64. Aku Akan Mengikutimu

2.8K 354 12
                                    

Di rentang waktu yang berjalan cukup lama, banyak hal yang terjadi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Di rentang waktu yang berjalan cukup lama, banyak hal yang terjadi. Satu tahun berlalu sejak kematian ibu panti dan sang ayah.

Mulai dari pengadilan yang memutuskan hukuman penjara seumur hidup untuk Devan, dan Al yang turun tangan sendiri untuk membangun kembali panti asuhan.

Bangunan megah yang hampir selesai pengerjaannya itu, membuat menganga anak-anak panti yang baru saja sampai di sana. Ya, hari ini adalah hari pertama mereka akan menempatinya.

Rona wajah berseri dan antusias anak-anak, yang kini berlarian untuk masuk gedung tampak dengan jelas.

"Hati-hati! Jangan berlarian, nanti jatuh ...." Lia berteriak ke arah mereka, seraya membantu beberapa pekerja yang masih sibuk memasukkan barang anak-anak ke dalam gedung.

Dari kejauhan, Al yang masih memegang gunting kebun, dan memakai celemek kerja menoleh ke arahnya. Pria yang sibuk merapikan tanaman di sana, kini tersenyum manis menatap Lia.

Pandangan pria tampan itu teralihkan ke bawah, saat merasa celemek kerjanya ditarik seseorang. Anak perempuan kecil dengan bola mata yang menggemaskan, tengah menatapnya polos. Anak yang paling dekat dengan ibu panti itu terlihat tidak seantusias teman-temannya.

Silvia. Anak perempuan berusia enam tahun yang menjalani terapi psikologis usai kematian ibu panti. Ia yang diselamatkan terakhir kali oleh perempuan paruh baya itu, sebelum ia tertimpa reruntuhan bangunan.

Al mulai berjongkok di hadapannya. Ia mengacak pelan rambut gadis kecil itu, usai melepas sarung tangan dan gunting di tangannya.

Senyuman lebar nan hangat terpancar di wajah tampannya. "Silvia. Apa yang terjadi? Tidak ingin melihat tempat tinggal barumu? Bagaimana ini ... padahal aku membuatnya dengan sangat cantik. Apa kau tidak menyukainya?"

Anak itu menggeleng pelan, ia memberikan gelang ke arah Al. "Ibu memberikan gelang ini padaku saat terakhirnya. Aku ingin bercerita soal ibu, apa kak Al ingin mendengarnya?"

Wajah Al berubah sendu. Hanya sebentar, karena ia tak ingin memperlihatkan itu di depan Silvia. Gadis itu baru Minggu lalu mau mengeluarkan suara, ia tak ingin membuat psikologisnya terguncang lagi karena kesedihan.

Senyum lebar Al kini tercetak pada wajah teduhnya. "Tentu. Jika Silvia tidak keberatan menceritakannya."

Di bangku taman, Silvia menceritakan dengan antusias mengenai kesehariannya bersama ibu panti. Bagaimana ibu panti memarahinya karena nakal, bagaimana bahagianya ia saat ibu panti memeluknya saat tidur. Ia menceritakan segalanya, dan Al mendengar dengan senyuman manisnya.

Syukurlah. Gadis kecil itu, ia terlihat lebih baik.

" Hahaha. Ibu sangat lucu sekali saat itu. Kak Al jika tahu ekspresi wajahnya saat itu pasti akan tertawa," ujarnya sembari mengamati wajah Al yang tertawa kecil. " ....  Aku hanya menyimpan kenangan indah bersama ibu. Pengorbanan ibu hari itu ... agar kita bisa melanjutkan hidup bahagia, dengan kenangan indah bersamanya bukan? Kak Al juga harus seperti itu. Itu juga keinginan ibu. Ibu mengatakannya dalam mimpiku."

Kalimat terakhir yang membuat Al membeku di tempat. Bagaimana bisa di tengah keadaannya yang masih terguncang, gadis kecil itu mencoba menghiburnya? Al tak kuasa menahan tangisnya. Ia mengalihkan pandangan seraya mencoba menahan air mata yang keluar.

Tangan kecil Silvia, memakaikan gelang pemberian ibu panti di tangan Al. "Aku sudah menceritakan semua kenangan indahku bersama ibu, dan memberi barang berharga darinya. Aku harap kak Al membaik usai ini. Kami semua di sini sudah baik-baik saja, jangan mengkhawatirkan kami lagi. Apa kakak pikir kami semua di sini tidak tahu? Walau kak Al tersenyum, sorot mata kakak terlihat sangat sedih saat bercengkrama dengan kami. Aku tidak ingin melihatnya lebih lama lagi."

" ... karena itu jangan terlihat sedih lagi mulai hari ini. Jangan merasa bersalah juga dengan kami, itu sangat tidak nyaman. Aku ingin kakak berada di sisi kami karena kasih sayang, bukan karena penyesalan."

Al segera memeluk erat tubuh gadis kecil itu, seraya tertawa kecil di tengah tangisannya yang tak terhenti. "Seharusnya aku yang menghiburmu. Silvia-ku, kapan gadis cantik ini tumbuh dewasa? Kak Al berada di samping kalian, karena menyayangi kalian. Jadi jangan khawatir ... dan kakak sudah tidak papa."

Al melepas pelukan dan gelang di tangannya. Dengan lembut, pria itu memasangkannya di pergelangan tangan Silvia. "Bagaimana ini ... gelangnya terlihat lebih cocok dan cantik di tangan Silvia. Tidak ada pilihan lain, kau harus menjaganya untukku. Silvia yang harus memakainya."

Mata berkedip polos itu menatapnya, membuat Al terkekeh kecil. Silvia memandang tangannya. "Baiklah. Aku akan menjaganya untuk kak Al."

Pria tampan itu mengacak lembut puncak kepala Silvia, dengan senyuman manisnya.

🐒🐒🐒

Al mengunjungi Devan di penjara. Selang beberapa waktu, Devan dengan kedua tangan terborgol, keluar menemui Al. Mereka duduk berhadapan dengan kaca yang memisahkan. Tatapan penuh kebencian menghunus ke arah Al yang tampak cukup tenang.

"Apa menurutmu kau akan baik-baik saja, usai melakukan semua ini kepadaku!? Aku akan melakukan apapun untuk melihat kepala angkuh itu terlepas dari tubuhmu! Aku akan membunuhmu dengan penyiksaan yang paling kejam, hingga kau memohon untuk kematianmu sendiri!!!" ucap Devan dengan nada ancaman.

Mata yang memerah penuh amarah itu tak membuat Al gentar sedikitpun. Al, bahkan Devan sekalipun ... mereka tahu jika Devan tak memiliki kekuatan apapun untuk melakukannya.

Penjara di sana sangat terjamin tingkat keamanannya. Pidana yang sangat cerdas dan cerdik pun takkan bisa berkutik jika sudah mendekam di sana, apalagi Devan. Pria ceroboh yang hanya tahu cara meluapkan segala emosi.

Sorot mata sendu Al menatap iba Devan di dalam sana. "Kau ... terlihat menyedihkan. Kenapa kau menghabiskan waktumu untuk membenciku dan merasa iri padaku? Jika dilihat dari sudut manapun, dari awal kehidupanmu lebih baik dariku. Aku benar-benar menyesalinya, melihatmu menghancurkan diri sendiri. Aku ... kasihan padamu."

Devan menggebrak meja kalap mendengar perkataan Al. Ia berdiri dan melempar kursi ke arah Al. Kursi yang mental di kaca penjara itu, menghasilkan suara kuat. "Brengsek!!! Siapa kau beraninya membuatku tampak menyedihkan?!? Kasihan?! Anak haram sepertimu mengasihaniku?"

Dua polisi yang berjaga segera menghentikan Devan yang menggila di luar kendali, mencoba menghancurkan kaca tebal di hadapannya. "Aku akan membunuhmu! Dasar brengsek!!!"

Al hanya termangu, menatap kosong di hadapannya. Devan yang masih meronta dengan dua polisi yang berusaha menyeretnya kembali ke ruangan.

" ... Aku akan bahagia, Devan." Suara Al mengudara, membuat Devan mendadak diam dari kegiatan merontanya.

"Apa? Kau tidak pantas untuk itu. Setelah wanita itu mati, bukankah kau terlalu tidak tahu malu jika sampai merasakan bahagia? Dia mati karenamu, jangan lupa." Decih remeh dari Devan membuat Al tersenyum tenang.

"Aku mendapatkan jawaban dari gadis kecil. Itulah nilai yang harus kuberikan untuk menghormati pengorbanannya, aku harus menjalani hidup bahagia. Lagipula orang yang harus bertanggung jawab atas kematiannya sudah menjalani hukuman. Kau yang membunuhnya, aku kemari untuk memastikan agar kau tidak akan pernah melupakan itu.  Kau harus mengingat dosamu seumur hidup."

Devan hanya diam, bertukar pandang dengan Al. Pria itu kini tanpa perlawanan, menurut ... mengikuti dua polisi yang menyeretnya keluar ruangan.

Al menghembuskan napas pelan. Ia keluar lapas penjara dengan senyuman manis, saat bertatap muka dengan Lia yang menunggunya di depan gedung.

Lia menghampiri Al dengan senyuman lebar. Gadis itu memeluk erat lengan Al dengan tatapan teduhnya. "Apa kau baik-baik saja? Hari ini aku ingin berkencan denganmu."

Al kini memeluk erat tubuh Lia dengan raut berseri. "Baiklah. Tapi sebelum itu aku ingin ke suatu tempat. Apa kau mau menemaniku?"

Lia mendongak ke atas, tanpa melepas pelukannya. Ia mengangguk antusias. "Tentu saja. Ke manapun kau pergi, aku akan mengikutimu."



I Get It, Oh ... My CEO!(END)√Where stories live. Discover now