#2

3.5K 342 121
                                    

Treng teng teng teng teng...

Aku meraba-raba meja yang ada di sebelah tempat tidurku, setelah tanganku berhasil mendapatkan ponselku, aku langsung mematikannya dan melemparnya kembali ke atas meja. Aku kembali bergulung di dalam selimut, menikmati hari libur yang kudapatkan.

Lima hari sudah berlalu sejak pria gila itu memintaku untuk menari dengan telanjang. Untungnya pria itu tidak pernah menunjukkan batang hidungnya lagi di tempat kerjaku, dan aku sangat bersyukur akan itu.

Setelah dua jam lewat, aku akhirnya memutuskan untuk bangun dari tempat tidurku. Aku berjalan keluar dari kamar, dan menemukan kalau rumah sedang kosong.

Aneh, pikirku.

Aku menemukan secarik kertas di atas meja makan.

Riel,

Tolong pergi ke gedung di alamat ini. Aku sudah mempersiapkan interview untuk pekerjaan baru yang kamu harus kerjakan. Gajinya besar, itu cukup untuk menutup hutang kita.

-Tante.

Aku menghela nafas dan meremas surat itu.

Sudah biasa. Aku sudah terbiasa akan suruhan tanteku yang menyuruhku bekerja di berbagai tempat demi membayar hutang mereka. Walaupun aku keberatan, aku tidak bisa menolak. Mereka akan mengancamku dan mengatakan kalau aku anak yang tidak tahu diuntung.

Aku berjalan masuk kembali ke kamar untuk bersiap-siap.

—-

Aku terperangah saat berhenti di depan gedung dengan alamat yang diberikan tante kepadaku.

Apa tidak salah? Pikirku.

Gedung ini terlalu besar. Rasanya tidak mungkin aku dapat bekerja di gedung seperti ini.

Aku menelan ludah dan berjalan masuk ke dalamnya. Aku berjalan ke arah resepsionis, aku menunggu saat resepsionis itu masih sibuk dengan teleponnya. Setelah sekitar lima menit berlalu, akhirnya resepsionis itu selesai menelepon.

"Ada yang bisa saya bantu?" Tanyanya.

Aku menaruh kedua tanganku di atas meja. "Ya. Dengan nama Choi Riel? Aku disini untuk lowongan kerja."

Resepsionis itu mengernyit. "Lowongan kerja? Tidak ada.. Oh! Choi Riel! Baik silakan ikuti saya."

Aku berjalan mengikuti resepsionis itu, kami masuk ke dalam lift dan naik ke lantai 40. Setelah pintu lift terbuka, kami berjalan masuk dan seorang resepsionis lain menunduk ke arah kami. Aku ikut menunduk dan terus mengikuti resepsionis yang pertama. Kami berhenti di depan sebuah pintu besar dan dia menghadapku.

"Ini ruang presdir. Tolong jaga perilakumu saat di dalam, baik?" Katanya dengan tegas.

"Tunggu. Ruang presdir? Kenapa aku masuk ke ruang presdir?!" Tanyaku sedikit panik.

Resepsionis itu tidak menjawab dan langsung mengetuk pintu. Setelah terdengar suara "masuk", dia membuka pintu dan mendorongku masuk. Sebelum aku berbicara lagi, pintu sudah ditutup.

Aku terdiam dan membalikkan tubuhku. Aku terperangah melihat ruangan yang ada di depan mataku. Lampu gantung yang mewah bergelantungan di atas, kaca jendela besar yang menunjukkan pemandangan kota, dan seseorang yang sepertinya sedang duduk di kursi yang membelakangiku.

Aku memainkan jariku dan berjalan mendekat. "Saya disini untuk melamar pekerjaan.."

Aku berhenti saat melihatnya memutar kursi.

Itu dia.

Si pria gila dari bar.

"Kau?!" Tanyaku terkejut dan penuh rasa tidak suka.

Dia tersenyum dan berdiri, berjalan mendekatiku.

"Halo, Ms. Choi. Senang bertemu kembali dengan anda."

Aku terdiam saking terkejutnya. "Kau presdir disini?!" tanyaku dengan keras.

Dia menutup telinganya dan menaruh jari telunjuknya di depan bibirnya. "Diam. Jangan berteriak." katanya sambil menyeringai.

Tanpa pikir panjang, aku langsung berbalik dan berjalan menuju pintu keluar. Sebelum aku sampai di depan kenop pintu, aku mendengar suara yang familiar.

"Kami mohon berikan kami sedikit waktu lagi!"

Aku berhenti dan terdiam.

Paman?

Aku berbalik dan melihatnya mengangkat ponselnya. Memutarkan suatu rekaman.

"Tidak bisa. Kalian sudah melewati batas waktu terlalu lama. Dengan cara apapun kalian harus bisa membayar sekarang juga." Terdengar suara lain dari dalam ponsel.

"Ka.. kami tidak ada uang. Sungguh! Kami tidak berbohong! Kami.." Lalu terdengar suara teriakan dan suara tendangan. Aku bisa mendengar suara paman mengerang kesakitan.

"Kubilang bayar dengan apapun. Kalau kalian tidak bisa membayar dengan uang, bayar dengan organ tubuh kalian."

Terdengar suara tangisan dari dalam ponsel. Lalu perkataan selanjutnya membuat jantungku berhenti.

"Gadis! Kami punya anak gadis! Kami akan membayar dengannya! Bisakah kalian mengambilnya saja?" Kali ini suara tanteku yang berbicara.

Seketika yang terdengar hanya keheningan.

"Coba lihat fotonya."

"Ini.."

"Hm. Lumayan. Bagaimana bos?"

Sekali lagi terdengar keheningan.

"Oke. Boleh dengan dia." Kali ini terdengar suara pria gila itu.

Pria itu mematikan ponselnya dan memasukkannya ke dalam saku celana. Dia berjalan mendekatiku dan menjulurkan sebuah buku kontrak ke depan mataku. Mataku membelalak saat membacanya.

"Ini gila! Aku tidak pernah menyetujuinya!" teriakku.

"Ckckck." pria itu menggeleng. "Baby, kau tidak punya hak untuk menolak. Kalau kau menolak, keluargamu akan mati."

Mataku membelalak.

"Apa?"

"Kau milikku sekarang."

Aku menggeleng. "Tidak. Aku tidak pernah menyetujui kontrak ini."

"Oh. Tapi perwakilanmu yang menandatangan."

Jantungku seakan berhenti.

Mereka menjualku?

Hanya untuk membayar hutang mereka?

Air mataku mulai menetes. "Ta.. aku tidak mau."

Dia berdiri dan berjalan mendekat ke arahku. Aku bergidik saat dia menyentuh pipiku untuk menyeka air mataku. Dia menarik paksa daguku untuk menghadapnya.

"Shush.. babygirl. Kau tidak boleh menangis."

Aku berusaha menahan air mataku dan menatapnya penuh kebencian.

"Enjoy being my right hand bitch, babygirl." Katanya menyeringai.

Dia melepas wajahku dan air mataku terus menetes. Aku tidak percaya, keluargaku baru saja menjualku?

"Oh, dan satu lagi." Katanya sambil menatapku puas.





















"Namaku Jeon Jungkook."

YAKUZA || JEON JUNGKOOKWhere stories live. Discover now