O5. Konversasi Hati

465 82 125
                                    

•••

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

•••

Kannadya.

Semenjak aku menapaki langkah ke kampus sampai tungkaiku bergerak untuk pulang, aku sama sekali belum menjumpai kehadiran Juan. Menjelang pukul lima sore, rasa-rasanya tenagaku hampir habis sampai aku malas melakukan apa pun selain mencari taksi untuk tumpangan pulang.

Selama dua hari terakhir, Juan tidak mengirimiku pesan atau sekadar menampakkan wajah dan berbicara mengenai apa yang sebenarnya tengah ia rasakan. Aku yakin, mama mengatakan hal yang tidak-tidak padanya, dan itu sangat menggangguku belakangan ini.

Aku pikir, ia mungkin sedang mengambil waktu serta ruang untuk menyendiri dan merenungi sesuatu. Sama seperti terakhir kali, sekitar satu tahun yang lalu. Saat ada sebuah kabar buruk di hari berhujan yang merenggut nyawa seseorang. Maheesa Partha. Aku hanya tahu sekilas mengenai dirinya. Juan pernah bercerita kalau ia telah menganggap Kak Maheesa seperti layaknya abang. Hal itu juga dilakukan oleh Kak Jayden dan yang lain.

Pernah sekali, aku menemani Juan di rumah sakit. Saat itu aku bertemu dengan seorang perempuan yang pernah Kak Maheesa kenalkan padaku sewaktu di Coafe Hype. Renjani, Narenjani Geeta. Dari cara mereka berbicara saja aku paham jika keduanya saling mencinta.

Hanya dua hari berselang setelah insiden kecelakaan, akhirnya Kak Maheesa bangun dari tidurnya yang cukup panjang, Juan dan yang lain bergantian masuk ke ruang ICU untuk menyampaikan sesuatu, aku tidak tahu persis apa yang mereka katakan padanya. Mungkin ucapan selamat tinggal? Entahlah, tapi di hari itu juga, Kak Maheesa telah berpulang ke sebaik-baiknya tempat pulang.

Aku turut menghadiri pemakamannya. Hari itu, hari yang cerah, tapi air mata di antara mereka adalah hujan terderas yang pernah kulihat. Juan tidak banyak bicara saat itu, ia hanya terdiam sembari melihat bagaimana tanah menguburkan jenazah Kak Maheesa untuk selamanya. Hal yang paling membuat hatiku mencelos saat aku mendengar tangisan Renjani, aku tahu bagaimana sakitnya ditinggal pergi untuk selama-lamanya. Sakit, sangat sakit. Tapi setidaknya, aku sedikit merasa lega saat menyadari ia dikelilingi oleh orang-orang yang baik.

Semenjak itu, selama hampir seminggu, Juan lebih banyak menyendiri. Aku paham jika ia sedang mengambil waktu untuk berduka dan menangisi yang telah pergi, tapi yang sempat aku kesali ketika ia terlalu larut dalam pilu. Juan beberapa hari tidak masuk ke kampus, pesan-pesan yang aku kirimkan berisi ajakan untuk bertemu dan bicara pun tidak kunjung dibalas.

Ya, kurang lebih sama seperti saat ini. Sejujurnya aku paling tidak suka ketika ia menghindariku tanpa mengatakan apa-apa. Apalagi beberapa hari terakhir tidak ada kejelasan. Semakin aku memikirkannya, semakin aku takut jika setelah ini akan ada celah renggang di antara kami. Padahal kunci utama dalam menjalin hubungan adalah komunikasi.

Kau Rumahku, JuWhere stories live. Discover now