2.4K 327 11
                                    


Hari kedua masa orientasi, tatapan Sunghoon sedari tadi tidak lepas dari seorang laki-laki yang sudah ia lihat dari pagi. Dengan kedua tangan yang menyilang di depan dada, Sunghoon perhatikan laki-laki itu dalam diam.

"Yang Jungwon, kenapa nama lo nggak asing?" gumam Sunghoon.

Yang Jungwon, nama yang menarik perhatian Sunghoon sedari kemarin. Kemarin, Sunghoon melihat darah merembes di kemeja Jungwon, hari ini ia melihat sebuah memar di sudut bibirnya.

"Hoon, habis ini acara utama, 'kan? Lo maju ya sama Faza," kata Dela.

"Berapa menit lagi?" tanya Sunghoon.

"Habis ini istirahat dua puluh menit, habis itu baru."

Sunghoon mengangguk lalu melihat jam di pergelangan tangannya dan pamit pergi entah kemana. Sedangkan Jungwon, kini tengah mengipas wajahnya menggunakan name tag yang dikalungkan di lehernya. Cuaca kali ini cukup panas ditambah sedari tadi ia terus beraktivitas di lapangan.

Jungwon tengah duduk di pinggir lapangan, waktu istirahat sekarang memang seluruh murid baru tidak diperbolehkan masuk ke kelas. Matanya bergerak menyusuri seluruh anak yang ada di lapangan, semua berkumpul dengan teman satu gugusnya membentuk satu lingkaran.

"Eh lo sini dong kumpul, ntar dikira nggak diajakin," teriak seseorang kepadanya.

Jungwon tersenyum kikuk lalu ikut duduk di lingkaran teman satu gugusnya. Semua orang mengobrol dengan riang, seperti sudah mengenal lama padahal baru kemarin bertemu.

"Eh katanya kelasnya tuh sesuai sama penghasilan orang tua ya?"

"Masa? Dapet info dari mana lo?"

"Kata Kakak kelas, kemarin nggak sengaja ketemu, terus eh malah ngobrol."

Dua orang perempuan tengah berbicara dengan nada yang cukup keras.

"Terus katanya, bakal ada kelas khusus anak beasiswa gitu. Buat yang nggak mampu lah istilahnya, selain beasiswa kan yang masuk sini tuh rata-rata orang tuanya bergaji tinggi semua."

Jungwon tidak ingin mendengar, namun suara mereka terdengar oleh telinganya. Meski dalam satu lingkaran pun, Jungwon hanya diam sendirian dengan kaki yang ditekuk dan kedua tangannya yang menyilang di atas lutut.

"Berarti yang satu gugus sekarang belum tentu sekelas, ya?"

Salah satu perempuan itu mengangguk. "Iya, untunglah. Gue kira gugus ini tuh bakal di satu kelasin. Nggak mau banget ew," katanya.

"Kenapa emang?"

Entah mengapa, obrolan mereka menjadi bisik-bisik sekarang. "Lo tahu nggak sih anak yang kemarin telat itu anak beasiswa tahu."

"Hah masa?"

"Iya, bukan level kita dong ya. Kek apa gitu satu kelas sama orang yang nggak mampu."

Jungwon mendengar dan tahu itu ditujukan pada dirinya. Well, memang benar jika seorang Yang Jungwon bisa memasuki sekolah elit ini dari beasiswa yang diterimanya. Jungwon sebut ini sebuah keberuntungan karena ia menjadi salah satu dari sepuluh orang yang lolos mendapatkan beasiswa dengan saingan ribuan.

Lagi pula, otak Jungwon bisa diandalkan, kok, begitupun fisiknya. Beasiswa yang ia terima itu beasiswa dengan kualifikasi nilai yang tinggi serta prestasi yang mumpuni. Jika Jungwon berhasil masuk, berarti kepintaran dan prestasi Jungwon seharusnya tidak perlu diragukan.

"SEMUANYA BUAT SATU BARISAN PER GUGUS DALAM HITUNGAN LIMA DETIK. CEPAT!"

Seluruh murid baru itu lantas mulai ribut dan memposisikan dirinya baris sesuai yang diperintahkan. Begitupun dengan Jungwon, ia sedikit terkejut dan untungnya ia sudah di lingkaran bersama teman satu gugusnya sehingga tidak susah mencari.

"JANGAN PAKAI SUARA!"

Senyap, suara ribut tadi berubah menjadi senyap. Jungwon tidak tahu kegiatan apa yang akan dilakukan sekarang, ia hanya diam memperhatikan kakak kelasnya yang mulai berpencar di depan.

Dan ternyata kegiatan ini adalah acara utamanya, menguji mental siswa baru. Jungwon sedikit tidak mengerti dengan sistem sekolah ini bagaimana, memangnya orang-orang kaya dan pintar, harus diuji mental juga, kah? Maksudnya, keadaan mental seseorang itu berbeda-beda, tidak bisa disama ratakan.

"LIMA SOAL UNTUK SATU PELANGGARAN!"

Suara seseorang yang tidak asing di telinganya terdengar. Jungwon berusaha berjinjit untuk melihat si pemilik suara, karena ia berada di barisan paling belakang. Jungwon tidak sadar jika pergerakannya itu terlihat jelas oleh panitia yang berjaga di bagian belakang barisan.

"Gugus dua belas, anak paling belakang," ucap panitia yang berjaga menggunakan walkie talkie.

"GUGUS DUA BELAS. ANAK YANG BERDIRI DI BARISAN PALING BELAKANG, MAJU KE DEPAN!"

Refleks, Jungwon melihat ke belakangnya dan tidak ada orang, ternyata suara tadi ditujukan kepadanya. Meski dengan kebingungan karena ia tidak tahu kesalahannya apa, Jungwon berjalan ke depan dengan langkah yang pelan.

"Kamu lagi ya. Jungwon, tercatat satu pelanggaran di hari pertama."

Sekarang Jungwon tahu, suara siapa yang tadi ia dengar. Ternyata suara kakak kelasnya yang menghukum ia kemarin.

"Del urus. Lima pertanyaan, dua pengetahuan umum, satu bahasa, dua hitungan," titah Sunghoon.

Radela mengangguk lalu menyuruh Jungwon mengikutinya. Sedangkan Sunghoon kembali melanjutkan acaranya, memimpin bersama Faza.

Sejatinya, acara utama kali ini bukan ditujukan dengan tujuan senioritas atau perpeloncoan. Acara ini bertujuan menguji sejauh mana anak bisa berkonsentrasi, saat dicerca berupa suara panitia, anak harus mencoba fokus dan yang tidak fokus akan dihukum berupa menjawab pertanyaan. Hal ini bertujuan untuk menyaring kembali murid baru yang benar-benar memiliki kepintaran atau sekedar gaya saja.

Well, sekolah ini memang terkenal dengan sekolah gudangnya otak pintar siswa/i. Maka, tak heran begitu ketat penyeleksiannya bahkan biayanya, karena fasilitasnya pun tidak main-main.

Suasana mulai panas, ditambah karena cuaca yang memang sedang panas. Sudah banyak siswa/i yang mulai tidak fokus dan berujung menjalankan hukuman; menjawab pertanyaan. Jungwon sendiri berhasil menjawab lima pertanyaan itu dengan mudah, sudah dibilang ia memiliki otak yang bisa diandalkan.

"Fokus, Dek. Jangan melamun."

Jungwon mendapatkan teguran kembali dari kakak panitia karena tidak fokus. Sejujurnya, kepalanya cukup pusing entah karena apa. Makannya, Jungwon tengah berusaha menjaga kesadarannya setidaknya sampai acara ini selesai.

Untungnya, acara selesai beberapa menit kemudian dan langsung pulang karena hari kedua masa orientasi sudah selesai. Jungwon buru-buru pergi ke halte dan langsung menaiki bus karena kepalanya sudah bertambah pusing.

"Kok pusing ya," gumamnya.

Beberapa menit di perjalanan, kini Jungwon tengah berjalan kaki ke pantinya. Kepalanya bertambah pusing dan kakinya sudah bergetar.

"Tahan Jungwon, sedikit lagi."

Bangunan yang sudah menjadi rumah singgahnya sudah terlihat. Jungwon sudah berusaha menjaga kesadarannya sampai menginjakkan kakinya di halaman. Namun, begitu ia sampai, kepalanya sudah tambah berputar.

Hal yang terjadi selanjutnya, Jungwon tidak tahu karena kegelapan sudah merenggut kesadarannya.

---

Belum sedih lah ya, masih awal

Jangan lupa vote dan komennya ❤❤

180° • Sungwon [End]Where stories live. Discover now