COKELAT

2.5K 374 10
                                    


•Renjun 2 tahun•

Jeno duduk santai di sofa ruang tamu dengan ditemani secangkir teh panas. Malam ini dirinya masih bertugas menemani Renjun bermain seraya menunggu Eric pulang dari kegiatan menimba ilmu.

Jeno sendiri mulai menguap, menengok pada jam yang sudah menunjukkan pukul 8.30 malam.

"Daddy Jen kenapa nangis?"

Apa?

Siapa?

"Siapa yang nangis sih?" tanya Jeno juga bingung, kenapa tiba-tiba malah dibilang nangis. Ada-ada saja bocah itu.

"Mata Daddy Jen berair" tunjuk Renjun pada mata sipit Jeno.

"Ini tuh abis nguap, bukan nangis"

Dirasa lama sekali menunggu Eric pulang, perutnya jadi mendadak lapar lagi. Jika diingat, baru saja tadi Jeno menghabiskan satu toples ukuran lumayan besar keripik kentang. Kenapa sekarang lapar lagi?

Lalu, pandangannya mengarah pada Renjun yang masih asik bermain. Berdialog sendiri dengan gerakan tangan seolah menghidupkan boneka.

"Njun, lo kan laki ya. coba main mobil-mobilan atau paling engga robot gitu. Lo ngga bosen apa main boneka sapi mulu?"

"Moomin bukan sapi daddy Jen" elaknya menyalahkan Jeno.

"Ya di mata gue itu sapi"

"Ini kudanil"

"Itu lebih jelek lagi"

"Moomin yang ini laki-laki dad" ujarnya memberi tau.

"Emang itu boneka ada jenis kelaminnya?" yang ini Renjun tidak menjawab, si bocah kurang mengerti dengan perkataan Jeno barusan.

Tangannya pindah mengelus perut kerasnya, lapar tapi tidak begitu lapar. Paham?

Perut hampir penuh tapi mulut serasa ingin selalu mengunyah sesuatu. Menelusuri isi kepala mengingat ada makanan apa lagi di dapur.

"Njun, lo laper ngga?" si besar bertanya.

Renjun menjawab dengan menggelengkan kepala namun mengangguk setelahnya. "Jadi lo laper apa ngga??"

Renjun mengangguk lagi.

"Gue laper, tapi mau makan apa yaa"

"KUE PAMAN KEVINN" sorak Renjun melempar boneka moomin nya dan berdiri berlari mendekati Jeno.

"Kue?"

"Kue paman Kevin kemaren daddy Jen"

Jeno mengingat lagi kue mana yang dimaksud Renjun, Kevin itu sepupu Jeno yang baru saja menempati rumah di seberang jalan. Sudah seminggu yang lalu Renjun terlihat semakin dekat dengan laki-laki itu.

Nampaknya keduanya memang menyukai satu sama lain. Renjun suka dengan sikap manis Kevin saat bersamanya, dan Kevin menyukai tingkah menggemaskan Renjun.

Malam tadi, Kevin ulang tahun dan sengaja membuat kue cokelat untuk Renjun. Tapi sampai malam ini kue itu sama sekali belum disentuh oleh siapapun.

"Bener juga, kebetulan gue pengen makan yang manis-manis" katanya.

Renjun meraih tangan besar Jeno, menarik-narik meminta ayahnya itu untuk segera berdiri dan mengambil kue cokelat yang sudah terlalu lama disimpan di lemari pendingin.

"Iya bentar dulu"

Si kecil menggandeng tangan itu untuk ditarik menuju dapur, sementara Jeno ikut saja, membiarkan posisi badan yang sedikit bungkuk karena Renjun yang lebih pendek tengah menggenggam tangannya.

"Ayo makan semuanya!!" teriak Renjun tiba-tiba membuat Jeno refleks menoleh ke bawah dimana si bayi berdiri.

"Ngga, gue bisa di semprot sama Eric kalau lo makan semua kue nya. Lo ngga boleh kebanyakan makan cokelat" jelas Jeno.

"Tapi mau semua"

"Ngga ada" tuntasnya, badan yang lebih kecil ia junjung lalu mendudukkannya pada meja makan. Ia berputar untuk mengambil kue cokelat itu dan meletakkannya pada meja tepatnya di sebelah Renjun duduk. "Gue potong dulu, kita makan separuh aja" imbuhnya.

Kue berbentuk persegi itu Jeno belah dua, mengembalikan sisa potongan untuk diletakkan lagi pada pendingin berniat menyisahkan itu untuk sang adik. Langkahnya ia bawa mengambil dua sendok dan memberikan salah satunya pada Renjun untuk si kecil agar bisa memakannya sendiri.

"Wah, paman Kevin pintar buat kue" seru Renjun kesenangan saat merasakan kelezatan kue buatan Kevin.

"Kenapa? Enak?" tanya Jeno.

"Eum, kue nya juga cantik"

Jeno memutar bola mata malas, menyuapkan potongan demi potongan kue pada mulut hingga selesai. Bergerak untuk mencuci sebentar sendok yang baru saja ia gunakan.

"Astaga, kenapa muka lo cemong semua kayak gitu? Lo tau letak mulut lo ngga sih?" Jeno mengusap sendiri pelipisnya pening, melihat wajah Renjun yang banyak sekali noda cokelat.

Kenapa bisa cokelat itu ada di pipi dan di kening Renjun?

"Enak"

"Iya enak, lo makan pakai jidat emang?" tangannya menuju kabinet atas untuk meraih kain bersih karena kebetulan di dapur sudah habis dan ia terlupa untuk membelinya.

Melangkah kembali pada meja makan untuk membersihkan cokelat itu dari wajah Renjun.

"Injun kayak monster cokelat kan daddy Jen?"

"Lebih buruk lagi, kayak monster lumpur. Tau ngga lo?"

Renjun cemberut, yang ia tahu lumpur itu kotor jadi Renjun kurang suka dengan jawaban Jeno barusan.

"Injun mau susu"

"Lo masih makan kue njun, ngga eneg apa? malah minta susu"

"Susu"

Jeno menghela nafas, sepertinya kenakalan anak ini mau kumat. Untung saja perut Jeno sudah terisi dan lebih bisa lagi menahan luapan emosi. Dan akhirnya patuh saja untuk segera membuatkan anak itu susu.

Bubuk susu dan air panas Jeno tuang kemudian mengaduknya di depan Renjun, menggeleng lagi saat kembali menyadari keadaan wajah Renjun.

"Lo sebenarnya tau ngga sih prosedur cara makan dengan baik dan benar??" rengek Jeno, wajah renjun kembali mengerikan dengan dipenuhi cokelat.

Sedangkan si kecil malah tersenyum lebar menghadap Jeno, girang seolah sengaja ingin dibersihkan lagi wajahnya oleh si ayah angkat.

"Udahan makan kue nya, minum susu abis itu cuci mulut sama muka" Jeno ikut merasakan bagaimana lengketnya wajah itu.

Si besar menahan tangan kecil penuh coklat itu yang berniat meraih gelas susu, berinisiatif sendiri untuk membantu Renjun minum. Ia sebenarnya tidak terlalu suka jika melihat sekitarnya berantakan.

Tidak lama itu Eric datang menenteng ransel melewati pintu dapur, langkahnya yang tadi terlihat berat kini berhenti sejenak saat mendengar Jeno memanggil namanya.

"Nih anak lo, urusin gih.. gue ngantuk mau tidur"

"Duh bang, gue pusing.. kepala gue sakit. Lo yang nemenin Injun sampai tidur dulu ya malem ini"

"Loh tapi-

"Gue ke kamar duluan"

Selalu saja, selalu seperti itu. Seenaknya saja menyuruh Jeno ini itu tanpa menunggu persetujuan si kakak. Lagi-lagi nafas berat ia buang, Jeno menoleh pada wajah Renjun yang terlihat seolah mengejek dirinya. Wajah penuh cokelat menyebalkan itu malah mendekat dan memberi satu kecupan di pipi kiri Jeno. Menimbulkan protesan sejenak.

"Stop senyum-senyum kayak gitu, serem tau ngga" Jeno melihat lagi wajah anak itu, menatap risih cokelat yang mengotori. Hingga tersadar ia harus segera membasuh wajah anak itu segera. "Gue benci cokelat"












Next Later

Baby Renjunnie ver 2Where stories live. Discover now