Navillera - (Tausol)

1.2K 57 1
                                    

Pada sore hari Taufan berjalan-jalan di taman selama jam istirahat di kantornya. Namun saat ia melewati panti asuhan yang terletak di dekat taman itu telinganya menangkap alunan piano yang membuatnya menoleh.

Sosok yang memainkan piano dengan dikelilingi anak-anak dalam bayang-bayang ufuk kemerahan senja itu sangatlah indah. Manik peraknya yang berkilau, senyum cantiknya yang senantiasa terukir di bibirnya untuk anak-anak di dekatnya, dan jari-jari lentiknya yang menari di atas piano.

Keindahan parasnya berpadu sempurna dengan kemampuan bermain pianonya hingga menciptakan sebuah harmoni yang membuat Taufan takjub. Setelah alunan sepintas ia menyadari bahwa orang itu memainkan lagu berjudul Que Sera Sera untuk dinyanyikan anak-anak itu dan ia terus memperhatikan mereka.

Setelah mereka selesai bernyanyi Taufan menyadari bahwa ia bukan hanya terkesan dengan nyanyian anak-anak itu saja namun ia juga telah terpesona pada pengiring piano itu.

Ia ingin masuk untuk menemuinya tapi sayangnya jam istirahatnya yang hampir habis membuatnya harus kembali ke kantor. Namun ia bertekad akan datang ke panti asuhan itu lagi di hari minggu.

Saat ia pergi ke sana ternyata ia tidak menjumpai orang itu di panti asuhan melainkan di taman. Alangkah senangnya ia karena kali ini malah dipertemukan di tempat yang lebih dekat. Ia segera menghampiri orang itu kemudian duduk di sebelahnya.

"Se ... Selamat sore." Sapa Taufan dengan wajah memerah.

"Selamat sore." Orang itu menoleh dengan senyum yang setia terukir di bibirnya seperti waktu itu.

"Anu ....." Taufan menggaruk kepalanya yang tak gatal sambil menunduk. "Aku ngeliat kamu lagi main piano buat anak-anak panti kemarin. Aku kagum lho sama talenta kamu. Kamu pinter banget main piano. Ngomong-ngomong kenalin. Nama aku Taufan. Boleh aku tahu nama kamu?"

"Aku Solar. Makasih juga. Sebenernya aku pernah bercita-cita jadi pianis."

"Oh, terus kamu udah jadi pianis sekarang ya? Kerja sambil nerima banyak kontrak buat main di acara-acara bagus gitu." Mata Taufan berbinar.

"Itu cuma impian kosong yang udah kubuang. Tiap hari aku bantuin ngurus kebun alpukat nenekku buat disuplai ke kios kami."

"Apa kamu membuang impian kamu untuk bantuin nenek kamu?" Taufan menatap Solar nanar.

"Aku sadar diri. Mau sekeras apapun usaha aku ... Mau sebanyak apapun orang muji permainan piano aku ... Aku nggak bisa jadi pianis sejati dengan kondisi tubuh yang juga nggak sejati ini."

"Apa maksud kamu nggak sejati?" Taufan heran.

"Ada tiga komponen panca indra yang dibutuhkan untuk menjadi seorang pianis yaitu penglihatan, pendengaran, dan peraba ...." Solar menoleh dengan tatapan hampa. "Lalu aku udah kehilangan yang pertama."

"Hah? Jadi kamu buta?" Taufan terkejut.

Solar mengangguk seraya menunduk dengan senyum memudar.

"Itu bahkan lebih hebat lagi!" Puji Taufan dengan wajah berseri-seri sedangkan mata Solar membulat mendengar perkataannya. Solar kira Taufan akan diam dengan pikiran aneh-aneh yang bermunculan di kepalanya namun justru Taufan malah semakin takjub. "Kamu udah kehilangan satu indra kamu tapi permainan kamu tetep hebat. Nggak ada yang sumbang sama sekali. Bener-bener perfect. Ternyata bener orang yang fisiknya cacat bukan berarti bakatnya juga cacat. Malah bisa aja bakat kamu lebih sempurna daripada orang normal."

LighterWo Geschichten leben. Entdecke jetzt