SEPULUH

822 71 4
                                    

Pagi-pagi sekali Tono telah berdiri di depan kantor nya dan meminta waktunya sebentar untuk berbicara empat mata dengan Revan. Setelah menimbang-nimbang akhirnya Revan memutuskan untuk memberi kesempatan kepada Tono. Bersamaan mereka melangkah masuk kedalam kedai kopi yang berada di lantai dasar gedung kantor.

Setelah memesan dark mocca untuk dirinya sendiri, sedangkan Tono memesan kopi mereka pun memilih sebuah meja kayu bundar yang letaknya sedikit jauh dari counter. Kira-kira 5 menit telah berlalu, tetapi tidak ada satu pun di antara mereka yang berinisiatif membuka pembicaraan. Keduanya masih terdiam. Entah karena sibuk dengan pikiran mereka masing-masing atau sedang menyusun kata-kata yang akan keluar dari bibir mereka. Hingga akhirnya, Revan yang sudah tidak mampu berdiam lebih lama lagi mengangkat suaranya.

"Jika tidak ada yang ingin kamu katakan sebaiknya aku pergi."begitu kata Revan.

Namun, sebelum mereka meraih tasnya dan beranjak dari tempatnya, segera Tono lebih dulu menahan lengannya. Mereka saling pandang untuk beberapa detik sebelum akhirnya Revan memilih untuk meletakkan kembali tasnya.

"Beritahu aku, apa yang sebenarnya terjadi 5 tahun yang lalu. Alasan kenapa kamu pergi meninggalkan aku." Ujar Tono to the point.

Revan mendesah. Cukup kencang sampai Tono dapat mendengar besar nafas. "Kamu datang buat ketemu sama aku seperti ini hanya untuk menanyakan hal itu?"

Tono menganggukan kepalanya sekali.

"Kamu tahu kan kalau hal itu udah nggak penting lagi untuk dibahas." Lanjut Revan dengan jelas.

"Bisa nggak, kamu langsung ceritain aja tanpa ngajak aku untuk berdebat?" Terdengar suara Tono yang sedikit putus asa.

"Berdebat? Bukan aku loh yang minta untuk ngejauhin kamu. Tapi, kamu sendiri kan yang minta aku untuk ngejauhin kamu. Jadi, aku rasa nggak ada lagi yang perlu diceritakan. Hubungan aku dan kamu udah berakhir ketika kamu meminta aku untuk menjauhi kamu saat itu. Permisi," kata Revan lagi dengan tegas dan penuh penekanan sebelum akhirnya bangkit berdiri dan melangkah pergi meninggalkan Tono sebelum emosinya meledak tanpa bisa dikendalikan lagi.

Tono sepertinya berhasil merusak suasana hati Revan saat ini. Rasanya pilu sekali.

•••
•••
•••

Akhirnya, setelah nada dering ketiga berbunyi, seseorang dari seberang sana menjawab panggilannya.

"Iya, Ton."

"Tiffany, bisa kita bertemu sekarang?"

"Ada apa?"

"Aku membutuhkanmu...."

Ada jeda sejenak sebelum akhirnya Tiffany mengiyakan ajakan Tono. Mereka berjanji untuk bertemu di sebuah restoran Padang yang buka 24 jam. Letaknya tak jauh dari lokasi rumah perempuan itu.

"Aku nggak tahu harus bagaimana menghadapi sikap Revan...," Keluh Tono ketika ia dan Tiffany bertemu di lokasi yang telah dijanjikan. Seperti biasanya Tiffany selalu dengan setiap mendengar setiap kata yang keluar dari bibir Tono. Tidak peduli jika pada akhirnya, meski ia tahu, Tono akan menolak ajakannya untuk menikah.

"Kamu terlalu mendesak nya." Imbuh perempuan itu.

Tono memandang Tiffany sejenak. "Bagian mana yang terlihat jika aku terlalu mendesak Revan? Aku hanya ingin meminta penjelasan dari nya. Apa salah keinginanku itu?"

Dengan hati kecewa bercampur rasa marah, Tiffany memandang Tono untuk beberapa detik sebelum akhirnya menarik nafas dalam-dalam dan menjawab, "bisa nggak sih kamu ngelupain Revan? Untuk apa mengharapkan batu yang telah jatuh ke lubuk? Toh, nggak akan pernah kembali lagi. Di sisi lain banyak juga kok wanita yang mau menjadi pendamping hidup kamu, termasuk aku. Tapi kamu dengan bodohnya menghabiskan waktu hanya untuk seorang pria bernama Revan itu." Tentu jelas kemarahan nampak di wajah Tiffany.

Kening Tono bertautan, "Apa maksudmu? Kenapa kamu bicara seperti itu Tiff?"

"Aku... Aku hanya nggak ingin melihat kamu kecewa, Ton. Udah biarkan saja Revan dan biarkan dia bebas." Lanjut wanita itu dengan pelan.

Dalam diam Tono memandang Tiffany. Perempuan baik yang selalu menyempatkan diri untuk mendengarkan keluhannya. Dan Tono menyayanginya, namun hanya sebatas teman saja. Tidak lebih.

"Maafkan aku, Tiffany. Meski aku marah dan membuatnya pergi menjauh dariku, jauh didalam lubuk hati aku, hati ini masih mencintainya." Tono berhasil membuat hati Tiffany hancur.

Selesai mendengar perkataan Tono itu, dengan geram Tiffany meraih tasnya dan beranjak dari tempatnya. Meninggalkan Tono yang masih terduduk di tempat itu. Tidak ada sedikitpun niat untuk mengejar Tiffany.

Bukan, bukannya Tono tidak peduli, hanya saja dirinya tahu tindakan itu sia-sia. Tiffany bukanlah tipe wanita yang dapat dibujuk dengan sebungkus permen gulali. Sebaliknya, biarkan perempuan itu tenang dan bilamana emosinya telah mereda, ia akan kembali bersikap seperti biasa. Dan yang paling utama, saat ini bukanlah Tiffany yang seharusnya berada didalam pikirannya, melainkan Revan. Lelaki yang selalu dicintai Tono selama ini.

TBC~

•••°°°•••

REVAN

•••°°°•••

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

•••°°°•••

TONO

•••°°°•••

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

•••°°°•••

TIFFANY

TIFFANY

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Warmth Inside You - BoyxboyWhere stories live. Discover now