21. KABUR

14.1K 1.3K 231
                                    

21. KABUR

             “DI mana kau membuangnya?” Kaivan melepaskan pelukan membuat tubuh Gesya meluruh di tanah.

“Di sana.” Gesya menunjuk tempat di mana ia membuang kalung pemberian Kaivan. Gesya tidak berani menatap Kaivan, ia menundukkan kepalanya dengan terisak pelan. Kalau sampai harus memenuhi nafsu Kaivan lagi, ia sungguh tidak sanggup.

“Berhentilah menangis.” Kaivan mengangkat tubuh Gesya dengan lembut.

Gesya membekap mulutnya. Berusaha tidak mengeluarkan suara dengan cara itu. Namun air matanya masih senantiasa keluar. Terasa sulit untuk menghentikan itu. Kaivan pemarah. Hanya tidak mau menemani makan saja Kaivan sudah marah, tidak seperti Bian yang selalu sabar dengannya.

“Maaf,” kata Gesya pelan begitu tubuhnya didudukkan di bangku taman. “Aku sudah lelah. Aku tidak kuat lagi. Aku sungguh menyesal sudah membuangnya. Aku minta maaf, Kaivan. Jangan marah ya. Please ....” Gesya menyatukan tangan dan membawanya ke depan bibir, memohon maaf pada pria yang belum ada satu Minggu menjadi suaminya.

“Jangan menangis,” ulang Kaivan mengabaikan permintaan Gesya. Lihatlah wajah istrinya sekarang, begitu kelelahan. Mana mungkin ia tega memaksa Gesya lagi. Ditambah dengan air mata yang entah kenapa begitu menyiksa batinnya. Ia tidak bisa melihat itu, seakan-akan ia sudah melakukan hal yang sangat kejam pada istrinya, padahal yang ia beri adalah kenikmatan.

Kaivan menghapus air mata Gesya dengan lembut. Jempolnya bergerak penuh kehati-hatian untuk menyingkirkan air mata itu. “Aku tidak akan menghukummu jika kau berhenti menangis sekarang,” katanya sambil mendaratkan kedua tangannya di kepala Gesya. Ia membawa kepala Gesya mendekat pada bibirnya dan memberikan kecupan hangat di dahi wanita itu.

Gesya meremas tangannya. Ini gila! Bagaimana mungkin jantungnya berdebar hanya karena kecupan itu. Dan apa ini, kenapa pipinya terasa panas?! Apa sekarang pipinya tengah memerah hanya karena kecupan Kaivan?! Haissh, sial! Gesya mengutuk hatinya. Dia segera menundukkan wajahnya begitu bibir Kaivan minggat dari dahinya.

Gesya membulatkan matanya kala menemukan perut Kaivan yang tak terbalut apapun. Laki-laki ini agaknya kurang sadar diri. Apa dipikir Gesya akan tergoda oleh perut itu?! Oh, tentu saja iya! Gesya bahkan tidak bisa menghentikan pikiran kotornya begitu melihat perut itu.

Astaga, astaga, astaga! Gesya memejamkan mata rapat-rapat. Bagaimana mungkin, dia baru saja membenci Kaivan yang memperkosanya. Namun bayangan di mana Kaivan bergerak di atasnya kini malah seperti candu, tidak mau pergi dan terus kembali. Sungguh, Kaivan sangat sexy—AH STOP, GESYA!

“Kenapa?” Kaivan merasa heran melihat istrinya yang tiba-tiba memukul kepala.

“Tidak papa,” jawab Gesya cepat. Dia menangkup pipinya. Jangan sampai Kaivan tahu jika pipinya memerah. Laki-laki itu pasti merasa senang. Perlu Kaivan tahu saja, hatinya masih seratus persen milik Bian. Kaivan masih menjadi godaan kecil yang sering terjadi seperti sebelum-sebelumnya.

“Tunggu sebentar. Aku akan mencari kalung itu lebih dulu. Di sini dingin, kau pasti kedinginan.” Kaivan beranjak pergi mencari kalung.

Gesya menatap dari belakang. “Jika tahu dingin harusnya kau menyuruhku masuk ke dalam, bukan menunggu,” omelnya dengan suara pelan, takut jika Kaivan mendengar dan malah meledak seperti bom.

“Kau menemukannya?” tanya Gesya retoris. Jelas-jelas Gesya melihat Kaivan memegang kalung berbandul kunci itu, tapi masih bertanya apa Kaivan menemukannya. Bukankah pertanyaannya sangat tidak guna?

He is CrazyWhere stories live. Discover now