11. Liburan

17.2K 1.6K 105
                                    

11. Liburan

            Gesya mengaduk pastanya tak nafsu makan. Saat ini ia berada di kantin dengan duduk sendiri.

“Bila!” Ia mengangkat tangannya. Segaris senyum langsung tercetak dari bibirnya.

Bila memutar bola mata. Ia berjalan dengan ogah-ogahan menuju Gesya. “Cih, kau bisa menyapaku tanpa rasa bersalah seperti itu?” Ia bertanya sinis.

Gesya mengulum bibirnya. “Aku minta maaf, tapi sungguh, aku tidak menduakan Bian.”

“Tidak menduakan?” Bila tertawa sinis. “Aku juga sering mendengar kalimat itu di sinetron.”

“Aku tidak selingkuh, ini salah paham,” tirunya kemudian. Ia merotasikan matanya. Ia muak terhadap Gesya. “Kau harus bersyukur, jika bukan Kaivan selingkuhanmu, aku pasti sudah mengatakannya pada Bian.” Bila melenggang pergi.

Gesya menghempaskan sendoknya. “Jika bukan Kaivan orangnya, aku pasti sudah membuat orang itu jadi bubur.”

Bila tidak tahu saja bagaimana rasanya jadi dirinya. Tiba-tiba ada laki-laki gila yang mengaku menjadi suami dan sangat obsesif pada dirinya.

Bila itu tidak mengerti sama sekali! Ia tidak menyuruh Bila untuk merasakan apa yang ia rasakan, ia hanya ingin Bila mengerti.

Kaivan itu mengerikan!

“Sedang berpikir apa? Kamu kelihatanya kesal sekali.” Bian tiba-tiba melingkarkan tangan di leher Gesya. Bibirnya mengecup sudut bubur Gesya dengan cepat.

Jantung Gesya ingin lepas rasanya. “Kamu sudah selesai?” tanyanya sedikit canggung.

Selama Kaivan masih hidup Gesya tidak bisa tenang. Ia khawatir jika Kaivan datang tiba-tiba.

“Kemarin ke mana? Katanya mau beli novel. Apa aku terlalu lama sampai kamu marah dan pergi sendiri? Atau kamu malah tidak membelinya.” Bian bertanya seolah tidak tahu apa-apa.

Ia duduk di samping Gesya. “Maaf kan aku. Aku seharusnya datang lebih cepat. Kamu pasti sudah lelah menunggu sampai marah begitu. Bahkan sampai malam juga tidak bisa dihubungi. Aku sungguh minta maaf.”

Jantung Gesya seperti diremas dengan kuat. “Aku tertidur.” Suaranya serak. Gesya mati-matian menahan tangis membuat Bian terdiam.

“Kamu menangis?” Ia langsung menyentuh pipi Gesya.

Rasa bersalah sungguh menekan dada. Gesya menatap Bian. Air matanya jatuh dan isak tangisnya pecah.

“Aku harus bagaimana?”

Mata Gesya basah. Ia seakan tidak punya cara untuk lepas dari Kaivan. Hal itu membuat kerutan di dahi Bian.

“Kamu kenapa, Sayang? Kamu punya masalah?” Bian bertutur lembut. Ia membawa kekasihnya ke dalam pelukan.

“Apa kamu bisa membawaku pergi? Kita menikah diam-diam dan kembali saat aku hamil. Bagaimana?”

Pertanyaan Gesya tentu mengejutkan untuk Bian. Ia menatap lekat pada perempuan itu. “Bagaimanan aku bisa menghidupimu? Kamu tahu sendiri aku masih penikmat harta orang tua.”

Tidak bisa diharapkan. Gesya mendorong Bian dengan kuat. Ia ingin mengatakan tentang Kaivan pada Bian. Namun, saat Bian tahu apa yang terjadi padanya saat ini, Kaivan bilang laki-laki itu akan langsung membawanya pergi. Tidak ada alasan untuk menunda lagi.

“Kamu dijodohkan?” Bian kembali menarik Gesya ke dalam pelukan. “Apa kita memang harus menikah untuk menangani masalahmu itu?”

“Aku tidak memaksa.” Gesya memberontak. Ia mengusap air mata dengan punggung tangannya.

He is CrazyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang