O6. Desember; Hujan, Jagara dan Potret

522 81 119
                                    

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

"Na, aku sudah berusaha semaksimal yang aku bisa."

Sore itu bersama dersik yang merayap raga, Kannadya menangis di samping Juan. Perlahan, pemuda itu menggenggam tangan Kanna dengan perasaan bersalah yang kian bercokol di dada. Berhari-hari lalu, Juan tahu jika Kanna mencarinya. Pesan-pesan yang dia kirimkan masih tertumpuk dalam ruang obrolan yang tak kunjung Juan buka. Namun, bukannya marah, Juan hanya ingin mengambil waktu untuk dirinya sendiri, pun masih terngiang-ngiang di kepalanya tentang perkataan mama Kanna lampau hari.

"Saya dengar kamu belum membayar biaya ujian semester. Saya kasih kamu uang, setelah itu jauhi Kanna, jangan pernah temui dia. Dan jangan pernah menginjakkan kaki lagi di sini."

Juan tahu bahwa ada perbedaan yang jauh besar, ada dinding yang terlalu tinggi memisahkan mereka. Dan dia hanya seorang manusia yang tak punya apa-apa untuk merobohkan dinding tersebut.

"Apa yang mama kamu omongin enggak sepenuhnya salah, dia mau anaknya hidup bahagia tanpa kekurangan apa pun. Tapi setelah melihat tekad kamu mencari aku ke mana-mana, aku sadar sesuatu, Na. Aku sadar kalau kamu butuh aku. Dan aku harus bertanggung jawab akan hal itu."

Kanna menghentikan isak tangisnya. Ia menoleh ke arah Juan yang tengah berusaha mengelap air matanya dengan tangan secara lembut. "Ju ... jangan tinggalin aku ya?"

Juan menyunggingkan senyum tipis. Ia tidak akan menyerah begitu saja, dia sadar jika Kanna membutuhkan dirinya. Mengingat Kanna tidak seaman yang ia kira dengan kehadiran Nawa di antara mereka. Nawasena, siapa yang tahu rencana pemuda itu kedepannya?

Di antara bayang-bayang perkataan mama Kanna, Juan juga teringat kalimat dari mamanya, "Jodoh itu sudah ditetapkan sama Yang Maha Kuasa, kalau kamu memang ditakdirkan sama Kanna, apa pun jalan yang kamu tempuh entah berbelok atau berbatu, entah banyak rintangan di tengah jalan dan berbagai tantangannya, ujung-ujungnya kamu juga mampu bersama Kanna. Usaha semaksimal yang kamu bisa. Mama selalu doain yang terbaik buat kamu, Hanta."

Angin berhembus kian dingin, gumpalan awan gelap semakin menghiasi langit. Juan mengeratkan genggamannya. "Meski aku sudah berusaha semaksimal yang aku bisa, bukan berarti aku menyerah, Na."

Dengan begitu, Kanna bisa bernapas lebih lega. Setidaknya masih ada esok untuk mereka, masih ada banyak cerita yang bisa mereka rajut bersama. Masih ada halaman selanjutnya yang bisa mereka catat.

"Jadi mulai sekarang, kita harus bahagia. Enggak usah pikirin hal yang buat kamu sedih, ya, Na? Apalagi overthinking, itu hal yang sia-sia." Juan melebarkan tangannya, mendekap Kanna ke pelukan dan menelungkupkan kepala di sela-sela leher si puan untuk merasakan wangi yang berhari-hari belum ia hirup cukup lama.

Kanna mengangguk, melingkarkan tangannya dan ikut mendekap punggung Juan. "Harus. Kita harus bahagia!"

Mendengar itu, senyuman di bibir Juan makin lebar--seketika menampakkan kedua lesung pipinya yang manis, sangat manis. "When Tuhan was explaining beauty, Dia created kamu, Asha."

Kau Rumahku, JuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang