Bagian 05

225 43 11
                                    

Vote dan komennya jangan lupa!


“Wi, nanti pulang sekolah gue mau jalan sama Calvin. Sumpah, gue deg-degan banget, gue gak nyangka kalau Calvin bakalan ngajakin gue jalan. Gue harus gimana dong? Kasih tau dong tipe cewek yang Calvin suka kaya gimana?” pekik Gita antusias.

Baru saja Dewi sampai di kelasnya, dia sudah dibuat tidak mood lagi. Tadi Calvin dan sekarang Gita, mereka berdua yang saling jatuh cinta, tapi keduanya juga yang selalu memamerkan apapun pada Dewi yang tanpa mereka sadari adalah orang yang sedang terluka hatinya.

“Huftt, denger ya, Gita. Lo gak perlu berubah menjadi orang lain hanya demi untuk mendapatkan cinta dari seseorang. Kalau dia benar-benar menyukaimu, dia pasti akan menyukai dirimu apa adanya. Kalau lo berubah jadi orang lain demi untuk mendapatkan cinta seseorang, maka nantinya orang itu bukan cinta sama lo, tapi cintanya sama sosok orang lain dalam diri lo.” Meski sedang patah hati, Dewi tetap akan memberikan masukan yang baik untuk sahabatnya.

“Mantap, Dew!” pekik Azfa terlihat sumringah mendengar penjelasan Dewi. Saat ini di kelasnya memang baru ada Azfa, Dewi, Gita, dan lima orang teman lainnya.

“Dan yang perlu lo tahu, berubah untuk menjadi lebih baik itu sangat bagus, bahkan dianjurkan. Tapi kalau berubah untuk menjadi sosok orang lain hanya demi tujuan tertentu, itu baru tidak baik. Berubah menjadi lebih baik itu harusnya dengan niat yang baik, untuk tujuan yang baik, dan harus berasal dari keinginan sendiri. Kalau misal sekarang lo berubah menjadi sosok gadis idaman Calvin, terus suatu saat lo lelah dan menunjukan diri lo yang sebenarnya. Terus kalau Calvin kecewa karena sejak awal dia cintanya sama sosok baru lo itu gimana? Terus kalau seandainya dia ninggalin lo, pasti lo juga akan berubah jadi sosok diri lo yang asli. Itulah kenapa berubah itu jangan karena orang lain, tapi karena diri sendiri.” Dewi panjang lebar menasehati.

“Lo benar, Wi. Makasih banyak udah ngejelasin soal ini, lo emang sahabat yang baik!” pekik Gita merasa terharu.

“Soalnya tanpa lo berubah menjadi sosok gadis yang Calvin idamkan, dia juga pasti suka kok sama lo apa adanya. Buktinya dia pdkt kan? itu menandakan dia tertarik sama lo, kepribadian lo, dan semua tentang diri lo. Tanpa perlu lo ngikutin seperti apa cewek yang Calvin idamkan.” Dewi berusaha terlihat baik-baik saja, dia bahkan memaksakan diri untuk tersenyum sambil menyemangati Gita.

“Makasih Dewi, gue janji deh, nanti kalau gue jadian sama Calvin, gue akan kasih PJ buat lo. Gue bakal traktir lo makan sepuasnya dalam sehari itu, siapin perut lo!” pekik Gita riang.

‘Mereka jodoh kayanya, bisa samaan gitu mau kasih PJ. Udahlah, rejeki jangan ditolak, anggap aja konpensasi sakit hati.’ Dewi tertawa getir setelah membatin tentang kesamaan dari dua orang itu.

“Oke, gue tunggu pajak jadiannya!” ujar Dewi.

“Kok cuma Dewi yang dikasih PJ, gue enggak?” protes Azfa.

“Kan Dewi ada kontribusi bantuin gue, kasih support buat gue, sementara lo enggak!” jawab Gita membuat Azfa cemberut.

“Ya, udah deh, tapi kalau kalian mau makan di luar jangan lupa ajakin gue juga. Gue juga mau gabung, gapapa kalian santai aja karena gue bakalan bayar sendiri kok!” pinta Azfa.

“Oke, siap!” ujar Dewi dan Gita berbarengan.

***

Sore ini Dewi pulang dengan angkutan umum, dia menunggu di halte dekat sekolahnya. Tiba-tiba saja Azfa yang tengah mengendarai motornya, berhenti di depan Dewi.

“Yuk, gue anterin pulang!” ujar Azfa menawarkan tumpangan.

“Lah, bukannya rumah kita berdua kan berlawanan arah? Gak usah deh, Azfa, gue gak mau ngerepotin.” Dewi tidak enak kalau harus merepotkan orang lain, menurutnya selagi dia bisa sendiri, dia tidak mau merepotkan orang. Kalau masalah setiap pagi nebeng Calvin, itu karena rumah mereka satu arah.

“Gapapa, gue emang ada janji mau ketemu sama temen yang tempatnya ngelewatin arah rumah lo, jadi sekalian aja!” ujar Azfa santai.

“Boleh deh, rejeki gak boleh ditolak.” Dewi akhirnya setuju setelah tahu kalau Azfa memang ada tujuan pergi ke tempat yang melewati arah rumahnya.

“Yuk, naik!” ujar Calvin.

Jujur saja, ini pertama kalinya Dewi membonceng motor pada cowok. Tentunya selain Calvin dan papanya, awalnya Dewi merasa canggung. Tapi karena Azfa begitu ramah, ditambah mereka sudah berteman dekat sejak di SMP, jadilah kecanggungan itu sirna.

“Wi, lo udah berapa lama sih sahabatan sama Calvin?” tanya Azfa

“Udah lama banget, sejak kita masih kecil, cuma pas SMP dia sekolahnya di tempat lain. Dulu kita berdua itu tetanggaan, tapi saat orang tua Calvin beli rumah baru jadinya dia pindah.” Dewi menjelaskan semuanya dengan santai.

“Oh, gitu. Emm, kata orang kan gak ada yang namanya persahabatan antara laki-laki dan perempuan tanpa melibatkan perasaan. Entah dari salah satunya, atau bahkan mungkin dari keduanya. Ya, meski mungkin perasaan itu hanya sesaat kemudian menghilang. Tapi lo pernah gak sih ada perasaan lebih sama Calvin?” Azfa memberanikan diri bertanya.

“Maksud lo apa nanya kaya gini?” ujar Dewi dengan nada tak suka, sebenarnya tidak ada yang salah dari pertanyaan Azfa. Hanya saja pertanyaan dari pria itu terlalu tepat sasaran sehingga membuat Dewi kesal.

“Ya, gapapa, gue cuma pengin tau aja.” Azfa sedikit tidak enak hati karena mengajukan pertanyaan yang ternyata menyinggung perasaan Dewi. Tapi mau bagaimana lagi, dia benar-benar ingin tahu.

“Kita berteman santai kok, gak pake perasaan cinta-cintaan kaya gitu.” Dewi terpaksa berbohong, tentu saja dia tidak ingin perasaannya pada Calvin diketahui oleh orang lain.

“Oh, gitu. Wi, gue boleh mampir ke rumah lo buat numpang makan gak? Maksudnya gue pengin beli sate, tapi makannya di rumah lo.” Tiba-tiba saja Azfa teringin mampir ke rumah Dewi untuk numpang makan.

“Boleh, kok, mampir aja.” Dewi tidak pernah keberatan kalau temannya ingin main ke rumah.

“Oke, dipertigaan sebelum rumah lo kayanya ada warung sate, kita mampir bentar ya?” ujar Azfa.

“Boleh, di situ satenya enak, gue juga mau beli deh!” pekik Dewi, kebetulan uang sakunya masih lebih.

Azfa lalu menepikan motornya di dekat warung sate itu, mereka turun untuk memesan. Kebetulan saat itu suasananya sedang sepi, hanya ada dua pelanggan lain sehingga Azfa dan Dewi tidak perlu terlalu antre.

“Wi, di rumah ada siapa aja? Maksudnya biar sekalian gue belanjain.” Azfa membuat Dewi tercengang.

“Eh, gak usah, Fa. Mama sama papa gue lagi gak di rumah, mereka masih di tempat kerja.” Dewi merasa tidak enak hati dengan tawaran Azfa.

“Kalau begitu pesan dua porsi sama lontongnya dibungkus, Mang.” Azfa memesan pada sang pedagang.

“Siap, Den, silakan duduk dulu sambil nunggu.” Penjual sate itu pun mempersilakan Dewi dan Azfa duduk di bangku yang memang tersedia di sana, sembari mereka berdua menunggu pesanannya.

Setelah pesanan keduanya jadi, rupanya Azfa memaksa untuk membayar pesanan Dewi. Padahal Dewi berniat membayarnya sendiri, awalnya Dewi menolak, tapi karena Azfa memaksa jadi Dewi mau saja ditraktir. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke rumah Dewi untuk makan bersama karena keduanya lapar sepulang sekolah.

Antara Cinta Dan Takdir (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang