20. Echan Kangen

47 11 0
                                    

🍂🍁🍂

Tok tok tok

Suara ketukkan pintu besi berwarna putih itu terdengar, membuat seorang wanita baruh baya yang sedang menyuapi seseorang pria tua diatas bangsal itu melirik ke arah pintu. Berjalan menuju pintu untuk membukanya.

"Kakak?"

Mata wanita itu berbinar, melihat seseorang yang sudah lama ia tunggu untuk kembali. Wendy, anaknya.

Wanita itu langsung memeluk tubuh putri semata wayangnya itu. Sesekali meneteskan air mata. 

"Kakak pulang kok gak bilang-bilang? Biar Ibu jemput," katanya, sambil mengelus kepala Wendy.

Wendy hanya tersenyum simpul, ia menoleh ke belakang sang ibu, tepatnya seseorang yang sedang memperhatikan mereka dari bangsal. Pria yang bernafas dengan bantuan oksigen, dan infus. Wendy berjalan menuju kearahnya.

"Keadaan Ayah gimana?" tanya Wendy sambil meraih tangan sang Ayah. Ayahnya hanya mengangguk. Stroke yang sudah ia derita selama setahun ini membuat ia susah untuk berkomunikasi dengan baik. "Kakak pulang, Yah," ucap Wendy sekali lagi.

"Udah mau setahun aja, kita gak ketemu sama kakak. Kangen tau," ujar Ibu yamg sejak tadi berada di sampingnya.

"Kakak bakal disini buat seminggu kedepan."

"Ibu kira bakal netap disini. Kenapa hanya semimggu? Gak bisa lebih?"

"Gak, minggu depan anak-anak bakal ujian, jadi Kakak gak bisa lama-lama."

Ceklek!

Pintu kamar terbuka. Terlihat seorang pria berjas putih dengan teteskop menggantung di lehernya.

"Wendy, udah pulang?" tanya pria itu.

"Siapa ya?"

Wendy mengerutkan alis. Siapa orang ini?

Pria itu mengulurkan tangannya. "Saya Dokter Reza Cahyo Pratama. Panggil Reza."

Wendy membalas uluran tangan. "Kok kenal saya, ya?"

"Saya kenal karna orang tua kamu pasien saya. Suka cerita soalnya."

Wendy hanya mengangguk. Entahlah, ia sekarang merasa aneh dengan tatapan Dokter ini.

***

Sejak tadi pagi Echan hanya berdiam diri di dalam kelas. Tidak seperti biasanya.

"Chan, lu gak keluar gitu?" tanya Martin. "Kita mau kekantin, nih."

"Gak, gua disini aja." Menekuk kedua tangan di bawah dagu.

"Yaudah, kita ke kantin ya, kalo berubah pikiran, nyusul aja."

"Gua juga mau disini aja," ujar Nana. Ia lalu duduk disebelah Echan. "Lagi mager juga."

"Yaudah," Chendra menatap yang lain, "cacing gua udah laper banget ini," katanya sambil memegang perut.

Lalu Martin, Chendra, Jafya, Juno, dan Arya, pergi keluar kelas.

"Ini baru sehari, dan lo udah kek orang gak punya kehidupan," gumam Nana. Netranya kenatap kearah Echan, benar katanya, dari sorot matanya seperti tidak ada kehidupan. Padahal ini hanya LDR, bukan Putus. Ya, mau bagaimana lagi, Echan kalau sudah galau, memang seperti ini.

"Gua kangen, Na."

"Yaudah, chat kek, atau telpon."

"Ponselnya gak aktif, gimana mau nelpon."

Nana mengehela nafas. "Udahlah Chan, 'kan dia pulang gara-gara Ayahnya sakit. Mungkin aja, Bu Wendy lagi sibuk ngurusin Ayahnya."

"Iya sih, nethink mulu gua. Tapi ... guaa kanggeenn summpaaahhh!" teriak Echan. Untung saja hanya mereka berdua didalam kelas. "Gua boleh meluk lu gak, Na?"

Nana berdenyik geli, "lu mau di bilang Gay? Ntar orang-orang pada pikir aneh-aneh."

Memaksa Nana untuk ia bekap, namun Nana tetap kekeh untuk menghindar.

"Naanaaa!"

"Chan, malu diliat orang!" teriak seseirang di sudut kelas, tepatnya di samping pintu.

Nana langsung mendorong tubuh Echan jauh darinya.

"Eh, Raya," panggilnya.

Raya pun berjalan mendekati Echan, duduk di samping pria berseragam putih abu-abu itu.

Ddrrtttt!

Ponsel Echan bergetar dalam saku celananya. Ia langsung meraih.

My Fucture💙

Nama kontak yang sejak kemarin ia nanti-nanti untuk di hubungi. Ia langsung beranjak dari kursi, tanpa memperdulikan Raya dan Nana. Ia langsung menjauh dan duduk di sudut ruangan.

"Aaa, Echan kangenn," ujar Echan sambil meringis kecil.

Wendy tertawa. "Dih, baru sehari, 6 hari lagi loh."

"Iya sih."

"Harus banyak-banyak sabar."

"Iya," jawab Echan, "Ehm, kamu gak kenapa-kenapa 'kan? Gak terjadi apa-apa pas di jalan?"

"Enggak kok, saya selamat sampai tujuan. Ini lagi nemenin Ayah."

"Abis jaga Ayah, kalau balik lagi kamu jaga aku ya?"

"Emang kamu lagi sakit?"

"Iya, sakit."

"Sakit apa?"

"Sakit ditinggal Ayang:("

"Dasar!"

"Iya-iya, becanda kok. Intinya Echan kangen pake banggeettt!"

Dilain sisi Raya yang memperhatikan Echan dari sudut ruangan memicingkan matanya.

"Biasa aja kali, gausah liat sampe segitunya," ujar Nana datar.

Pandangan Raya pun buyar, ia beralih menatap Nana.

"Na, yang nelpon Echan siapa?"

Alis Nana mengerut, menatap Raya dengan aneh.

Tumben lu nanya?

"Y-ya, maksudnya ... kok Echan sampai segembira itu, tadi bukannya murung banget."

"Gua juga gak tau."

Nana sebenarnya tau siapa yang sedang menelpon Echan, ia tau betul jika itu Wendy. Tapi sayangnya, Echan pernah bilang, kalau hubungannya dan Wendy harus di jaga, tidak boleh ada yang tau selain mereka.

"Oh, gitu ... ehn, E-echan udah punya pacar belum, Na?"

"Hah? Gak salah nih, lu tiba-tiba nanya kalo Echan punya pacar?"

"Ya, nanya aja sih."

Hening pun melanda.

Nana buka suara, dan berbalik bertanya. "Bukannya lu sahabatnya Jiya ya? Kok akhir-akhir ini gua gak liat lu bareng-bareng lagi?"

Pertanyaan Nana membuat gadig itu sedikit tersentak. "H-hah? Itu ... e—Jiya lagi ... sibuk, iya, lagi sibuk."

"Tap—"

"Apalagi Jiya udah putus dari Juno, emosian mulu."

Nana hanya mengangguk pelan.

"Yaudah gua duluan ya!"

"Ok."

Nana sekilas menoleh menghadap Echan yang sedang disudut ruangan lalu kembali menatap punggung Raya yang kian menjauh.

Ia tersenyum miring. "Gua tau kalau lu punya rencana Ray."

PACARNYA BU GURU || Lee HaechanDonde viven las historias. Descúbrelo ahora