06. Malam Panjang

37.7K 2.5K 137
                                    

06. Malam Panjang

               “Aku mau pulang!” teriak Gesya menolak piyama yang diberikan oleh Kaivan. Dia menghempaskan baju itu dengan kuat hingga menghantam pintu.

Hal itu membuat tatapan Kaivan semakin datar padanya. “Sudah kubilang, menurut, Gesya!” katanya dengan tegas. Ia melangkah maju memangkas jarak. Gesya refleks melangkah mundur.

“Aku mau pulang. Aku tidak mau menginap di sini.” Gesya membalas dengan suara rendah. Tatapan Kaivan sangat dingin. Ia bahkan kesusahan untuk meneguk ludah.

“Begitu ya?” Kaivan terus maju. Salah satu sudut bibirnya tertarik.

“Berhenti!” Degup jantung Gesya menggila. Kakinya sudah terpentok pada sisi ranjang. Ia tidak bisa ke mana-mana sedangkan Kaivan terus maju.

“Berhenti?” tanya Kaivan tersenyum mengejek. Ia baru berhenti saat sudah berdiri di depan Gesya dengan jarak yang sangat dekat. Tubuh mereka bahkan menempel.

Seperti biasa, Gesya rasanya ingin menangis. Mundur jatuh di atas ranjang, bertahan menempel pada Kaivan.

“Sayang ...,” panggil Kaivan dengan suara berat. Ia mendaratkan tangan di kedua bahu Gesya.

“Apa?” jawab Gesya dengan suara bergetar. Ia tidak berani menatap Kaivan. Sementara laki-laki itu tentu merasa menang. Kaivan mendekatkan bibirnya di tengkuk Gesya.

“Kau harus menginap di sini. Bukankah aku sudah mengatakan itu dengan jelas?” bisiknya dengan suara berat. Tangannya meremas bahu Gesya dengan pelan. Tubuh Gesya menegang.

“Tapi aku harus pulang. Orang tuaku akan mencari—AMPUN, KAIVAN!” Gesya berteriak panik. Kaivan mendorong bahunya kuat hingga ia jatuh terbaring di atas ranjang.

Ia meneguk ludahnya susah payah. Kali ini Kaivan menatapnya marah. Berusaha beringsut menjauh, kakinya ditarik dengan kuat.

“MAU MENGINAP ATAU TIDAK?!”

“Menginap,” jawab Gesya terisak pelan. Ia menarik bantal untuk dipeluk.

“Ganti pakaianmu.”

Gesya langsung bangkit dan berlari mengambil piyama yang tadi dibuang. Ia memeluk piyama itu dengan erat. “Maaf kan aku,” katanya dengan tubuh bergetar.

Gesya berjalan penuh hati-hati melewati Kaivan untuk masuk ke dalam kamar mandi.

“Kemari!” Kaivan menarik tangan Gesya sedikit kuat hingga tubuh Gesya membentur tubuhnya.

“Ada apa?” Gesya bertanya dengan suara rendah. Ia semakin memeluk piyamanya dengan erat. Demi Tuhan, ia sangat takut sekarang.

“Jangan terus membuatku marah.” Kaivan menangkup wajah Gesya lembut. Tatapannya teduh, amarahnya seolah hilang begitu saja.

“Aku hanya takut di sini, kau mengerikan.” Gesya menutup mulut dan mata rapat-rapat. Sepertinya ia salah bicara. ‘Matilah aku!’ jeritnya.

“Aku sedikit tersinggung, Gesya,” balas Kaivan dengan sinis. Gesya seolah tidak punya kapok.

“Maafkan aku. Aku sungguh minta maaf!” Gesya panik. Ia menggenggam tangan Kaivan yang masih ada di pipinya dengan mata masih tertutup rapat.

Kaivan terkekeh. Menggemaskan. “Cepat ganti bajumu. Aku benar-benar tidak mengizinkanmu untuk pulang malam ini. Tidak ada keringanan sama sekali jika kau terus menolak. Mengerti?” tanya Kaivan sarat akan ancaman.

Gesya hanya bisa  mengangguk pelan. Apa yang bisa dilakukan selain itu? Tidak ada sama sekali. Dia bahkan harus menahan diri untuk tidak berteriak pada Kaivan walau tindakan Kaivan sudah melewati batas.

He is CrazyWhere stories live. Discover now