49. Mencari kebahagiaan sendiri?

3K 481 119
                                    

Selamat datang dan membaca kembali. Jangan lupa dukungannya dengan vote dan spam komen ya ❤️

Happy Reading!

****

Nila kembali menyodorkan tangannya tanpa menyurutkan sebuah senyuman, meskipun tak mengerti maksudnya, kali ini Haris menerima uluran tangan itu. Mereka saling berjabat tangan.

"Vie?"

"Iyaa sayangku, kenapa?"

"Mari kita sama-sama menemukan kebahagiaan sendiri-sendiri?"

Deg!

Keheningan mulai terjadi, tangan Haris terasa lemas tetapi ia tak ada niatan untuk melepaskan tangannya dari Nila. Kedua netranya itu tak pernah terlepas untuk memandangi netra Nila yang tampak berkaca-kaca tetapi tetap tak melunturkan senyuman yang tersungging ke arahnya.

Mencari kebahagiaan seperti apa yang Nila maksud? Haris masih tak mengerti. Ia berusaha untuk terus mencerna maksud dari ucapan itu yang terus berputar di isi pikirannya yang membuat kadang kala hatinya gelisah.

Terlalu lama mereka terdiam, akhirnya tawa kecil terdengar dari mulut Haris. Lelaki itu menarik tangannya untuk mengacak-acak rambut sang kekasih yang terurai. "Kebahagiaan apa maksud kamu? Kenapa kita harus mencari? Sedangkan dari dulu kamu udah tau kalau kebahagiaan Vie itu kamu, kebahagiaan Vie ada di depan mata sekarang."tegasnya.

Siapa yang tidak jatuh hati mendengar jawaban seperti itu dari mulut lelaki yang selama ini kita cintai? Semua wanita pasti akan sangat beruntung ketika mendengar ucapan setulus itu dari kekasihnya terutama Nila. Tapi kembali lagi, ia tidak bisa melupakan percakapannya dengan sang ayah. Benar, lelaki dihadapannya ini bukanlah lelaki yang baru menginjak usia belasan tahun namun sudah puluhan, kepala tiga. Usia yang sudah begitu sangat matang dalam menjalin hubungan ke jenjang yang lebih serius.

Berapa lama lagi Haris harus menunggunya? Apalagi kata sang ayah setelah menyelesaikan pendidikan di bangku Sma harus dilanjutkan lagi untuk menuju bangku perkuliahan. Berapa lama lagi? Kurang lebih enam tahun bukan?

"Maksud aku adalah Vie berhak mencari kebahagiaan dengan wanita lain. Vie berhak bahagia dengan hubungan yang bisa diajak ke jenjang yang lebih serius. Jangan sama aku, aku baru mau naik kelas dua, dan setelah lulus nanti aku harus kuliah dan masih bekerja. Gak mungkin Vie nunggu aku untuk beberapa tahun ke depan."

Nila masih bisa mempertahankan senyumannya dari hati yang sudah berantakan, sakit, dan sesak. Beda dengan Haris yang mulai menujukkan wajah datarnya tanpa ekspresi apapun setelah mendengar ucapan gila itu.

Sakit? Tentu. Haris masih tak mengerti arah pembicaraan mereka yang terbilang tiba-tiba. Haris sempat senang karena Nila tak marah dengannya atas kejadian kemarin namun entah mengapa pembicaraan ini seperti justru terus terlontarkan seperti menjurus kearah perpisahan, dimana salah satu pihak berhenti untuk berjuang.

"Kenapa? Kenapa tiba-tiba bicara seperti itu? Apa ada yang mengganggu pikiranmu? Apa karena kejadian kemarin kamu jadi seperti ini? Kalau iya, maka Vie minta maaf karena udah lancang diam-diam bicara sama tante Dilla."

Nila menggelengkan kepalanya, ia mencoba membawa tangan Haris ke dalam genggamannya lalu menepuknya pelan berkali-kali. "Menikahlah dengan wanita lain. Aku yakin Vie pasti ingin segera memiliki rumah tangga dan mendengar suara anak kecil yang menghiasi rumah besar Vie. Usia Vie udah terbilang cukup, aku sadar kalau semakin dipaksain justru Vie yang sakit disini."

Haris menarik tangannya kembali, matanya semakin gelap untuk sekedar melihat senyuman wanita di depannya itu. Ekor matanya melirik jam yang melingkar dipergelangan tangannya, dua puluh menit lagi ujian Nila akan segera di laksanakan.

QueeNila (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang