✿21 | Ini Bukanlah Akhir Dunia✿

63 43 157
                                    

Happy reading

✿✿✿

Malam itu, suasana di rumah sederhana milik Martunis tampak senyap. Mereka berempat memang sedang makan malam. Namun, tidak ada suara lain selain dentingan sendok dan piring di meja makan tersebut.

Biasanya, mereka akan sekedar bercanda gurau di meja makan sebelum bahkan seusai makan. Mita dan Ratu juga pasti akan memulai pembicaraan dan membuat suasana menjadi ceria. Akan tetapi, malam ini, mereka tidak berani memulai percakapan. Ayah dan Anak lelaki itu tampak serius dengan makanan dan pemikirannya masing-masing. Membuat Ratu menghela napas panjang. Ia memang tidak menyukai Abang tirinya itu, tapi, untuk sekarang ia jadi merasa kasihan juga kepada Raju.

"Raju ke kamar dulu," pamit Raju yang sudah selesai dengan makanannya. Laki-laki itu kemudian membawa piring, gelas dan sendok miliknya ke wastafel, dan tak lama setelah itu, ia segera menuju kamarnya yang hanya berjarak sepuluh langkah dari dapur.

Sesampainya di dalam kamar. Ia segera duduk di kursi meja belajarnya. Meja yang tidak pantas disebutkan sebagai meja belajar, karena Raju menggunakan meja itu untuk bermain game.

"Bahkan Arman nyalahin gue juga sekarang," keluhnya pelan.

Laki-laki berusia 17 tahun itu kemudian membungkuk, membuka laci yang berada di bawah mejanya. Laci tersembunyi yang hanya dia yang tahu apa isinya. Dengan hati-hati, Raju mengambil beberapa lembar foto tanpa bingkai. Foto yang menampilkan empat anak kecil sembari bergaya lucu. Siapa lagi kalau bukan ia, Arman, Rahmi dan juga Gara. Sedikit senyuman terlihat pada bibir laki-laki itu. Jujur, ia memang merindukan masa-masa itu, masa-masa di mana mereka begitu dekat. Masa-masa sebelum mereka harus menerima kenyataan yang pahit.

Namun, bukankah semuanya sudah berantakan? Ia selama ini benar-benar tak bisa menerima permintaan maaf keluarga Gara atas apa yang telah mereka lakukan kepada Ibunya. Walau memang, itu bukanlah hal yang disengaja. Tapi tetap saja tidak semudah itu.

"Lo mau gak maafin dia, Lo mau balas dendam ke dia, lo mau ngapain aja gue gak komen. Tapi kalau lo ngomong kayak gitu, gue gak bisa respect, Ju!"

"Semua keputusan emang ada di tangan Lo! Tapi jangan sampe lo nyesel nantinya."

Kata-kata Arman kemarin malam masih terekam jelas diingatan Raju. Arman belum pernah semarah itu kepadanya. Dan, itu sungguh tak disangka-sangka.

Tok.. tok...

"Masuk!" seru Raju membuat orang yang barusan mengetuk pintu memasuki kamar bernuansa biru tua tersebut. "Ada apa?" tanya Raju to the point, tanpa menatap sang lawan bicara.

"Boleh nggak gue peluk lo?" tanya Ratu ragu-ragu. Sementara yang ditanya malah menampilkan wajah keheranannya itu.

"Maksud?"

Tanpa menjawab pertanyaan abangnya. Ratu segera memeluk Raju. Membuat laki-laki itu sempat hendak menghindar. Namun, perkataan Ratu membuatnya terdiam seketika.

"Gue tau lo lagi pengen nangis."

Senyap. Tak ada yang bersuara. Hanya suara gerimis yang terdengar indah di luar sana. Sebelum akhirnya gerimis kecil itu perlahan berubah menjadi hujan deras dengan suara bertalu-talu. Mengingatkan Raju saat hari kepergian Ibunya dahulu.

Laki-laki itu menangis tanpa suara. Menumpahkan air matanya di atas bahu sang adik yang tampaknya juga menangis.

Ratu memang membenci Raju. Namun, ia tak mau melihat Abangnya itu dalam keadaan seperti ini. Mereka memang tidak terlahir dari rahim yang sama. Namun, mereka berdua berasal dari benih yang sama. Jadi, ikatan batin mereka bisa dibilang cukup kuat juga.

About Time [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang