamaran ini selain membuat Ibu bahagia karena tidak was-was lagi punya anak perempuan berusia dua puluh enam tahun yang masih melajang, tapi bisa ditunjukkan pada Mahendra jika aku sudah memiliki kebahagiaan. Aku hanya ingin membuatnya terasa patah hati, seperti apa yang dirasakan olehku saat istrinya memintaku untuk meninggalkan suaminya bahkan memberikanku panggilan seorang pelakor hingga semua karyawan di perusahaannya mengetahui perihal kebusukanku, apalagi irvan yang terus saja menggoda mengajukan pertanyaan perihal kekosongan waktuku untuk dia bayar, memangnya aku ini wanita apaan?

“Aku terima lamaran kamu, Mas.”

Begitu aku menerima lamarannya, panggilan teruntuknya pun kini berganti menjadi kata ‘Mas’ agar terkesan lebih mesra. Aku hanya ingin merasakan kebahagiaan meski sebenarnya hatiku menjerit ingin kembali ke dalam pelukan Mahendra.

***
Gimana nih kalau part ini guys?

Meta sama Revan atau Meta sama Mahendra nih? Kalian pilih yang mana?

MY BOSS SUGAR DADDY ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang