6. Closing Curtain

896 136 4
                                    







Pertunjukan berakhir.

Segala drama yang terjadi dan menimpa Haruno Sakura dalam kurun waktu seminggu ini akhirnya menemukan titik penyelesaian. Sosok yang menaruh titik di akhir cerita itu adalah Sabaku Temari. Bos Sakura sendiri.

Kemarin, setelah bertemu tatap dengan Sakura yang babak belur, si sulung Sabaku itu langsung menyipitkan mata tidak suka. Ekspresi menghina yang terpatri di paras jelita Temari, terarah berani ke arah Sakura yang menelan ludah gugup.

Sebagai satu-satunya wanita di keluarga Sabaku, Temari ditempa oleh lingkungannya untuk menjadi sosok yang sekuat baja. Tinggal bersama dua saudara laki-laki dan ayah yang sangat disiplin, Temari mau tidak mau terpengaruh menjadi sosok yang tidak menunjukkan kelemahan, tegas, berani dan percaya diri. Sosok yang merupakan carbon copy ayahnya.

Ketika Temari melihat Sakura--wanita yang bertolak belakang dari kepribadiannya dan menunjukkan karakter yang terbilang--lemah? Temari tidak bersimpati. Ia merasa asing.

Wanita--di mata Temari, seharusnya dominan dan berani.

"Inilah yang terjadi kalau kau mencampurkan masalah pribadi dengan pekerjaanmu, Haruno. Sangat mengecewakan. Aku tidak bisa melihatmu tanpa merasa ingin memakimu sama sekali." Temari meludahkan kata-katanya seperti racun.

"Kembalilah ke Suna. Kau hanya akan menjadi aib bila menempeliku."

"Maafkan aku, Temari-san."

Sakura membungkuk dalam-dalam sebelum berlalu dari kamar hotel Temari. Tidak ada kata selain maaf yang mampu ia ucapkan kepada si sulung Sabaku itu. Sebagai sekretaris pribadi Temari, situasi yang menimpanya saat ini menunjukkan kalau ia sangat tidak profesional.

Sekeluarnya Sakura dari kamar Temari, Sakura melenggang pelan di lorong hotel yang sunyi. Kendati merasa bersalah telah meninggalkan pekerjaannya, Sakura merasa agak lega saat Temari memintanya kembali ke Suna. Setidaknya, dengan ini dia tidak perlu berurusan dengan Sasuke lagi. Ia tidak perlu terombang-ambing oleh perasaan yang tidak menyenangkan. Perasaan semacam nostalgia, cinta dan harapan yang seharusnya tidak pernah ada.

"Akhirnya," helaan napas Sakura seperti melepaskan beban yang menumpuk di pundaknya.





🌸🌸🌸



Dua lembar roti panggang, dua iris tomat, bacon, sosis, jamur, dan dua butir telur terhampar dalam piring yang sekarang diletakkan Ino di hadapan Sakura. Segelas kopi hitam menyusul kemudian. Setelah menyajikan sepiring makanan untuk sarapan Sakura, Ino lalu duduk di bangku yang berseberangan dengan si merah muda.

Hari ini--pagi-pagi sekali, Ino yang sedang menyiram bunga dikejutkan oleh kedatangan Sakura. Kendati memar di wajah Sakura sudah tidak separah sebelumnya, warna biru keunguan yang menghiasi pipinya tetap saja membuat jantung Ino melompat.

Ino membawa Sakura ke halaman belakang rumahnya untuk ikut menyantap sarapan bersama. Yah, walau sebenarnya Ino sudah sarapan, sih. Lalu, di sinilah mereka sekarang. Di depan meja bundar, Sakura menyantap sarapan buatan Ino. Selama itu pula, Ino menatap Sakura, mata aquamarine-nya sendu dan iba.

"Apa masih sakit?"

"Ya?" Sakura mendongak.

"Bekas pukulannya, apa masih sakit?"

"Oh, ini sudah lebih baik."

Ino menyandarkan punggungnya di sandaran bangku, napasnya bergemuruh lesu. "Jadi, bagaimana dengan si bajingan itu. Apa dia masih bersikap kasar padamu?"

Tau kalau si 'bajingan' yang dimaksudkan Ino adalah Sasori, tawa Sakura merekah ringan. "Jangan mencemaskannya. Dia merasa bersalah sudah memukulku dan berubah menjadi sangat romantis, tau. Dia bahkan membelikanku bunga daffodil tadi pagi. Sasori itu ya--kalau sudah menyadari sikapnya keterlaluan, bakal melakukan apa saja untuk menyenangkanku."

Sakura berhenti bicara sejenak untuk mengunyah. Lalu, ketika ia kembali membuka mulut untuk bicara, segala hal tentang keunikan Sasori, kebaikan Sasori, kemanisan Sasori, tumpah dari mulutnya tanpa penyangga. Ino mendengarkan setiap kata Sakura dengan seksama. Akan tetapi, wajah barbie-nya tidak menunjukkan kesenangan sama sekali.

"Jadi yah..., itu saja." Sakura mengakhiri narasi panjangnya dengan kikuk. Melihat ekspresi Ino yang tidak melunak sama sekali terhadap kisah romansa manisnya bersama Sasori, Sakura bisa menebak kalau si pirang itu tidak terkesan.

Sikap Ino wajar saja bagi Sakura. Toh, Ino tidak pernah mendukung satu pun hubungan Sakura selama ini, baik itu Sasori atau pacar-pacar Sakura sebelumnya.

"Anyway," Sakura mengelap bibirnya dengan serbet di atas meja. Bordiran bunga di serbet itu membuat Sakura sedikit merasa bersalah sudah menodainya. Tapi, lupakan masalah serbet itu, Sakura perlu menyampaikan tujuan kunjungannya hari ini. "Ino, aku akan kembali ke Suna hari ini."

"Apa?" Suara Ino meninggi tanpa sengaja. "Ah--maaf. Maksudku, kenapa? Bukankah kontrak dengan Nara Tech masih dalam tahap diskusi?" Ino tau karena Shikamaru adalah teman dekatnya.

"Ummm, Temari-san bilang aku lebih baik beristirahat di Suna. Itu masuk akal. Aku tidak mau menarik perhatian dengan penampilanku yang seperti sekarang."

"Meskipun begitu..., padahal aku belum puas bertemu denganmu. Apa Sasuke tau kau akan kembali hari ini?"

"..."

Cangkir kopi yang nyaris menyentuh bibir Sakura berhenti di udara. Nama Sasuke seperti mantra. Ia tersihir saat mendengarnya. Terpana dan disaat bersamaan--terluka. "Ah, itu..."

"Sakura, oh, Sakura. Jangan bilang kau berniat melarikan diri begitu saja?"

"Sasuke-kun bukan siapa-siapa bagiku, Ino. Aku tidak perlu mengatakan apa-apa padanya. Lagipula dia adalah pria yang sibuk."

Meskipun begitu, Ino tidak menyukai senyum hambar Sakura yang seperti tanpa nyawa. Gadis itu bertemu belahan jiwanya kembali. Mustahil pertemuan itu tidak mengguncang hatinya. Memorak-porandakan keseimbangannya, melukainya.

"Aku selalu mengharapkan yang terbaik untukmu, Sakura. Kau tau itu, kan?"

"Tentu saja, Ino."

"Hubunganmu dengan si Sasori ini, kau selalu bisa mengakhirinya, Sakura. Kau tidak perlu bersama orang kejam, kasar dan obsesif untuk bisa merasakan cinta. Aku ada di sini, dan bukan hanya aku, banyak orang yang mencintaimu Sakura. Kau sangat dicintai."

Ino meraih tangan Sakura di atas meja dan menggenggamnya lembut. Hangat genggamannya mengingatkan Sakura kembali mengapa Ino adalah sahabat terbaiknya. Wanita itu--tidak peduli seberapa jauh jarak terbentang di antara mereka, atau secepat apa mereka bertumbuh dewasa, kasih sayang Ino terhadapnya tidak akan termakan masa.

"Ah, Ino. Aku tidak tau apa aku bisa hidup tanpamu." Sakura membalas genggaman Ino. Cengiran hangat terukir di parasnya, membuat Ino yang ditatap menjadi salah tingkah.

"Kau tidak akan bisa," Ino buru-buru menyahut Ino. Suara penuh arogansi untuk menutupi kecanggungan yang mengatmosfir akibat ucapannya yang terlampau cringe.

"Kau tidak perlu mencemaskanku, Ino. Hubunganku dan Sasori--cepat atau lambat akan menemui titik akhir. Ketika waktu itu datang, aku akan meminjam Sai sebagai asistenku. Kau paham, kan?"

"Ya, ya, ya. Kau selalu memanfaatkannya untuk memisahkanmu dari koleksi psikopat gilamu."

Sakura tertawa ringan. Ia merasakan kelegaan yang luar biasa. Seperti burung yang menemukan sayapnya untuk kembali terbang di angkasa. Udara pagi dari halaman belakang Ino saat itu terasa lebih segar daripada biasanya.

"Selamat tinggal, Ino."

Selamat tinggal, Konoha.

Selamat tinggal, Uchiha Sasuke.





🌸🌸🌸



YOUR SCENT (SASUSAKU)Where stories live. Discover now