25. aberasi rasa

450 84 91
                                    

[aku mau minta maaf dulu kalau bagian ini benar-benar membosankan.]

ADA dua macam hal yang Nam Jimin benci atas kehadirannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

ADA dua macam hal yang Nam Jimin benci atas kehadirannya. Intensitasnya sanggup membuat kepalanya reras. Berkontemplasi pada persisinya sebagai sang suami yang selalu berurusan dengan Song Jiyeon, Si Pemenang Hati di hari usang. Tidak pernah terpikirkan saat rumah tangganya retak; kacau balau; luluh lantak kian binasa di ujung yaum, Jimin masih sempat-sempatnya mengundang emosi yang akan bergulat dengan pikiran keduanya. Pertama, ketika ia memastikan bahwa ia adalah pria paling bodoh sebab membiarkan Jiyeon meminum secangkir kopi sebagai bentuk kekhwatirannya pada Jimin yang tidak dapat diungkapkan dengan selesa. Ia mengutuk seluruh kafein yang sudah membuat rengsa daksa Jiyeon dalam sekejap, had buat pikirannya mendadak cemas. Kedua, adalah ketika ia mendapati Jiyeon pergi tanpa memberitahunya dengan lontaran-lontaran yang perlu diluncurkan dari kedua belah bibir Jiyeon. Ada persetujuan atau sebaliknya yang Jimin berikan sebagai jawaban nanti. Berpikir logis ketika mereka masih terikat di dalam janji sakral pernikahan menjadi sebab Nam Jimin melakukannya—memandang penuh kilat amarah pada Song Jiyeon yang menahan tangis di tempat.

Yojana memang jadi penghalang keduanya untuk berinteraksi. Akan tetapi sistematis yang menyuplai cara berpikir Jimin mengatakan bahwa sebelum ada surat perceraian yang ditandatanganinya, maka Jimin masih memegang kendali atas perannya sebagai Sang Kepala Rumah Tangga. Ia harus tahu ke mana istrinya pergi, untuk apa, dan dengan siapa. Kemudian Jimin mematikan asap rokok lumayan keras, hingga asap itu habis berbaur di udara. Dilihatnya dengan perasaan bergejolak Song Jiyeon di depan. Menggeligis di tempatnya secara tak langsung.

“Kamu tahu, Ji. Kebiasaanku masih sama, kalau aku benci sekali pada wanita yang terlihat tidak menghargai kehadiran suaminya sama sekali.”

Jiyeon yang terdiam di tempat mengepalkan tangannya di samping. Tersulut atas apa yang dikatakan Jimin. “Kita akan bercerai.”

Geraman tertahan bergemeletuk di mulut. Jimin murka sebab Jiyeon selalu memakai alasan yang sama semenjak keputusan berpisah adalah teritori yang paling waras dan memungkinkan untuk mereka.

“Masih belum bercerai berai sampai surat pengadilan ada di depan mataku!” Jimin membentak. Dia benar-benar sudah kehilangan kewarasan. Sebab Jiyeon masih sama, membahas poin yang akan dijadikannya sebagai perisai. Ia ingin sekali merengkuh daksa itu untuk diguncang tak tahan agar lekas sadar. Hingga emosi-emosi yang tertahan untuk ditunjukkan pada Jimin segera hilang dan membuat Jiyeon sedikit lega. Jimin memang bukan manusia yang sempurna sebab sudah menghancurkan harapan seseorang; cinta seseorang yang tulus. Tapi ia juga perih jika harus melihat Jiyeon diam saja tak kunjung beri tamparan paling pantas untuknya setelah ia membentak tak terima perbuatannya. Jimin yakin ini keterlaluan, egois merayap dalam diri. Ia tidak dapat menghindari kontak mata paling emosional dalam hidupnya. Kontur wajah yang sembilu menerjang jiwa Jiyeon. Pipi-pipinya sudah basah sebab air mata dengan tangis yang tertahan. Jimin juga tahu bila ia bukan manusia yang bisa dimaafkan atas segala perbuatannya pada Jiyeon, akan tetapi ia hanya mau merasa dihargai kehadirannya kendati seluruh norma-norma rumah tangga mereka sudah dihancurkannya perlahan-lahan. Jimin bahkan tahu jika Song Jiyeon masih sering menangis di bawah guyuran air dalam kamar mandi. Tersedan-sedan dengan keperihan yang membuatnya jadi payah. Ia jelas tahu, dan ia benci untuk mengetahuinya bahwasannya ini adalah perbuatan Jimin yang paling durjana.

Adore You ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang