17. I'm Scrambled

26 6 17
                                    

Deni enggak memberiku kabar. Tante Fatma yang malah melakukannya; melalui pesan teks.

Inti pesannya, dia berterima kasih padaku karena sudah mencari Deni, dan barangkali sudah membujuk Deni juga. Deni akan ikut dengannya untuk kembali (Tante Fatma enggak bilang kembali ke mana; Tanjung Pinang atau Semarang). Aku tidak perlu mengkhawatirkannya lagi.

Yay! Masalahku lepas satu!

Sekarang kami di Pantai Parangtritis, khawatir tidak sempat kalau harus mencari pantai yang sepi dan terpencil. Rencananya, aku dan Rein akan meninggalkan Yogyakarta sore ini.

Kak Delon yang mengajak kami ke sini begitu melihat pesan di ponselnya sehabis makan. Ada temannya yang ke daerah sini. Kita bertiga ikut aja, aku ada kenalan di sana, bisa minta diskon, katanya tadi. Kuanggap itu sekalian menjadi tempat salat untuk Rein dan Kak Delon.

Oleh karena itu, di sinilah kami sekarang. Membentang matras di pasir, ditemani suara debur ombak yang mengingatkanku pada rumah. Rein duduk di matrasnya sendiri, sementara Kak Delon menumpang di matrasku, berbaring dengan lengan menutupi mata.

Kutunjukkan pesan dari Tante Fatma pada Rein. "Sudah bukan ranah kita. Good end or bad end, kita hanya bisa berharap itu yang terbaik."

Rein tersenyum. "Masalah ini selesai akhirnya, ya?" Ditepuknya pundakku, lalu dia berjalan ke arah bibir pantai.

Ya, case closed sungguhan akhirnya. Tapi baru satu; masalah Deni.

Aku masih punya masalah tentang Zikra yang entah kenapa malah mampir ke rumah. Ingin menelepon dan bertanya, tapi aku harus bilang apa? Pakai percakapan imajiner waktu itu?

Kukeluarkan Trash Bin dari tas. Pada halaman paling belakang, tertempel sebuah amplop buatanku sendiri (karena amplop surat terlalu kecil, sementara amplop lamaran kerja terlalu besar). Amplop inilah yang kutempel saat di rumah Rein.

Berisi Scrambled Puzzle, sebutanku untuk kertas berisi obrolan yang pernah kulakukan atau kudengar dan cukup penting untuk diingat. Tanpa tanggal, tanpa penanda tempat; I did it on purpose. Supaya otakku punya usaha untuk menyusun lagi kepingan dialognya—makanya disebut puzzle. Aku punya patokan: aku menulis ini sejak masuk SMP formal. Tahun 2015.

Aku juga harus menambahnya lagi dengan beberapa obrolan yang terjadi selama trip ini. Salah satunya adalah obrolan dengan Kak Delon tadi di warung makan. Memang ujungnya sedikit bucin, tapi aku ingin mengingatnya terus. Bahwa aku punya keluarga tanpa-ikatan-darah yang menerimaku.

Uhh .... Nanti saja menulisnya. Aku sudah bela-belain batal menggambar plein air pantai ini, hanya memotretnya untuk digambar nanti. Percakapan imajiner dengan Zikra waktu itu harus ketemu. Ia pasti, ada di suatu tempat di tumpukan ini ....

"Cih. Pantesan jadi susah tidur. Kedapetan jampi-jampi dari tulisan kamu yang kayak cakar ayam ini rupanya." Kak Delon bangkit dan memeriksa salah satu kertas yang terjatuh dari pangkuanku ke arahnya. "Bahasa apa nih?"

Aku melirik sekilas. Itu percakapanku dengan Papa saat mengatakan kalau aku akan menghubungi Rein lagi. "Itu Hokkian. Papa enggak mengajarkanku cara menulis hurufnya, jadi aku menulisnya dengan huruf latin." Kuperiksa lagi kertas di tangan.

Dia membaca kertas lain lagi. "Kamu nyari apaan sih?"

"Dialog imajinerku. Mungkin akan berguna. Aku harus menelepon seseorang."

"Ya tinggal telepon aja. Hidup udah ribet. Enggak usah diribet-ribetin lagi."

Kukumpulkan Scrambled Puzzle-ku, memasukkan semuanya ke amplop lagi. "Kalau sudah dua tahun enggak bicara, asal telepon is a big deal, Kak."

His RebelWhere stories live. Discover now