MBSD|41|KESADARAN MAHENDRA

323 21 0
                                    

Happy Reading. Follow akun aku, vote dan komen ya.

***
Alat pendeteksi detak jantungnya seolah berirama, tidak begitu lamban atau pula cepat. Aku bisa melihatnya jika keadaannya kini sudah mulai stabil.

Seharusnya aku tidak melakukan hal itu padanya, mungkin Mahendra akan baik-baik saja.

"Tan," panggil seseorang, hal itu membuatku segera menoleh ke belakang. Nyatanya pemuda yang kini berdiri di depanku adalah darah dagingnya kekasihku, kelak dia akan menjadi putra sambungku.

Tidak begitu jauh, Inggit tengah tertunduk sembari menunduk. Beberapa saat kemudian, begitu dia melirik ke arahku, tatapannya begitu sinis seolah tidak suka terhadapku. Tentu saja, mana ada anak yang menyukai Ibu tiri?

"Rangga?" tanyaku mencoba memastikan. Wajahnya memang tidak berubah, hanya penampilannya saja yang berbeda mungkin karena dia kini sudah dewasa. Jadi, banyak sekali perubahan yang tampak darinya.

"Bisakah kita bicara?" tanyanya, menaikkan sebelah alisnya. Hal itu membuatku berpikir sejenak, heran saja rasanya anak dari kekasihku itu mengajakku untuk berbincang. Entah hal apa yang akan disampaikannya.

"Bukankah kali ini juga kita memang sedang berbicara," jawabku, dia tampaknya kesal sekali terhadapku karena dikomentari dengan kalimat yang meluruskan perkataannya.
"Berbicaralah dengan tenang."

Aku menepuk pundaknya lebih dulu sebelum dia menimpali ucapanku. Hal tersebut kulakukan agar dia tidak merasa canggung saja dalam kondisi kali ini.

Untuk beberapa saat aku mencoba menghela napas berusaha menenangkan diriku yang sedang tidak baik-baik saja. Bukannya karena saat ini berada di dekat calon anak sambungku, tapi lebih tepatnya aku takut jika terjadi sesuatu pada Mahendra. Semoga saja dia baik-baik saja, aku berharap seperti itu. Sesekali kedua mataku melirik ke arah jendela, mencoba untuk melihat pria paruh baya yang kini tengah terbaring lemah di atas brankar.

"Bisa tidak kami berbicaranya tidak di sini?" tanyanya. Hal itu pun membuatku mengangguk, mengiyakan ajakannya. 

Dahiku mengernyit seolah kebingungan dengan apa yang dipinta olehnya. Akan tetapi, pada akhirnya pun aku juga mengangguk pelan seolah setuju dengan apa yang dikatakannya.

"Memangnya kenapa tidak di sini saja?" tanyaku, menaikkan sebelah alis seolah kebingungan padanya. Akan tetapi, Rangga malah diam saja. Langkahnya semakin dipercepat, hal itu membuatku mendengus pelan.

Dia membawaku ke belakang halaman rumah sakit. Tidak begitu banyak orang, hanya segelintir saja pasien yang tengah menghirup udara segar ditemani dengan suster, atau pula salah satu keluarganya.

Lelaki itu mendudukkan dirinya di salah satu kursi panjang yang terbuat dari kayu. Kedua matanya mengawang seperti ada suatu hal yang tengah dipikirkan olehnya. Pada akhirnya pun aku memutuskan untuk terduduk di sampingnya.

"Bisakah Anda berhenti mengganggu kehidupan Papa?" tanyanya. Aku terperangah, segera menoleh ke arahnya. Sudah kuduga, kalimat ini pasti akan disampaikan olehnya dan diterima olehku, dan benar saja di hari ini aku mendapatkan pernyataannya yang begitu menyesakkan dada.

Lidahku terasa kelu saat dia mengatakan hal itu, menghela napas berat berusaha untuk menenangkan diri.

Dia telah salah paham mengenai hal ini, rasanya aku sulit untuk berkata-kata. Berusaha menenangkan diri meski terasa sangat menyulitkan, tapi aku terus saja mencobanya dengan mengembuskan napas secara kasar.

Aku justru terkekeh pelan seolah menertawakan apa yang membuatku merasa lucu.

"Yang menganggu itu saya atau Papa kamu, hm?" tanyaku mencoba untuk membalikan fakta kepadanya.

"Justru kamu yang sudah mengganggu Papa saya." Rangga menoleh ke arahku, kali ini suaranya lebih tinggi daripada sebelumnya.

Kedua mataku memutar jengah seolah malas jika harus terus menanggapi persoalan ini yang tidak menunjukkan titik terangnya. Seperti halnya, siapa orang yang lebih dulu dan pada akhirnya pun salah satu dari mereka seolah dipengaruhi.

"Oh ya? Benarkah seperti itu?" tanyaku, mencoba untuk menatap bola matanya dengan tajam.

"Namanya juga pelakor, mana ada yang ngaku, Kak." Aku segera menoleh ke sumber suara, nyatanya di belakangku kini ada seorang gadis yang tengah menatapku sinis.

Siapa lagi jika bukan Inggit, adik dari Rangga. Kulihat dari sorotan matanya, tampaknya gadis itu sangat membenciku, aku bisa melihat semua itu. Perlakuannya sama saja seperti saat aku dulu.

Pernah, berada di posisi sepertinya. Tentu saja, aku sangat terpukul sekali, apalagi Ayah merupakan seorang pemimpin keluarga, tapi jika kebuktiannya seperti itu akan membuat kita tidak suka, bahkan diriku juga sempat membenci Ayah juga wanita yang dicintainya.

Namun, begitu semuanya dirasakan olehku sendiri, ternyata sangat sulit pula untuk tidak menaruh perasaan terhadap seseorang yang tidak seharusnya karena hati itu memang tidak bisa dapat dikendalikan oleh pikiran meski sudah berusaha sekuat tenaga mencobanya.

Kedua mataku mulai memanas, tanpa disadari bulir bening yang kuusahakan untuk ditahan agar tidak meluruh begitu saja membasahi kedua pipi, tapi pada akhirnya pun luruh seketika.

"Kenapa kamu mengatakan hal itu? Bukankah sudah kubilang jika aku bukan seorang pelakor?" tanyaku, tangisku benar-benar pecah kala itu bahkan suaraku juga meninggi.

"Merusak rumah tangga orang sampai pada akhirnya pun hancur juga. Dan, kini dia nyaris bahagia. Apakah itu yang disebutkan sebagai wanita baik? Tidak ada gelar sebagai seorang pelakor?" tanyanya. Kobaran api amarahnya begitu membara, aku bisa melihat itu semua dari sorotan matanya. Berusaha untuk menenangkan diri meski sangat sulit sekali.

"Sudah cukup!" pekikku sembari menutup kedua telinga.

"Maaf, apakah kalian dari keluarganya Pak Mahendra?" Salah satu suster menghampiri kami, dan hal itu membuat kedua remaja tersebut menghentikan ucapannya. Mereka mengangguk membenarkan apa yang ditanyakan wanita berbaju putih di depannya.

"Ada apa dengan dia?" tanyaku, sontak saja kedua remaja itu segera menoleh ke arahku, memandangi beberapa saat dengan tampang sinis.

"Dia ingin bertemu dengan salah satu anggota keluarganya." Wanita itu memandangi kami satu persatu secara bergantian.

"Siapa yang ingin ditemuinya?" tanya Rangga.

"Meta." Jawaban darinya membuatku segera menoleh ke arahnya.

Air mataku kembali lolos meruntuhkan pertahanan. Aku sangat terharu sekali karena di saat kondisinya seperti ini, tapi dia masih mengingatku. Begitu aku hendak melangkah untuk segera menemuinya, tapi justru Rangga mencekal pergelangan tanganku dengan sangat kuat, malah mengisyaratkan sang adiknya untuk pergi menemui Mahendra dengan cara melirik sesaat.

"Tetap di sini. Jangan pernah menemuinya lagi. Kamu bukan siapa-siapa, dan tidak berhak untuk melihatnya lagi. Pergi! Saya sudah muak dengan tampang kamu, Pelakor!" sergahnya sembari melepaskan genggamannya dengan kasar.

***
Enggak bisa ngebayangin sih kalau berada di posisinya Meta. Dia memang sudah mau melepaskan, tapi karena mungkin namanya juga cinta dan takdir mempertemukannya kembali.

Sudah tiga tahun lho ini, tapi kisah cinta mereka tidak pernah ada titik akhir. Ngenes ya kan.

Baca ceritaku "Mas Kurir Meresahkan" karena sudah tamat.

Terus ikuti aku ya, karena kapan-kapan aku akan share giveaway kecil-kecilan insyaallah hihi.

Follow Ig :@cloveriestar




MY BOSS SUGAR DADDY ✔️Onde histórias criam vida. Descubra agora