3

1.9K 129 9
                                    


Harus Dayana akui, sejak tinggal di rumah mewah itu hidupnya jadi berubah total. Jika dulu, dia harus berpanas-panasan bahkan basah terkena hujan karena menunggu bus atau angkot untuk ke butik tempat ia bekerja, kini ke mana-mana ada sopir kantor yang siap mengantarkan. Makan pun demikian jika dulu dia harus pandai-pandai mengatur keuangan untuk biaya kos dan makan maka saat ini makanan sudah siap ia makan dan sudah tertata di meja makan. Hanya saja hal besar yang ia takutkan adalah ia kembali terlena pada wajah tampan Pandu yang dengan segala cara akan menariknya kembali pada hubungan menakutkan seperti dulu.

Hingga suatu saat Renata memanggilnya dan menawarkan hal yang cukup mengejutkan, ia ingin menolak tapi alasan apa yang harus ia katakan.

"Yana, aku minta maaf sampai memanggilmu ke dalam ruang kerjaku padahal hari sudah malam, harusnya kamu tidur."

"Tidak apa-apa Ibu, tadi juga saya hanya baca novel di kamar, apa ada yang pekerjaan yang harus segera saya kerjakan?"

"Nggak ada ini hanya obrolan santai, dan ingat jangan anggap ini sebuah keharusan dan tekanan dari aku."

"Iya Ibu, ada hal penting lain?"

"Gini." Renata memajukan badannya, condong ke arah Yana yang menunggu dengan wajah santai karena ia pikir ini hanya hal ringan saja, tidak akan jauh dari pekerjaannya.

"Menurut kamu Abi itu bagaimana sih orangnya?"

"Baik sih Bu, laki-laki lembut yang sangat menghargai wanita, saya sampai sungkan kalo ada Kak Abi."

Wajah Renata berbinar, ia merasa Dayana punya respon baik pada anaknya.

"Aku ingin kamu bisa lebih dekat sama Abi, dia kayaknya jadi patah hati banget saat ditinggal nikah sama pacarnya dan aku pikir kamu wanita yang cocok sama Abi, sama-sama baik, ramah dan lembut."

Dayana kaget bukan main, ia tak mengira jika Renata ingin agar dia bersama Abi. Dayana menggeleng pelan.

"Begini Ibu, bukan saya menolak, ini penghargaan terlalu tinggi buat saya, setelah saya dianggap anak oleh Ibu, meski secara hukum saya tetap orang luar, kini Ibu ingin agar saya dekat dengan salah satu putra Ibu, jangan Ibu, biar saya bantu Kak Abi agar percaya diri lagi tapi tidak harus saya wanitanya, jangan terlalu baik pada saya Ibu, saya takut suatu saat Ibu kecewa pada saya, saya hanya manusia biasa yang tak lepas dari khilaf."

"Tidak, kau sempurna untuk Abi, Yana, kau wanita sabar, tak banyak menuntut, bisa cepat menyesuaikan diri dalam kondisi apapun, Abi yang terlalu sabar butuh wanita seperti kamu, aku tidak menuntut dalam waktu dekat kamu harus suka pada Abi, jalani saja, jika ternyata kau tak kunjung bisa maka aku tak akan memaksa."

Dayana diam saja, ia bagai makan buah simalakama, tak ada pilihan yang baik semua membuatnya serba salah.

"Sekali lagi tidak dalam waktu dekat Yana, jalani saja, jadi mulai besok kau bersama Abi ke kantor biar aku sama Pak Sukri, aku akan beralasan kau harus berangkat lebih pagi dan aku agak siang karena kamu sedang persiapan untuk butik yang baru."

"Baik Ibu."

.
.
.

"Sangat sibuk kamu ya? Kok harus berangkat pagi?"

Abi berusaha mencairkan kekakuan saat mobil mulai bergerak di jalanan yang mulai ramai.

"Ah iya Kak." Dayana kaget karena ia melihat ke luar jendela yang cahayanya mulai redup digantikan oleh rinai hujan yang mulai jatuh satu-satu dan akhirnya tumpah ruah.

"Kalau capek bilang sama mama, nggak usah dipaksakan, mama orang yang pengertian."

"Iya Kak."

"Kamu nggak nyaman bareng aku?"

Dan Dayana menoleh, menatap laki-laki serupa Pandu hanya dalam mode lebih sabar seolah tak ada kemarahan sama sekali di raut wajahnya, lalu Yana menghadapkan lagi wajahnya lurus pada jalanan yang telah berselimut air, lalu kaki-kaki hujan yang lincah menari di aspal dapat ia lihat seolah mengejeknya karena merasa sangat tak nyaman berada di dalam mobil bersama Abi tapi tak mungkin ia jujur pada laki-laki baik ini.

"Ah nggak Kak, mungkin hanya karena baru kenal jadi agak sungkan saja."

Abi tersenyum, meski samar, entah mengapa ia suka berbicara dengan Dayana, wanita yang menurutnya lebih irit bicara dari pada dirinya.

"Kenapa sungkan sama aku?"

"Kakak putra dari Ibu Renata, tapi terpaksa ngantar aku karena kesibukanku."

Terdengar kekeh pelan Abi, hal yang sangat jarang terjadi.

"Alasan kamu aneh."

"Nggak aneh kan Ibu bosku Kak, masa kakak jadi sopir."

Terdengar lagi tawa pelan Abi.

"Kata Ibu kakak jarang tertawa, kenapa ini bolak-balik?"

"Ya karena kamu, kamu menyenangkan buat aku, Yana."

Dayana memejamkan mata, ia tak mau ge-er tapi ia tak ingin laki-laki baik di sampingnya ini menyukainya karena cintanya telah tak tersisa lagi, diambil semua oleh saudara kembarnya.

.
.
.

"Ma, kemana Yana dan Abi kok nggak keliatan sih?" Pandu yang baru saja duduk di kursi makan terlihat penasaran karena rumah sudah terlihat sepi. Renata tersenyum, ia lihat Pandu yang mulai menyesap lemon tea hangat dan menyendok nasi yang telah ia tuangi kuah soto yang masih mengepul, mulutnya mendesis karena panas.

"Aku ingin mereka menjadi pasangan Pandu, cocok kan?"

Dan Pandu tersedak seketika, ia raih teh hangatnya dan segera meminumnya, matanya berair, sungguh, perih yang ia rasakan bukan hanya di mata dan tenggorokannya tapi juga di dadanya, entah dada bagian mana berbaur jadi satu kini bahkan dadanya terasa panas terbakar cemburu.

"Kamu ini Pandu, mama cuman bilang gitu kamu kok kaget bukan main."

"Sudah mama bicarakan sama mereka berdua?"

"Sama Yana sudah tadi malam, dia langsung menolak."

Dan Pandu terlihat lega, setidaknya wanitanya tetap menjaga hatinya karena sampai saat ini Pandu yakin jika Dayana masih mencintainya, saat-saat kebersamaan mereka dulu tak akan mudah terhapus begitu saja, hal pertama bagi Dayana dan tak akan begitu saja bisa dilupakan.

"Tapi aku tetap menyarankan dia mencoba berjalan dengan Abi, Abi laki-laki baik dan sabar Pandu, dia sangat serasi bersanding dengan wanita yang juga memiliki sifat sama, aku yakin Dayana wanita yang cocok mendampingi Abi."

"Apa mama pernah bertanya hal yang sama padaku? Aku cocok nggak sama Syila? Bahkan saat kami sudah bertunangan seperti ini kami seperti dua orang asing yang tetap tak bisa saling kenal dekat."

"Kalian cocok hanya kalian tak mau belajar, entah kamu atau Syila yang tak berusaha atau kalian dua-duanya yang memang tak mau, kalian sama-sama cerdas, punya visi dan misi yang sama dalam pengembangan perusahaan, apa itu tak cukup? Jangan kau merasa tidak mama pikirkan Pandu, kalian sama-sama anak Mama, tak ada anak paling dicintai, semua sama bagi mama, kalian permata berharga bagi mama."

Dan mata Pandu tiba-tiba saja hendak tumpah, rasanya tak rela jika Dayana menjadi istri kembarannya, ia akan tetep memegang erat miliknya bagaimanapun caranya. Ia pemilik pertama jiwa dan raga Dayana dan akan tetap seperti itu selamanya.

💔💔💔

4 Juli 2022 (13.55)

Dayana (Ketika Nafsu dan Cinta Tak Bisa Dibedakan)Where stories live. Discover now