40. Pita Hitam

111 19 0
                                    

Mereka yang berharga akan selalu terlihat indah.

-o0o-

Ditengah hamparan padang rumput, angin berembus kencang. Pusaran angin membuat Elang berusaha melindungi matanya. Tiba-tiba awan datang menutupi sinar mentari, nyanyian burung seketika berganti oleh heningnya senja. 

Diantara keheningan, sang angin membawa sosok pria kepala lima dalam hadapan Elang. Dialah sosok yang setiap malam datang di mimpi Elang. Menyadari kehadiran sosok itu, tubuh Elang mulai bergetar. Dia memejamkan mata ketakutan. 

"Aga!" panggil Toni sangat sopan. Meski suaranya terdengar besar, tak ada nada bentakan disana.

"Lihat ayah, Aga," perintah Toni. Memerlukan beberapa waktu supaya Elang memberanikan diri memandang ayahnya. 

"Ayah nggak marah, Ga. Ayah nggak benci Aga," ujarnya lagi. Kini Elang menurunkan tangan yang menutupi pandangan. Sosok itu masih sama, berdiri tegap dengan jubah putih melekat di tubuhnya. Wajah tampan berseri secerah mentari tanpa amarah.

"Ayah ...," panggil Aga parau. Elang memilih menunduk ketimbang berlama-lama menatap Toni. Rasanya dia tak pantas.

"Aga takut sama Ayah?" tanya Toni sangat lembut, sedangkan putranya hanya bungkam tak berani menjawab.

"Ayah dengar semuanya. Ayah nggak pernah marah sama Aga, Ayah nggak pernah benci Aga, Ayah sayang sama anak-anak Ayah," ujar Toni dengan tatapan sendunya. Tangannya mengusap pelan bahu Aga yang sedang bergetar karena menangis. 

"Tapi Ayah kecewa sama Aga." Kini mata Toni ikut digenangi air mata. Putra yang selalu dia didik menjadi lelaki sejati kini mengecewakannya. 

"Maafin Aga ... Aga takut ...." Elang mendongakkan kepalanya sambil menangis pilu. Dia gagal menjadi seorang anak dan kakak. 

Tangis itu sampai dalam dunia nyata. Elang meremas kasurnya sambil berucap kata maaf, sesekali terisak tangis. 

"Elang!"

"Wake up please!"

Jio menepuk-nepuk pipi Elang hingga pria itu terbangun. Sama seperti kemarin, pukul 1 malam Elang pasti berakhir seperti ini. 

"Elang!" Kini suara Jio meninggi. 

Elang bangun menyentak tubuhnya dengan napas tersenggal-senggal. Matanya memerah menahan tangis. Dia mulai menangkup wajahnya kemudian menumpahkan segala sisa emosi dalam bentuk air mata. Mimpi itu selalu menyiksanya. Hidup dalam penyesalan sangat mengerikan. 

"Are you okay?" tanya Jio. 

"I don't know." Pria berdarah Indonesia-Korea itu kini menjadi teman sekamar Elang. Beruntungnya Jio memiliki sikap yang sangat baik pada orang baru, hingga Elang merasa nyaman. 

"Lo butuh minum?" tanya Jio. Cara bicaranya sangat kental dengan logat Korea, tapi Jio lancar berbahasa Indonesia. 

"No thanks," balas Elang. 

"Masih mimpi buruk tentang keluargamu?" tanya Jio. 

"Ya, seperti biasa." Jio mengangguk lalu mengusap punggung Elang yang sudah bajir keringat. Padahal AC disini dingin, tapi tak membuat Elang merasa lebih baik. 

"Lang, disini lo salah. Tapi jangan terlalu menyesal, lo juga butuh kesembuhan," pinta Jio. Dia sudah mendengar banyak cerita dari Elang. Entah mengapa Elang mempercayai orang yang baru saja ia kenal.   

"Gue udah sembuh, Ji," balas Elang. 

"Ingatan lo emang udah sembuh, tapi mental lo yang sakit."

-o0o-

Malam ini Falee pulang ke rumah Aksa. Karena hadirnya Alena, Falee memutuskan tinggal bersama ibunya di rumah Devan. Tapi sebelum itu, Falee harus mengemasi barang-barangnya dari rumah Aksa. 

Seperti biasa, suasana dalam kamar Falee sangat nyaman. Aksa terlentang di ranjang Falee, sedangkan si gadis sibuk membereskan pakaian. Wangi lilin aroma Lavender sangat menenangkan hingga Aksa memejamkan matanya. 

"Aksa," panggil Falee pelan. Namun, tak ada sahutan. 

"Aksa!" panggilnya lagi. Tapi, lagi-lagi tak ada sahutan. 

"Raden Lentera Aksa?" panggil Falee.

"Dalem, Sayang?" Dia menoleh kearah Falee dengan senyum manis.  

Falee mendekat kearah Aksa, lalu tidur tepat disampingnya. Mereka sama-sama menatap langit-langit kamar lalu memejamkan mata. Dua insan itu sama-sama lelah.

Tangan Falee menarik kearah tongkat berukuran 1 meter dari atas lagi. Tongkat itu masih sama seperti kemarin, terikat oleh pita putih simbol kebahagiaan.

Dengan berat hati Falee mengganti pita tongkat itu. Warna hitam, berarti simbol kesedihan.

"Maaf tuan tongkat," ujar Falee sambil mengikat pita hitam.

Aksa ikut memandang kearah tongkat genggaman Falee. Rasanya, hati kecil Aksa ikut merasa kesedihan.

"Gapapa, Fal. Selagi ada kesempatan, kamu harus ubah warna pita itu," ujar Aksa.

Pria itu mendekat kearah Falee. Dia menarik kepala Falee untuk menjadikan lengannya sebagai bantalan. Dua manusia yang sama-sama rapuh dengan kondisi berbeda. Hadirnya mereka menjadi kekuatan satu sama lain. Hal itu menjadi sebuah keistimewaan.

"Bahagia versi kamu apa?" tanya Aksa. Dalam keheningan, Aksa menatap kearah Falee yang sedang memandang langit-langit kamar.

Kini Falee menoleh kearah Aksa. Dengan jarak tersisa sejengkal, Aksa tersenyum manis. Cantik sekali wajah gadisnya ini. Bahkan kecantikan Falee bisa mengalahkan dewi Aphrodite.

"Kalo aku bisa peluk semua pelangiku, dan nggak ngerasain sakit lagi. Hari itu juga aku bakal jadi manusia paling bahagia dimuka bumi." Ungkapan penuh makna yang memiliki arti sangat dalam. Aksa menatap sejenak kearah Falee. Tanpa permisi dia memeluk si gadis yang masih mematung karena terkejut.

Posisi mereka memberikan kekuatan satu sama lain. Aksa selalu bisa membahagiakan Falee dengan cara sederhana. Tak banyak hal besar yang dilakukan Aksa, hanya ada ungkapan, perlakuan kecil, dan doa terbaik untuk si gadis istimewa.

Aksa, pelangi Falee yang sangat berharga. Falee berjanji akan mencintai Aksa lebih besar dari dia mencintai diri sendiri. Terdengar berlebihan, tapi itu yang Falee lakukan.

"Bisa nggak, aku sama kakak kayak gini?" tanya Falee dibawah pelukannya. Perlahan tangan Aksa mengusap hangat surai hitam Falee. Sembari tersenyum tulus, Aksa memejamkan matanya. Menikmati ketenangan sejenak sebelum kembali mencari keberadaan Elang.

"Kalo bisa, kamu mau apa?" tanya Aksa. Deru napasnya menerpa puncak kepala Falee.

"Aku mau cerita ke semesta, kalo aku udah bahagia," jawab Falee penuh antusias. Lagi-lagi Aksa dibuat tersenyum. Ia mengeratkan pelukannya, dan mengecup puncak kepala gadisnya.

"Aku janji bakal bikin kamu jadi manusia paling bahagia dimuka bumi." Sejenak Falee bisa berbahagia karena ucapan Aksa.

Tak ada alasan untuk Falee tidak mencintai Aksa. Bagi Falee, Aksa adalah penyempurna hidupnya. Kala semangatnya dipatahkan oleh kenyataan, maka Aksa datang memberikan harapan baru untuk bertahan lebih lama lagi.

Tanpa Aksa sadari, Falee merenggangkan pelukannya. Puncak kepala Falee dibanjiri keringat. Suhu tubuhnya meninggi.

"Aku sakit, Sa," gumam Falee nyaris tak terdengar.

"Sebentar lagi pasti sembuh." Jawaban Aksa cukup menenangkan hati Falee. Akan tetapi Aksa merasakan satu hal aneh. Ia merasa ada air mengalir disekitar dadanya.

Ia melepas pelukannya, menatap setiap lekuk wajah Faleesha. Mata Falee terpejam, bibirnya memucat, nampak darah segar mengalir dari hidungnya. Tentu saja hal itu bukan pertanda baik.

-
-
-

Vote komen ya!!

Next?

Pelangi Terakhir Untuk FaleeshaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang