34. Dipaksa mengingat

88 23 2
                                    

Manusia selalu punya pilihan. Salah satu diantara jutaan pilihan, pasti ada tentang berbicara atau menyembunyikan.

-o0o-

Aroma obat-obatan menyeruak masuk kedalam indra penciuman Falee. Mimpinya panjangnya telah usai, kini ia berusaha membuka mata untuk menatap kedua pria penjaganya.

Aksa dan Devan terlelap dengan nyaman. Tangan mereka bertaut menggenggam tangan Faleesha di kedua sisi. Rasanya sangat tenang dan hangat.

Ia tidak tega mengusik tidur kedua insan itu, tapi sang dokter tiba-tiba datang.

"Sudah lebih baik, Dek?" Suara itu membuat Aksa bangun dari tidurnya. Ia menatap dokter seraya mengucek matanya.

Nyawanya belum terkumpul dengan baik, dokter malah menyuruhnya bergeser tempat.

"Sebentar ya," ujar dokter. Dia mengeluarkan stetoskopnya, lalu memeriksa detak jantung Faleesha.

Aksa ingin kembali tidur karena belum menyadari kesadaran Falee. Namun, sebuah genggaman hangat mengusik kesadarannya. Ia berusaha membiaskan cahaya masuk untuk membaca situasi.

"Udah bangun?" tanya Aksa.

"Cuci muka dulu, Dek," goda sang dokter. Aksa tersenyum kaku, wajah bantalnya sangat menggemaskan.

"Saya permisi ya." Dokter meninggalkan ruangan.

Dengan nyawa yang belum sepenuhnya berkumpul, Aksa mengusap surai legam Faleesha.

"Kamu tidurnya lama, aku gak suka," adunya dengan suara serak khas bangun tidur. Falee hanya menatap Aksa sambil tersenyum, tenggorokannya terasa kering.

"Jangan sakit," sambung Aksa. Kali ini Falee berusaha menganggukkan kepala meskipun rasanya berat.

Beberapa detik ruangan dilanda keheningan. Mereka saling menatap dalam diam, saling mengungkapkan rindu secara bungkam.

"Jangan pergi." Suara itu yang sangat Aksa rindukan. Ia mengangguk patuh sembari tersenyum hangat. Anggukan itu adalah janjinya. Sebuah makna yang harus ditepati tanpa pengecualian.

-o0o-

"Gak jelas banget Bu Indah. Gue anak baru disuruh pake seragam SMK hari itu juga. Dipikir penjahitnya titisan Roro Jonggrang?" curhat Aksa berapi-api. Ia menceritakan pengalamannya bersekolah di SMK 1 Nusa Bangsa.

Sungguh menarik mendengar cerita Aksa tentang guru bernama Indah.

"Tapi seru gak sih sekolah disana? Fokus ke praktek," tanya Danes sambil menyetir.

"Seru banget. Gak banyak teori, gak bikin pusing," jawab Aksa.

Posisi mereka kini berada dalam mobil Alphard yang diisi 4 orang. Ada Danes yang menyetir, ditemani Devan di samping Danes. Di kursi tengah ada Aksa dan Falee yang duduk meletakkan kepalanya di bahu Aksa. Posisi mereka sangat nyaman sampai-sampai membuat dua insan didepan kepanasan.

Sedangkan kursi belakang kosong. Rajen tidak bisa ikut karena menemani bundanya ke bandara.

"Keadaan SMA Saturnus gimana?" tanya Aksa. Seharusnya ia tak berbicara perihal SMA gila itu. Topik ini hanya membuat suasana hati Danes, Devan, serta Falee memburuk.

SMA Saturnus, tempat singgah para pelajar dengan kekayaan diatas rata-rata. Semua kegelapan telah dirasa. Mulai dari pembullyan, diskriminasi, dan, pembeda derajat, semua itu dinormalisasi. Terlalu kejam? Bahkan lebih dari sekadar kejam.

"Gue udah muak bahas sekolah kita," balas Devan memasang raut masam, seakan-akan beberapa detik lagi akan ada muntahan keluar dari perutnya.

"Fal, ada sistem dunia yang harus lo tau--" dari spion tengah, Danes menatap Aksa. Sebelum mengatakan sepenggal kalimat yang tertahan di benaknya. Seluruh atensi kini tertuju padanya, termasuk Faleesha yang terlihat lemah.

Pelangi Terakhir Untuk FaleeshaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang