7. Eko "Pras" Prasetyo

23 6 8
                                    

Lewat saja detail kunjungan kami ke Lawang Sewu.

Mbak Reta sibuk memeluk lengan Mas Adit selama berkeliling (yikes, orang ini pasti pengantin yang usia pernikahannya belum sampai lima tahun) karena bangunan di kompleks Lawang Sewu membawa hawa seram menurutnya. Kebanyakan adegan perbudakan cinta di antara mereka membuat kami berpencar jadi dua kelompok; aku enggak tahan lihatnya, geli sendiri.

Rein lebih fokus ke peta lipat gratis yang didapatnya di pintu masuk. Peta itu menunjukkan fungsi keempat bangunan utama di sini, beserta penjelasan beberapa ornamen utama. Aku sendiri sibuk menggambari Frozen Memories ... sambil menghitung pintu. Lawang Sewu kok lawang-nya enggak sewu?

Selanjutnya tujuan utamaku di Semarang: Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT). Atau, lebih tepatnya, wilayah pemukiman di dekat sana.

Berlama-lama di Klenteng Sam Poo Kong dan Lawang Sewu pun enggak membuat kami tiba di MAJT pada waktu salat zuhur. Ini masih pukul sepuluh. Mas Adit pasrah. Tapi dia dan istrinya tetap mampir. Sekalian salat duha, katanya. Kusuruh Rein stay di masjid bersama carrier-ku sementara aku berkeliling di pemukiman warga. Lebih baik pergi tanpa penampilan yang mencolok. Dia bilang setuju, walau ekspresinya berkata sebaliknya.

Alamat warung yang didapat dari post Instagram semalam masih bisa ditemukan dengan mengandalkan peta di ponsel. Warung itu penuh anak-anak yang jajan. Kelihatannya mereka sedang libur sekolah. Salah satu anak memanggil ibu penjual sebagai "Bu Retno". Dia pasti Bu Retno yang kudengar dari panggilan Deni waktu itu.

Aku membeli beberapa permen, meski tujuan utamaku adalah bertanya pada salah satu anak di sini. Kutepuk salah satu bahu anak laki-laki yang membeli senar layangan. "Dek, mau tanya, kenal Eko Prasetyo, enggak?"

"Oh, cari Pras?"

Dia dipanggil "Pras"? Jadi selama ini aku salah panggil? "Iya, saya dititip sesuatu buat dia. Tahu dia di mana? Tadi dipanggil di rumahnya enggak ada jawaban." Ya jelaslah, tahu rumahnya yang mana saja enggak, bagaimana mau mengetuk pintu dan mendapat jawaban?

"Tadi dia di padang belakang. Kami mau ke sana juga." Dia menunjuk beberapa anak lain pakai dagu. "Ikut aja kalau mau, Mas."

Aku memilih ikut saja. Yang mereka sebut sebagai padang belakang adalah lapangan tanah kecil yang ditumbuhi sedikit rumput di samping kantor kelurahan. Di lapangan ini, ada beberapa anak yang bermain layang-layang, salah satunya adalah Pras.

Pras kelihatannya masih SMP, sedikit lebih tua dari Keira, barangkali seumuran Deni atau lebih muda. Matanya sayu, tubuhnya kurus, kulitnya terbakar matahari. Anak yang menuntunku tadi memanggil Pras, menunjukku, lalu pergi begitu saja. Pras mendatangiku perlahan, takut-takut memandangiku dari atas sampai bawah. "Mas ini temannya Deni, ya?" katanya dengan aksen lembut di dalamnya.

Wait .... Whaaat? Aku belum menyebutkan nama, atau siapa aku, atau kenapa aku datang.

"Deni yang bilang." Dia menjelaskan lagi sebelum aku sempat mengatakan sesuatu, mengajakku duduk di batuan semen yang memagari lapangan. Batuan itu sendiri sudah patah jadi dua. "Dia bilang, ada temannya yang bakal cari dia. Mungkin temannya itu bakal ngehubungin lewat aku. Entah pakai telepon atau ketemu langsung. Rahasiain semua ini dari ibuku atau ibu Deni. Ciri-ciri Mas mirip dengan yang dibilang Deni."

Thank you, Lord. I need no lying for now. "Dia titip sesuatu?"

"Sayangnya enggak, Mas."

Sucks. Hidup enggak segampang itu rupanya. "Dia ada ngomongin apa aja?"

"Banyak sih, Mas. Kebanyakan rahasia kami berdua, aku ndak bisa bilang. Satu-satunya rahasia kami berdua yang bisa kubilang, yaa, kalau Deni minta tolong Mas buat jemput dia." Pras terkekeh kaku. Lalu memandangi teman-temannya yang bermain layangan. "Kepalaku ndak bisa nginget satu-satu, Mas. Aku ingat dia pernah cerita ada orang luar negeri yang borong layangan dari toko barang antik dan oleh-oleh di Malioboro, Yogyakarta. Dia juga pernah bilang sesuatu soal Keraton Solo."

"Dia benar-benar penggemar wisata berbau sejarah, ya."

"Iya, Mas. Pernah sih sekali, dia cerita soal semacam lumbung dari batang atau serat tebu. Aku ndak inget namanya atau daerah mana itu. Dia penasaran katanya. Aku inget dia cerita itu karena jarang Deni cerita tentang hal yang ndak bersejarah atau terkesan tua. Kadang aku takut, Mas, mendadak dia pacaran sama nenek-nenek."

Aku langsung tertawa. "Mudahan enggak, Pras."

Ponselku berbunyi. Aku meminta izin pada Pras untuk memeriksanya sebentar. Pras mengangguk saja. Pesan dari Rein. Riv, kita ini lagi "liburan", kan? Mampir ke Bandungan, yuk?

Kubalas, Give me a second.

Aku menyimpan ponsel dan menghadap Pras. "Terima kasih banyak, ya, Pras. Saya mau pamit dulu. Maaf malah ganggu."

"Aku yang minta maaf karena ndak bantu apa-apa, Mas. Deni yang berinisiatif ke rumah ibuku karena kami satu-satunya keluarga di sini, tapi aku malah ndak bisa nahan dia pas dia mau pergi lagi." Pras tersenyum muram. Sejenak dia kelihatan kuyu dan bimbang.

"Ada apa?"

Pras menyuruhku mendekat sedikit, lalu berbisik, "Bukan Deni yang kasih tahu aku tentang ini. Aku mendengarnya dari menguping ibuku saat bicara dengan ibu Deni." Dia kelihatan ragu lagi. Untungnya berani melanjutkan, "Katanya, Deni kabur dengan mencuri uang ibuku. Aku enggak percaya Deni melakukannya, tapi aku juga harus membela ibuku, Mas."

Uh-oh. Deni, what have you done?

***

Sambil berjalan kembali ke MAJT, aku menelepon Rein.

Panggilan dijawab. Tanpa basa-basi aku bertanya, "Bandungan apa?"

"Candi Gedong Songo. Mbak Reta yang pertama nawarin aku, tahunya Mas Adit juga nawarin, siapa tahu kita mau ikut. Mereka mampir ke situ dulu sebelum ke Sukoharjo soalnya."

"Wait. Nanti aku telepon lagi." Aku membuka peta ponselku. Sukoharjo, Sukoharjo ... posisinya sebelum Solo ataupun Yogyakarta kalau dilihat dari Kota Semarang. Kalau aku mau coba periksa Keraton Solo karena siapa tahu Deni pernah ada di sekitar sana, aku bisa menumpang sampai Sukoharjo. Aku menelepon Rein lagi. "Rein, kalian masih di situ?"

"Masih. Mereka lagi berfoto sambil tanya-tanya soal payung raksasa. Payungnya pada ketutup. Katanya, cuma dibuka kalau acara besar kayak Idul Fitri atau Idul Adha."

"Tunggu aku di sana. Kasih tahu mereka kalau kita ikut. Tujuan kita sekarang adalah Solo. Sekalian, tolong kamu foto fasad masjidnya, sekalian dengan payung yang tertutup itu. Aku gambar di perjalanan nanti saja, pakai referensi foto. Enggak plein air." Aku memasuki kompleks MAJT. Tapi masih ada jarak beberapa puluh meter dari gerbang masuk sampai bangunan masjid. "Nanti kita bantu bayarin bensin mereka, soalnya setahuku daerah Candi Gedong Songo lumayan tinggi, takut kita malah tambahin beban mobilnya nanjak. Seratus ribu cukup lah. Kita patungan, Rein, 50-50. Kamu bawa uang lebih, kan?"

"Bawa."

"Jangan bilang-bilang mereka dulu soal kita bantu bayar bensinnya."

"Aman, Riv."

"Thanks. I know I can trust you, Rein. Soal Deni, akan kujelasin nanti."

"Kamu dapat sesuatu?"

"Sedikit. Deni enggak bilang terlalu banyak, mungkin takut Pras punya sisi 'ember bocor' juga."

"Pras siapa?"

"Eko Prasetyo itu."

"Selama ini kita salah panggil?"

--------------

To be continued ....

~Kamis, 24 Maret 2022~

His RebelWhere stories live. Discover now