39°

1.5K 244 13
                                    


Pemandangan yang dipenuhi oleh pohon dan sawah yang sangat hijau itu menjadi pemandangan yang akhir-akhir ini sering dilihat oleh mata kepala seorang laki-laki atlet itu.

Park Sunghoon merasa hidupnya dijungkir balikkan begitu saja. Hidupnya seolah menjadi berubah 180°. Mau tidak mau, terima tidak terima, Sunghoon harus bisa. Jauh di lubuk hatinya ia tidak ingin, tapi keadaan memaksa. Memaksa dirinya yang harus kembali ke kehidupan yang seharusnya.

Satu minggu sudah berlalu dan dia kembali pada keluarga kandungnya. Orang-orang tahunya dia pergi keluar kota, padahal nyatanya keluarganya pergi ke sebuah desa dan tinggal di sana.

Orang tuanya yang baru saja datang dari luar negeri itu bukan tanpa alasan. Pertama, mereka pulang karena di sana sudah tidak ada tempat untuk singgah. Kedua, ternyata orang tuanya pulang untuk menjemput dirinya.

Sunghoon rasanya ingin mengeluh sekali. Sekolahnya berhenti, pekerjaannya menjadi atlet juga berhenti. Semua mimpi-mimpinya harus musnah bahkan sebelum dirinya mulai menggapai.

Seperti sekarang, Sunghoon hanya diam memandang ladang kosong di hadapannya. Kata Heeseung, ladang kosong ini akan dijadikan tempat usaha milik keluarganya. Kakaknya itu bilang, keluarganya ini tengah mulai merintis usaha dari awal.

"Dek, kenapa diem?" tanya Heeseung.

Sunghoon menoleh dan ia menemukan kakaknya dengan balutan pakaian sederhana berdiri di dekat pintu. "Lagi diem aja sih, Kak."

"Masuk ayo, Mama baru selesai masak," ajak Heeseung.

"Iya."

Benar yang dikatakan kakaknya, ibunya itu tengah menata makanan saat dia dan sang kakak sampai di meja makan. Ibunya menoleh dan tersenyum seraya menyapa dirinya.

"Halo sayang, makan dulu ya."

"Iya, Ma."

Tak lama kemudian, ayahnya datang dan ikut bergabung bersama mereka. Keluarga yang baru saja berkumpul itu langsung mulai menyantap makanannya. Tidak mewah, hanya sekadar sayur kangkung, tempe dan tahu goreng, dan juga telur yang dibumbu merah.

Di sela suapannya, Sunghoon sempat terdiam sesaat. Dengan susah payah ia menelan makanannya yang tersangkut di tenggorokan. Hatinya hancur melihat bagaimana susahnya dia sekarang. Dulu saat masih bersama keluarga lama, Sunghoon setiap hari diberikan makanan yang mewah dan mahal. Selalu ayam goreng, steik, dan masakan berkelas lainnya. Tidak ada tempe goreng, tahu goreng, dan sayur kangkung seperti sekarang.

Sunghoon tahu dia harus menerima, dia hanya merasa emosional saja. Memikirkan bagaimana kelanjutan hidupnya dengan keadaan seperti ini.

"Kenapa ngelamun, Dek?" tegur sang ayah.

Heeseung mengangkat pandangannya dan langsung melihat sang adik yang buru-buru melanjutkan makan. Diam-diam Heeseung meremat pegangannya pada sendok, dia tahu, dia tahu alasan mengapa Sunghoon seperti itu.

Dia ingin egois dengan membiarkan Sunghoon di sana. Tapi sampai kapan? Sampai kapan ia harus menukar kehidupan orang yang tidak bersalah hanya demi kehidupan adiknya.

"Maaf," batin Heeseung.

Jika saja dia tidak menerima tawaran Jungkook saat itu, mungkinkah Sunghoon tidak akan seperti ini? Bukan sekali dua kali ia melihat adiknya itu diam-diam menatap makanan di hadapannya dengan lamat. Seolah tengah melihat perbedaan yang teramat jauh dengan makanan yang biasa dirinya makan.

"Saya nggak bermaksud apa-apa. Hanya saja, sama halnya dengan anda yang ingin kebahagiaan untuk Sunghoon. Saya pun sama, saya ingin kebahagiaan untuk Adik kandung saya dan itu Jungwon."

"Saya juga tidak memaksa. Keputusan itu kembali lagi pada diri anda. Saya hanya ingin meminta sedikit pengertiannya bahwa apa yang anda rasakan, saya juga merasakannya."

Masih terekam jelas ucapan Jungkook di ingatannya. Saat itu Heeseung rasanya ingin marah, tapi dia merasa tertampar karena tidak memikirkan bagaimana perasaan orang yang ia manfaatkan. Jungwon korbannya, teman satu kamarnya di panti itu menjadi korban keegoisannya.

"Kakak juga kenapa ngelamun hey, cepet habisin makannya."

Kali ini, sang ibu yang menegurnya. Hal itu membuat Heeseung buru-buru mengulas senyum halus dan kembali memakan makanannya.

---

Ada satu malam dimana Sunghoon dan keluarga barunya itu melakukan obrolan yang cukup serius. Hal itu bermula karena Sunghoon yang ketahuan menangis di dalam kamar oleh sang ibu.

"Adek kenapa nangis?" tanya ibu saat mereka sudah berkumpul di ruang tamu.

Panggilan 'Adek' itu membuat mata Sunghoon kembali berkaca-kaca. Selama tinggal bersama Irene dan Suho, belum pernah mereka memanggilnya dengan sebutan itu karena dia dipanggil 'Kakak'.

Akhirnya, karena tidak tahan Sunghoon mencurahkan semuanya. "Aku sedih hidupku jadi begini. Maaf kalau ini nyakitin kalian, tapi selama aku hidup aku terbiasa sama kemewahan dan harus dihadapkan dengan keadaan seperti ini aku sedih. Aku nggak pernah nyangka bakal kayak gini," ungkapnya.

Ayah dan ibunya hanya bisa terdiam, dia jelas tahu bagaimana perasaan anaknya. Salahnya juga yang sudah menukar Sunghoon dengan bayi lain hingga mereka harus seperti ini.

"Aku biasa makan sama ayam atau steik, tapi di sini tiap hari makan tahu tempe. Aku biasa tidur di kasur spring bed, tapi di sini aku tidur di kasur kapuk. Aku biasa berangkat pakai mobil, tapi di sini aku harus naik motor. Aku masih belum terbiasa sama semua itu, Ma, Pa," lanjut Sunghoon seraya menundukkan kepalanya.

Heeseung ikut menunduk mendengar perkataan adiknya. Hatinya sakit melihat adik sedarahnya itu menangis tergugu dengan kehidupannya sekarang. Dirinya tidak masalah sebab dari kecil sudah merasakannya. Tapi, Sunghoon tidak.

"Mama minta maaf harus bawa kamu masuk ke kehidupan yang kurang seperti ini. Maaf Mama belum bisa belikan ayam untuk kamu makan, maaf Mama belum bisa berikan kasur spring bed buat kamu tidur, maaf Mama belum bisa berikan mobil untuk kamu pakai. Maaf kamu harus tinggal di tempat yang sederhana ini sekarang," ucap ibu dengan nada yang amat pilu.

"Tapi Nak, tidak ada orang tua yang tidak ingin anaknya bahagia. Kami akui kami salah karena sudah menukar kamu, kami sadar jika itu benar-benar kesalahan fatal yang sudah kami lakukan. Maka dari itu kami ingin menebusnya, kami ingin menebus semua hal yang sudah kami lewatkan tentang kamu," lanjutnya.

Sunghoon terdiam, hatinya tergugu mendengar ibunya minta maaf seperti ini. "Maaf Ma ...," lirihnya.

"Enggak, kamu enggak perlu minta maaf. Kami yang minta maaf sama kamu, maafkan kami, Nak. Maaf sudah gagal menjadi orang tua yang baik buat kamu."

Tangis Sunghoon pecah saat itu juga, dia merasa banyak sekali yang berkecamuk pada hati dan pikirannya. Tapi melihat bagaimana orang tua dan kakaknya yang berusaha membuat dia nyaman, dia juga ingin berusaha untuk menerimanya.

Sejak saat itu lah, Sunghoon mulai membiasakan diri dengan kehidupan di pedesaan. Meski dia benar-benar mengalami hari sulit, ada masa dimana sebuah kabar gembira datang mengatakan bahwa ayahnya akan mulai merintis usaha.

Untungnya juga dia punya kakak yang tidak kalah perhatiannya dengan Jungkook. Heeseung menjalankan perannya dengan baik dan Sunghoon merasakan hal itu. Maka, rasanya ia sama sekali tidak bersyukur jika tetap terus-terusan tidak menerima, 'kan?

Lagi pula, Sunghoon baru sadar jika ia egois dan ingin sekali memperbaikinya. Semoga saja kehidupannya bisa lebih baik meskipun dengan penuh kesederhanaan, Sunghoon mulai syukuri sebab dia menjalankannya dengan keluarga yang sebenarnya.

Selamat Sunghoon, kamu berhasil berdamai dengan dirimu sendiri.

---

Pasti kerasa banget kan ya gimana emosionalnya Sunghoon karena dia ngerasa kehidupannya tiba-tiba gejret gitu berubah dalam sekejap.

Jangan lupa vote dan komennya ❤❤

180° • Sungwon [End]Where stories live. Discover now