Nightmare 33: REAL (chapter 2)

120K 5.8K 603
                                    

Dengan napas tersengal-sengal, aku segera masuk ke dalam rumah dan menutup pintu di belakangku. Aku mendengar ibuku menutup telepon dan begitu melihat wajahku, ia langsung berkata.

"Miss Akagi baru saja menelepon! Kau ingat beliau kan, biksuni yang tinggal di Nagasaki? Beliau sangat mencemaskanmu. Beliau mengatakan bahwa ada hal yang buruk terjadi padamu dan ingin berbicara denganmu secepat mungkin. Apa kau baik-baik saja, Nak?" mata ibuku langsung membelalak begitu melihat leherku, "Astaga! Apa yang terjadi dengan lehermu?"

Aku segera berlari ke cermin yang berada di lorong. Tadi aku sempat berpikir aku aman di sini, bahwa makhluk yang sebelumnya kulihat di apartemenku takkan mengikutiku di sini. Namun aku segera menyadari bahwa aku salah begitu melihat garis merah yang melingkari leherku. Luka itu terlihat seperti seutas tali yang tengah meliliti leherku. Aku mendekat ke cermin untuk melihatnya lebih jelas dan terlihat bagiku, luka aneh itu akan sulit hilang.

Aku mulai gemetar. Aku tak mampu berpikir lagi. Yang dapt kulakukan hanyalah naik ke kamar ibuku, dimana ada sebuah patung Buddha kecil di sana. Aku berdoa di depannya terus-menerus.

"Apa yang terjadi?" ayahku yang tampaknya baru saja berbicara dengan ibuku, menyerbu masuk ke dalam ruangan. Ibu sangat ketakutan, sehingga beliau memanggil nenek. Aku tak bisa menerka apa yang ibuku bicarakan di telepon di tengah doaku, namun aku bisa mengetahui bahwa beliau tengah menangis. Sesuatu mengenai ibuku yang ketakutan membuatku tersadar betapa serius kondisi yang tengah kualami ini. Tak ada tempat yang aman bagiku. Makhluk itu akan terus mengikutiku hingga akhir hayatku.

Setelah tiga hari, keadaanku hanya terus memburuk. Aku tak tahu apakah ini karena kondisi mentalku yang turun ataukah karena ulah makhluk yang terus mengikutiku ini, namun aku menderita demam yang amat parah selama dua hari. Leherku terus-menerus berkeringat dan pada hari kedua, darah mulai bercampur dengan keringatku. Pendarahanku mulai terhenti keesokan harinya setelah demamku mulai turun. Aku akhirnya bisa menenangkan diriku sedikit.

Namun leherku masih terasa gatal, bahkan terasa seperti disengat. Apapun yang menyentuhnya, apakah itu handuk, kaos, selimut, semuanya memberikan rasa sakit di sekitar luka tersebut. aku berusaha untuk tidak menyentuhnya karena takut darah akan keluar kembali dari luka tersebut. Aku hanya berbaring sepanjang hari, memaksa diriku sendiri untuk berhenti memikirkannya. Namun tiap kali aku masuk ke kamar mandi, aku tak mampu menghindar untuk melihat ke arah cermin.

Apa yang kulihat di cermin benar-benar hampir membuatku jadi gila. Warna merah hampir sepenuhnya menghilang, namun luka itu ... aku bisa mengatakan bahwa luka itu justru makin melebar. Benda itu benar-benar membuatku jijik. Aku akan mencoba menggambarkan seperti apa luka itu sekarang, maaf jika aku membuat kalian merasa mual.

Ketika pertama muncul, luka itu hanya berbentuk garis merah tipis sekitar 1 cm lebarnya. Garis itu melingkari leherku tanpa terputus. Kulitku cukup putih, sehingga warna merah itu sangat jelas terlihat, kontras dengan warna kulitku. Luka itu benar-benar nampak seperti tali merah yang tengah meliliti leherku.

Namun setelah tiga hari, benda itu mulai berubah bentuk. Bentuknya benar-benar menjijikkan saat aku melihatnya di cermin. Tampak benjolan-benjolan di luka itu, letaknya sangat berdekatan hingga hampir tak ada jarak antara satu tonjolan dengan tonjolan yang lainnya. Ukurannya kecil-kecil, namun yang membuatnya buruk, terlihat cairan nanah keluar dari benjolan-benjolan itu. Dan luka itu tampak semakin melebar dan melebar. Aku bahkan muntah begitu pertama melihatnya. Aku mencoba mencuci leherku dengan air, namun rasa sakit terus saja menyengat. Ibuku bahkan mengoleskan obat ke luka tersebut, namun aku tahu itu takkan membantu. Aku kembali berbaring di atas kasur dan menangis sepanjang malam.

"Kenapa aku?" hanya itu yang bisa kupikirkan. Tak ada hal lain yang terlintas di dalam benakku kecuali penyesalan.

Aku sampai di suatu titik dimana aku tak mampu lagi menangis. Telepon genggamku tiba-tiba berdering. Itu Ogawa. Ketika aku melihat namanya di caller ID, hatiku segera terisi dengan harapan. Aku tiba-tiba serasa di-charge dengan energi yang aku bahkan lupa masih memilikinya. Aku tak mengira aku akan sebahagia ini mendapat telepon darinya.

CreepypastaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora