02. Memory

760 146 1
                                    

Laki-laki yang sedang melukis itu terlihat tidak fokus. Sesekali, ia mencuri pandang kepada gadis yang tengah berbaring, tidak jauh dari dirinya. Dahi gadis itu mengerut, entah apa yang di mimpikannya.

Sedangkan di alam bawah sadar, gadis yang tidak lain Arin itu sedang di kelilingi air dan kegelapan, bagai tenggelam di lautan tanpa dasar. Namun anehnya, ia bisa bernafas normal. Tubuhnya tidak dapat melakukan apapun. Wajah gadis itu pucat, terlihat takut dan panik.

Gue nggak bisa berenang.

Itulah yang ia pikirkan sedari tadi. Ia sedikit trauma dengan air dalam. Meskipun bisa bernafas, rasa takut tetap menyelimutinya. Gadis itu menutup matanya, berusaha tenang.

Bukannya tenang, ingatan tubuh yang baru beberapa jam lalu ia tempati mulai menguasai pikiran. Di mulai dari kesedihan, rasa kesepian, frustasi dan depresi, semuanya menjadi satu. Gadis itu—Arin mencengkeram dadanya. Ia bisa merasakan rasa sesak yang di rasakan Claudia.

Benda tajam itu mengayun, seiring langkah kaki yang mulai mendekat dengan cepat. Gadis dengan baju seragam berantakan itu di tarik secara cepat dan kasar oleh gadis yang baru saja datang.

"Lo apa-apaan?!" Teriak gadis itu, meneriaki wanita yang hampir saja menusuk anaknya sendiri.

"APA? DIA MAU MATI. JADI GUE KABULIN." Balas wanita yang tengah memegang pisau itu.

Eva, gadis yang sebelumnya berteriak mulai mengencangkan cengkramannya pada tangan Claudia, dengan tidak sadar. Claudia meringis pelan, namun tidak berbicara apapun.

"Lo jangan seenaknya sama adik gue!"

Wanita itu menatap remeh gadis di depannya. "Gue orang tuanya. Jadi, gue ada HAK untuk melakukan apapun ke anak gue."

"ORANG TUA MACAM APA YANG MAU BUNUH ANAKNYA SENDIRI?! T*LOL! LO ORANG TUA TER-T*LOL YANG PERNAH GUE TEMUI. Dan sialnya, gue jadi anak orang t*lol itu." Desis Eva di akhir kalimatnya.

Eva menarik Claudia untuk pergi dari hadapan Devira. Mereka memasuki kamar Eva yang bernuansa navy. Eva mengunci pintu dan duduk di atas kasur. Lalu, ia memberikan kode kepada Claudia agar duduk di sebelahnya. Claudia menurut.

"Lo beneran mau mati?"

Claudia diam. Eva menghela nafas. Ia lalu menarik lembut tangan Claudia yang memerah karena cengkraman Eva yang terlalu kuat. Ia mengelus pergelangan tangan yang memerah itu dengan lembut.

"Maaf, gue buat luka Lo nambah."

Claudia menggeleng pelan, lalu menarik tangannya dari pangkuan Eva. Gadis itu bangkit berdiri, "Gue mau ke kamar."

"Clau."

Claudia berhenti melangkah. Eva tidak tau, Claudia saat ini sedang menahan tangis. Matanya berkaca-kaca. Tubuhnya bergetar hebat karena masih terkejut dengan kejadian tadi. Apalagi, ia baru saja sehabis di bully habis-habisan di sekolah. Namun, ia berusaha kuat untuk tidak menunjukkan sisi lemahnya kepada Eva. Berusaha terlihat baik-baik saja, agar sang kakak tidak khawatir.

"Jawab gue dengan jujur. Lo kenapa selalu ngehalangin gue buat bantuin Lo yang lagi di bully? Lo kenapa nggak pernah ngelawan mereka? Gue benci liat mereka yang selalu nyakitin Lo."

Ini adalah salah satu alasan, mengapa Eva suka membully orang lain. Ia tidak sembarang membully. Ia hanya membalas perlakuan mereka yang sudah memperlakukan adiknya dengan kasar. Namun, Eva selalu mencoba menyakiti tokoh utama wanita murni karena ingin memiliki sang tokoh utama pria. Ia hanya ingin memberi efek jera kepada gadis itu.

"Gue nggak mau ngerepotin Lo lebih jauh lagi." Tanpa menoleh, Claudia menjawab. Namun, suaranya sedikit bergetar.

Eva menggeleng keras, "Lo nggak ngerepotin siapa pun!"

Claudia menggeleng. "Kalo gue balas mereka, gue bakal ngerepotin Lo, bahkan mama. Kita cuman berdua, dan mereka banyak. Semua orang benci gue. Nggak bakal ada yang mau ngebela gue. Kita juga miskin, nggak kayak mereka yang sudah pasti dapat perlindungan dari sekolah karena uang." Claudia terkekeh miris, "Nyatanya, dunia ini berjalan dengan uang."

"Gue nggak peduli! Mereka nggak adil kalau cuman mengandalkan uang!"

Claudia menoleh, tersenyum tipis, "Dunia nggak selalu adil, kak."

°•°•°•°•

Mata itu terbuka. Keringat dingin mengucur deras. Laki-laki di sebelahnya menatap gadis itu datar, namun isyarat khawatir dan terlihat sedikit lega.

Arin—atau kini akan kita panggil Claudia itu duduk dari posisinya. Laki-laki tadi kembali duduk di depan lukisan miliknya yang hampir selesai, tanpa sepatah kata pun. Claudia menatap penjuru ruangan dengan cermat. Ruang seni ini sangat bagus dan tenang.

Tidak ada pembicaraan di antara mereka.

Claudia sibuk melamun, memikirkan langkah yang akan ia ambil. Pikirannya penuh, dan membuatnya pusing sendiri. Claudia mendongak ketika di rasa ada pergerakan dari laki-laki yang berada satu ruangan bersamanya. Mereka hanya berdua.

"Mau kemana?" tanya Claudia ketika laki-laki itu ingin melangkah keluar.

Lukisan laki-laki itu sudah jadi, dan sedang di keringkan dengan bantuan cahaya matahari yang masuk melalui jendela. Tanpa menjawab, laki-laki itu tetap melangkah keluar.

Claudia bangkit, dan baru sadar jika sebuah Hoodie berwarna hitam menutup bagian kakinya. Claudia membawa Hoodie itu dan pergi menyusul laki-laki yang tidak ia ketahui namanya itu.

"Tunggu!"

Claudia memasang sepatunya cepat dan berlari menyusul laki-laki yang sudah jauh di depannya. Mereka berjalan beriringan.

"Lo mau kemana?"

"Bukan urusan Lo." Jawab laki-laki itu datar.

Claudia menatap jam yang melingkar di tangannya. Sudah setengah 10. Berarti, ini sudah memasuki jam istirahat. Ternyata, ia pingsannya lama juga.

"Lo mau ke kantin?"

Tidak ada jawaban dari laki-laki itu. Claudia menghela nafas. Serasa berbicara dengan batu.

"Gue ikut." Kata Claudia.

Tidak ada respon lagi. Bahkan, ekspresi laki-laki itu tidak berubah. Claudia mengangkat bahu acuh. Berarti laki-laki itu tidak masalah dengan keberadaannya.

Tiba-tiba, seseorang menarik rambut Claudia dari belakang. Claudia memekik kaget. Gadis itu terjatuh dan terduduk di lantai. Ia mengangkat pandangannya dan menatap sang pelaku tajam. Ia kesal.

"Apa-apaan dengan wajah Lo? Nantangin gue? Denger ya, anak haram kayak Lo nggak pantas jalan bareng Arthur!" Gadis dengan rok pendek di atas lutut dan mata yang menggunakan lensa kontak itu menatap Claudia benci.

"Hah? Arthur?" Claudia menatap laki-laki yang berdiri tidak jauh dari mereka. "Nama Lo Arthur?"

"Arthur aja Lo ga tau? NORAK!" kata gadis tadi, kembali ngegas.

Arthur kembali melangkahkan kakinya, meninggalkan 4 gadis yang tengah adu bacot itu. Senyum tipis terbit di bibir yang jarang bergerak itu.

===============♡==============

Arthur main tinggal-tinggal aje:)

Meski baru beberapa yang vote, aku seneng!
Padahal, kalau up cerita baru itu susahhhhhh banget nyari readers-nya.

Makasih banget ya buat yang udah luangin waktu buat baca cerita ini

Lope²!!!!

Different WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang