11°

1.8K 260 11
                                    


Sunghoon baru saja sampai di kamar usai mendengar cerita sang kakak di ruang keluarga. Tadi saat ia mengatakan bahwa dirinya mengenal orang yang ditolong oleh kakaknya, keluarganya itu hanya berpesan untuk meminta ia bersikap baik kepadanya. Namun, entah mengapa Sunghoon sedikit kepikiran dengan bagaimana keadaan bocah itu.

Berbeda dengan Jungkook yang abai, karena toh ia kenal saja tidak. Jadi ya buat apa dipikirkan? Lebih baik ia memikirkan tumpukan kertas yang banyak di meja kerjanya. Sama halnya dengan Suho dan Irene, sepasang suami istri itu tidak terlalu ambil pusing. Secara logika saja anak pertamanya memang tidak bersalah dan mereka cukup bangga saat Jungkook memilih bertanggung jawab.

Malam berikutnya, keluarga itu tengah melaksanakan makan malam di sebuah restoran yang terkenal akan kemewahannya. Urusan harga tolong jangan ditanya karena sudah pasti semua makanan yang ada di sini berharga fantastis.

Mereka sengaja makan di sana dengan tujuan merayakan Jungkook yang baru saja mendapat untung besar di perusahaannya.

"Kak, Mama dihubungi pihak sekolah katanya bakal ada event ice skating lagi. Kamu udah dikasih tahu belum?" tanya Irene saat makanan di hadapannya sudah habis.

"Udah Ma, rencananya aku mau ikut buat yang terakhir. Soalnya udah kelas dua belas jadi mau mulai fokus belajar," jawab Sunghoon.

Irene menyangguk tanda setuju dengan sang anak. Anak keduanya ini memang sudah harus mulai fokus pada pendidikannya dan untuk sementara waktu menghentikan kegiatan ice skatingnya.

"Padahal kamu masih semester ganjil 'kan?" tanya Suho yang langsung diangguki Sunghoon. "Masih bisa kalau kamu emang masih mau ikut event yang ada," lanjutnya.

"Iya sih tapi aku mau mertahanin nilai semester lima sekarang, takutnya nilai ku turun ntar nggak masuk ke siswa eligible."

"Nice, Mama dukung kamu. Tapi apapun keputusan kamu nantinya Mama bakal tetep dukung sekalipun kamu berubah pikiran."

Sunghoon mengangguk setuju, ia senang dengan keluarganya yang sangat suportif seperti ini. Tidak menuntut banyak, tidak harus selalu nilai bagus, tidak harus sempurna. Tapi, Sunghoon merasa ia harus berusaha sebab kakaknya yang ia jadikan tolak ukur merupakan anak yang sangat cerdas dan berbakat.

"Kapan eventnya? Itu ice skating doang apa gimana?" tanya Jungkook yang sedari tadi menyimak.

"Kalau nggak salah banyak cabangnya Bang. Renang, bulutangkis, taekwondo, voli, banyak pokoknya."

"Festival olahraga bukan sih? Tingkat apa itu?" Jungkook kembali bertanya.

Kening Sunghoon mengernyit berusaha mengingat. "Lupa Bang, eh tapi kalau enggak salah nasional deh."

"Perusahaan kamu jadi sponsor juga nggak?" tanya Irene pada anak pertama.

"Nggak tahu sih, belum ada laporan apa-apa soalnya. Tapi biasanya kalau eventnya tingkat nasional suka ada sih Ma," jawab Jungkook seraya menyandarkan tubuhnya.

Sang mama mengangguk setelah mendengar jawaban yang cukup memuaskan. Kemudian keluarga itu kembali berbincang hangat membicarakan banyak hal.

Ah, keluarga yang sangat sempurna.

---

Yang Jungwon hanya mampu menghela nafas lelah saat dirinya tengah mencuci setumpuk pakaian. Ia diberi hukuman karena tidak ada kabar dan tidak pulang ke panti satu hari. Ibu panti marah besar apalagi saat tahu Jungwon memberikan alasan yang tidak jelas.

Sesuai kebijakan panti, Jungwon harus dihukum karena melanggar aturan. Hukumannya yaitu mencuci baju seluruh anak panti selama tiga hari. Salahnya sendiri yang tidak mengatakan alasan ia tidak pulang adalah karena sakit. Tapi, Jungwon tidak ingin orang-orang panti mengetahuinya.

"Kak Jungwon," panggil Ni-ki.

"Apa Nik?"

"Kakak udah selesai?"

"Belum, kenapa?" tanya Jungwon.

Di luar kamar mandi, Ni-ki menggigit bibirnya. Terlihat bingung harus mengatakan apa. Tak lama, Jungwon keluar karena tak kunjung mendapat jawaban dan hal itu membuat Ni-ki hampir terjatuh karena terkejut.

"Kenapa Nik?"

"Anu Kak ... mau pinjam uang boleh?" ucap Ni-ki ragu-ragu.

Jungwon mengernyit, untuk apa anak itu meminjam uangnya lagi?

"Buat apa?"

Ni-ki terlihat ragu-ragu untuk mengatakan, tapi keinginannya sangat tinggi. Jadi ia mencoba menghilangkan gengsinya dan mengatakan apa yang sebenarnya pada Jungwon.

"Aku mau ke warnet, temen-temenku pada ngajak ke sana. Tapi uang aku habis dipake jajan di sekolah," ungkap Ni-ki.

"Uangmu habis semuanya?" tanya Jungwon.

"Iya ...."

Jungwon menghela nafas lelah. "Berapa?"

"Lima puluh ribu, ada?"

Karena merasa kasihan, mau tidak mau Jungwon kembali merelakan uang yang diberi paman Jin atas upah bekerjanya kemarin. Ia hanya diberi seratus lima puluh ribu karena kerjanya tidak full.

"Jangan diborosin lagi ya Nik, aku nggak punya uang pegangan lagi."

Selepas menerima uang darinya, Ni-ki berlalu begitu saja dan mengabaikan peringatan yang diberikannya.

"Nggak apa-apa deh, kasihan Ni-ki," gumam Jungwon.

Malam harinya, Jungwon sudah berbaring di kasur setelah makan malam. Ia menghela nafas karena merasa kelelahan akibat mencuci banyak pakaian dan mengasuh adik-adiknya yang paling kecil. Belum lagi mereka yang masih kecil itu sering bertengkar hingga menangis, membuat Jungwon pusing.

"Jungwon," panggil Heeseung.

"Iya Kak?"

Heeseung yang sudah berada di kasur tingkat bagian atasnya terdiam. "Uang beasiswamu udah cair?" tanyanya.

"Belum."

Jungwon baru ingat jika uang beasiswanya belum cair juga. "Mungkin sebentar lagi, kenapa Kak?" tanyanya.

"Nanti gue pinjem uangnya boleh? Gue perlu beli laptop buat kebutuhan tugas di kampus," ucap Heeseung.

Jungwon terdiam. Diam-diam ia meneguk ludahnya karena bingung harus menjawab apa. Harga laptop tidak mungkin murah, 'kan? Bisa-bisa uangnya habis dan ia kembali tidak memegang uang sepeser pun.

Masalahnya, ibu panti belum memberikan uang ganti dari uang SPP Ni-ki. Jadi ia hanya bisa mengandalkan uang beasiswa nanti untuk membeli keperluannya yang sudah mulai rusak, seperti sepatunya.

"Jungwon, boleh?"

"Ah, b-boleh Kak. Nanti ku tanya dulu dapatnya berapa."

Heeseung mengulas senyum senang. Memang di antara anak panti lainnya yang sudah besar, hanya Jungwon yang sering kali mendapat uang lebih. Jungwon penerima beasiswa, otaknya bisa diandalkan begitupun fisiknya. Maka tak jarang jika Jungwon seperti sengaja didorong untuk mengikuti banyak perlombaan yang hadiahnya berupa uang.

Panti asuhan yang dihuninya itu tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Meski terkadang ada beberapa donatur yang memberikan dana untuk panti, anak-anak di sana tidak tahu menahu uang itu dipakai apa. Karena yang mereka tahu hanya kebutuhannya terpenuhi seperti makan yang cukup sebanyak tiga kali sekali.

"Padahal aku mau beli ponsel," gumam Jungwon dalam hati.

Tapi, satu prinsip yang sudah ditanamkan dalam benaknya sejak kecil yaitu untuk selalu berbagi, mau tidak mau membuat Jungwon harus merelakan apa yang ia punya menjadi milik berdua atau bahkan milik bersama.

Seandainya Jungwon bisa bertemu orang tuanya, apakah hidupnya tidak akan seperti sekarang?

Ah, Jungwon suka lupa diri. Jika ia sudah dibesarkan dari sejak bayi hingga sebesar sekarang di panti ini.

---

Aku tuh mau gambarin gimana perbedaan hidup Sunghoon sama Jungwon yang bener-bener timpang banget gitu. Semoga udah kelihatan ya dan kalau belum, aku pasti usahakan lagi.

Jangan lupa vote dan komennya ❤❤

180° • Sungwon [End]Where stories live. Discover now