04. Para Tokoh Saling Bertemu

700 133 0
                                    

Claudia melangkahkan kakinya dengan santai. Perdebatan yang sudah jadi makanan sehari-hari sang jiwa asli kini harus di alami Arin. Gadis itu harus bisa terbiasa dengan suara nyaring yang bersahutan itu.

Claudia bersender pada dinding pembatas, sembari telinganya menguping semua perkataan kakak dan ibunya yang bersahutan. Namun, sang ibu sepertinya sudah lelah meladeni Eva.

"Lo bisa nggak sih, berhenti bawa laki-laki gak jelas ke rumah? Lo tau, gue jijik denger suara haram kalian! Mending Lo nyewa hotel! Nggak modal banget." Hardik Eva. Rautnya jelas menunjukkan kebencian yang kentara.

Devira hanya diam, dia sibuk memakan makanannya dengan tenang. Wanita itu sudah malas membalas perkataan Eva yang sedari tadi tidak berhenti marah-marah. Sarapan yang sudah wanita itu siapkan di acuhkan begitu saja oleh Eva. Gadis itu berdecih kesal dan beranjak pergi dari sana.

Claudia keluar dari persembunyiannya dan duduk di depan Devira. Ia mengambil piring dan menaruh nasi beserta lauk-pauknya. Gadis itu makan tanpa suara. Devira menatap Claudia heran. Tidak biasanya gadis itu mau duduk satu meja bersamanya.

Sedangkan dalam benak Claudia, ia sudah sangat lapar. Ia juga malas sarapan di kantin, jadi lebih baik sarapan di rumah.

"Nggak ada niat cari pekerjaan lain?" tanya Claudia, membuka percakapan.

Sesaat, Devira menghentikan pergerakan tangannya yang sedang menyendok-kan nasi. Namun, ia kembali melanjutkan makannya yang sempat tertunda.

"Kamu pikir, mencari pekerjaan itu mudah? Aku sempat menyesal sudah membesarkan kalian berdua dan membuang semua uang yang ku miliki dengan sia-sia." balas Devira santai.

"Tapi nyatanya sampai detik ini, kau masih peduli dengan kami."

Devira kembali terdiam. Sesuatu dalam dirinya membenarkan perkataan Claudia. Namun, otaknya menolak kata-kata itu.

"Peduli apanya? Apakah kamu sudah lupa, aku pernah hampir membunuhmu." Balas Devira dengan perasaan yang mengganjal.

"Jika kau tidak peduli dengan kami, mungkin sudah dari lama kau akan berhenti membayar biaya sekolah. Dan kau tidak akan membuat sarapan sebanyak ini jika hanya untuk diri sendiri."

Pernyataan telak itu membuat Devira mati kutu. Ia juga tidak tau mengapa dirinya selalu membuat sarapan dengan porsi lebih, meskipun tau ujung-ujungnya hanya akan terbuang sia-sia.

Claudia tersenyum tipis. Ternyata, wanita itu tidak seburuk yang ia kira.

"Kau bahkan tidak sadar, dirimu sudah di tuntun oleh naluri keibuan yang kau miliki."

"Aku tidak peduli dengan kalian. Aku hanya menyekolahkan kalian agar tidak merepotkan ku di masa depan."

Devira menatap Claudia dengan tatapan yang sulit di mengerti. Hatinya menepis perkataan yang baru saja keluar dari bibir merahnya. Namun, otaknya berusaha membenarkan semua perkataan itu.

Gadis itu menatap balik Devira. "Belajarlah menerima perasaanmu. Jangan bohongi dirimu sendiri. Mungkin aku tidak seharusnya berkata seperti ini. Jadi terlihat...sok bijak? Tapi biarlah. Aku berangkat dulu."

Claudia bangkit berdiri setelah sarapannya habis. Gadis itu beranjak dari duduknya dan melakukan aktifitas pagi yang biasanya di lakukan pelajar. Berangkat sekolah.

Devira hanya bisa menatap punggung Claudia yang mulai menjauh dengan perasaan yang mengganjal.

Claudia menghela nafas, lalu bergumam. "Kangen Bunda."

°•°•°•°•

Sekolah di hebohkan dengan kedatangan murid baru yang langsung bertengkar dengan Eva. Claudia menatap gerombolan siswa yang sibuk menonton perkelahian antar gadis itu.

"Sesuai alur, ya. Gue nggak mau ikut kena masalah. Cukup di hari pertama gue ngehancurin plot, kali ini jangan." Batin Claudia.

Gadis dengan tas coklat itu memilih untuk ke kelas dari pada ikut terkena masalah. Namun, seseorang mundur dengan tidak hati-hati dan menabrak Claudia yang hanya fokus pada jalan di depannya.

Claudia terjatuh, begitupula dengan gadis yang menabraknya. Gadis itu meringis pelan, kemudian tiba-tiba berbalik dan menatap Claudia khawatir.

"Maaf, gue nggak liat. Lo nggak papa?"

Claudia menggeleng, lalu membersihkan tangannya yang sedikit lecet. "Lo sendiri?"

Gadis itu tersenyum, "Gue nggak papa."

Claudia seperti mengenal gadis itu. "Nama Lo?"

"Gue? Gue Liza, Erliza Agatha. Kita teman sekelas. Lo...nggak lupa, kan?" tanya Liza hati-hati.

Claudia menggeleng. Lalu, ia berdiri dan di susul oleh Liza. "Gue ke kelas duluan. Bye, Liza."

Setelahnya, Claudia kembali melangkah menuju kelas.

Di sisi lain, Eva saling menjambak dengan murid baru yang mencari masalah dengannya. Emosi Eva belum turun setelah perkelahiannya dengan Devira. Rasanya, ia ingin melampiaskan amarahnya pada siapapun itu.

Dan, gadis yang berada di depannya saat ini menjadi korban pelampiasan amarah Eva. Padahal, ia tidak sengaja menyenggol bahu Eva karena sedang buru-buru ke toilet.

Jambakan keras diberikan satu sama lain, tanpa ada yang mau mengalah.

"Lepas bangsat!" kata gadis yang mengenakan seragam keluar dari rok.

"Bacot!" balas Eva tak kalah kencang.

Masing-masing dari mereka semakin mengencangkan tarikannya. Para siswa yang menyaksikan semakin heboh, tanpa ada yang mau memisahkan mereka. Bahkan, banyak yang mengangkat ponsel mereka dengan kamera yang siap merekam setiap pergerakan kedua gadis itu.

Laki-laki dengan almamater biru malam dan tanda OSIS di lengannya itu berhasil memisahkan kedua gadis yang masih di balut emosi itu, meskipun dengan bantuan anggota OSIS lainnya.

"Kalian berdua, ikut saya ke ruang OSIS. Selesaikan semuanya di sana."

Setelah di berikan sedikit ceramah, Eva dinyatakan bersalah. Gadis itu harus berakhir dengan membersihkan seluruh toilet laki-laki dan perempuan. Eva mendengus kasar, dengan pel di tangannya.

Ia mengelap lantai dengan tidak ikhlas. Sedangkan di depan pintu, Adrian mengawasi Eva.

"Pel yang bener. Itu belum bersih."

Dengan kasar, Eva mengepel bagian yang di tunjuk oleh Adrian. Wajahnya lempeng.

"Yang ikhlas." Kata Adrian lagi.

"Bacot Lo, ketos! Mau gue sumpel mulut Lo pakai kaos kaki?" kata Eva dengan wajah garangnya.

"Kalo Lo lakuin, hukumannya bakal nambah."

Eva berdecih, lalu kembali melakukan hukumannya. Sedangkan Adrian, laki-laki itu entah kenapa tersenyum senang.

===========☁=========

Oke, judul dan covernya udah sip

Jangan lupa votenya!

Different WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang