29. Kepingan Puzzle

2.6K 305 25
                                    

Tetaplah hidup dalam teka-teki. Ketika nanti semua kebenaran menyeruak sekaligus, yang kamu lakukan hanya pulang. Ke rumah yang senantiasa memberimu kenyamanan. Atau, rumah keabadian yang menenggalamkanmu selamanya.

---•••---

Meja makan semakin suram setelah mulut kurang hajar ini berucap. Entah dari mana aku mendapatkan keberanian mengutarakan segalanya kepada Naina. Namun, satu hal yang membuatku bergeming tak bersuara di tempat. Naina terlihat biasa saja, ia bahkan dengan lahap memakan nasi tanpa peduli saat aku dan Mas Dareen menatapnya.

"Apa yang kamu katakan?" Naina bertanya, pertanyaanya singkat sekali.

"Semua yang kukatakan, itu memang benar."

"Jangan bercanda, Fara. Aku tahu, kamulah yang mencintai suamiku."

Seteguk air liur meluncur namun, yang terasa seperti meneguk kerikil kecil. Sakit sekali. Dalam senyum yang kutahan, helaan pelan terembus. Aku mengangkat wajah.

"Kamu mengatakannya, Mas? Kamu yang bilang sama Naina bahwa akulah yang memiliki perasaan padamu?"

Naina menghentikan kunyahannya. Memandangi dengan sangat lekat. "Suamiku cukup baik sehingga pantas untuk siapa pun memiliki perasaan dengannya. Termasuk kamu-"

"Aku tak pernah mencintainya," setegas mungkin aku berucap sehingga suara Naina terhenti. Entah kenapa, lelaki di hadapanku saat ini hanya diam, ia tak marah, tak membela, tak menyanggah. Kenapa?

"Aku tak pernah mencintai suamimu, Naina!" sekali lagi aku peringati dirinya, semakin jelas. Mereka bergeming di tempat. Diam membatu yang membingungkan. "Ya, mana mungkin kamu akan percaya dengan semua yang kukatakan-"

"Benar," Naina mengangkat wajah. Lelehan air yang mengalir di sisi wajahnya membuatku tertegun begitu hebat. "Aku tak pernah mempercayai kamu, Fara. Aku menerima kamu lantaran Mas Dareen dan juga mertuaku. Aku membawa kamu masuk dalam perperangan hati ini, aku menikamnya setiap saat kala kamu tersenyum dengan seorang ibu yang aku harapkan kasih sayangnya. Bahkan, aku membenci harus berpura-pura memberimu kekuatan untuk melahirkan seorang bayi-"

"Hentikan, Nai. Sudah cukup!"

Lelaki itu menyanggah begitu cepat sehingga mulut Naina terkatup rapat. Masih kulihat getaran kuat menghunjam sekujur tubuhnya.

"Kamu dicintai banyak orang. Kamu diinginkan hadirnya bahkan disanjung. Meskipun aku tahu kesakitan yang kamu alami, aku masih merasa iri."

"Andai..." ucapanku terjeda seiring sesak yang mengurung. "Andai kita berganti posisi. Aku sungguh sangat rela, Nai. Demi Allah. Aku rela."

Tergelak jiwaku mendengar penuturan Naina. Apa dia kurang waras?

"Kamu tak tahu bagaimana aku menjalani hidup. Kamu hanya melihat sebagian dari neraka yang kujalani, dengan entengnya kamu bilang iri dengan kehidupanku. Lelucon apa yang kamu katakan, Naina? Jangan melawak."

"Aku akan ke kantor-"

"Sebelum itu tolong jawab pertanyaanku lebih dulu," bangkit diri ini setelah Mas Dareen bangun hendak melangkah. Ia memutar arah tatapan padaku.

"Aku akan menjawab sesuatu yang memang pantas dijawab, jika tidak. Aku akan diam," ucapnya. Aku mengangguk.

"Apa yang sebenarnya kamu katakan kepada Naina? Kenapa dia meyakini kalau aku mencintai kamu?"

"Aku tak pernah mengatakan masalah ini padanya."

"Risa memberitahuku," aku menunduk meneliti gurat Naina. "Dia yang bilang kalau dulu kalian sering ngobrol dan tertawa bersama. Saat Risa dan Rendy bareng, kalian pasti sedikit berjarak untuk berbicara. Dan Risa juga bilang kalau kamu mencintai tunanganku waktu itu."

Noda Siapa? [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang