PROLOG

2.4K 210 40
                                    

Suara air yang menetes adalah satu-satunya hal yang terdengar di keheningan malam ini. Diantara perabotan yang ditutupi oleh debu, diatas lantai kayu yang tak bisa menghalau hawa dingin, meringkuk sesosok manusia dengan rambut hitam yang terurai berantakan. Tubuhnya hanya dilapisi oleh lapisan pakaian dalam yang berwarna putih kekuningan, Wajah pucatnya tersembunyi di balik surai hitamnya yang tergerai.

Tidak bergerak barang sedikitpun.

Tidak bergetar kedinginan meskipun seluruh tulangnya telah membeku.

Jiang Cheng, tanpa tenaga untuk dapat melawan perlakuan memalukan ini, atau lebih tepatnya tidak ada lagi keinginan untuk melawan bajingan-bajingan yang telah melecehkannya hingga sedemikian rupa. Tiada lagi keyakinan di dalam hatinya.

Telah lama sejak terakhir kali ia merasakan kemarahan dan rasa frustasi karena kehilangan inti emasnya.

Telah begitu lama sejak Jiang Cheng bisa mengingat sosoknya yang dulu berdiri dengan gagah di medan pertempuran, di area latihan berperang, menggenggam Sandu dan mengayunkannya penuh semangat.

Semua kejayaannya telah hancur, telah begitu lama sejak semuanya hancur, hingga tidak ada lagi yang tersisa di dalam dirinya selain kekosongan dan keinginan untuk mati. Namun, bahkan sekarang hidup matinya bukan miliknya sendiri lagi.

Jiang Cheng terdiam di atas lantai yang dingin, namun ia tidak terlelap. Matanya yang pernah mencerminkan semangat masa muda dan arogansi, kini tampak kuyu dan mati. Manik abu-abu yang berkilau itu telah padam.

Dalam kekosongan ini Jiang Cheng menatap lurus pada pintu masuk gudang, perlahan bulir air mata mengalir tanpa bisa dikendalikan lagi. Tak ada isakan. Hanya kekeraskepalaan untuk tidak mengeluarkan suara sedikitpun.

Tubuhnya lelah bahkan hancur, hatinya tidak lagi berbentuk, rasanya seperti setiap bagian dari tubuhnya adalah boneka yang sudah rusak dan akan patah kapan saja. Akan tetapi, diatas semua itu, satu-satunya hal yang menyebabkan semua tangisan ini adalah logikanya yang menolak untuk melupakan rasa sakit dan penghinaan setiap kali kakinya direntangkan dan tubuhnya yang dipaksa menerima kejantanan dari bajingan-bajingan Wen itu.

Benar. Sekuat apapun angan Jiang Cheng berusaha menolaknya, saat ini ia tidak lebih dari seorang jalang. Pelacur rendahan. Bahkan mungkin pelacur lain akan menertawakannya karena hey, setidaknya mereka masih menerima uang karena menjual tubuh mereka, tapi tidak dengan Jiang Cheng.

Sensasi dari cairan yang terus mengalir diantara kakinya membuat Jiang Cheng menangis lebih parah. Kenapa? Kenapa ini semua terjadi padanya? Diantara ratusan ribu orang di dunia ini....kenapa!? Kenapa harus dia!?

Ah...berapa lama ini sudah terjadi? Bibir pucat Jiang Cheng tersenyum dalam kepedihannya, "Biarkan aku mati." Selalu kalimat yang sama, setiap kali bibir itu terbuka hanya kalimat itu yang terucap.

Mata Jiang Cheng sedikit terbuka ketika mendengar rintik hujan yang semakin lama semakin deras, perlahan ia mencoba bangkit dari posisi meringkuknya. Itu sakit disekujur tubuh, Jiang Cheng meringis oleh luka bekas cambukan di punggungnya yang tergesek oleh pakaian.

Namun, menahan semua penderitaan itu ia menyambar ember kayu dan meletakkannya dibawah celah atap yang bocor. Beruntung hujan turun sangat deras malam ini, sehingga Jiang Cheng bisa membersihkan tubuhnya dengan baik. Dengan menampung air hujan Jiang Cheng menggunakan pakaiannya untuk dibasahi dan mengusapkannya pada tubuhnya yang dipenuhi memar juga bekas cumbuan menjijikkan.

'Dingin' batinnya, tapi itu hanya sebuah komentar kosong, tentu saja airnya dingin...memangnya kapan ia bisa menikmati air hangat? Ah, benar, tentu saja ia pernah. Sejak ia menyinggung perasaan Wen Ruohan tahun itu, bajingan itu memastikan ia menerima perlakuan baik serta perawatan setiap periode tertentu. Mencegahnya untuk mati dan mengakhiri semua penderitaannya.

Eternal Darkness : XiChengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang