10

995 110 10
                                    


"Seminggu lagi pernikahanmu Ndu."

"Sudahlah Ma, nggak usah diingingatkan."

Pandu bangkit dari kursi makan hendak pamit berangkat ke kantornya.

"Eh iya Ndu, nanti jemput Dayana ya, Abi nggak bisa kayaknya, dia lembur lagi, tadi bilang sama Mama."

Mata Pandu berbinar, setidaknya ia bisa menghabiskan waktu lagi dengan Dayana hingga larut malam atau bahkan mungkin hingga subuh tiba.

"Tapi segera ke butik lagi ya Sayang, di sana ada Hans yang akan ngepaskan baju pengantinmu, fitting baju maksudnya Ndu, mama kurang enak badan, nanti mau istirahat dulu, mama pulang duluan hanya memastikan saja semuanya sudah beres, kayaknya Syila juga akan fitting baju bareng kamu."

"Gampang lah Ma, toh yang bikin baju itu mama, pasti hafal ukuran aku, nggak usah pake acara fitting baju."

"Eh nggak bisa gitu Sayang, takut ada yang kurang pas, Hans yang tahu harus gimana kalo nggak ada mama."

"Iyalah Ma gampang."

Pandu bangkit, kemudian mencium punggung tangan mamanya dan bergegas ke kantor, ia ingin waktu cepat berlalu, ingin segera sore dan bersama Dayana.

.
.
.

Abi baru saja hendak menjemput Dayana saat seorang karyawan mamanya mengatakan jika Dayana sudah pulang. Beberapa kali Abi menelepon Dayana tapi tak diangkat, ia menelepon mamanya menanyakan Dayana.

"Ma, Dayana sudah sampai nggak? Tadi katanya sudah pulang tapi nggak tahu bareng siapa, aku dikasi tahu karyawan Mama."

"Belum Sayang, memang tadi mama nyuruh Pandu jemput Yana, paling bentar lagi kan Pandu mau segera fitting baju, kamu katanya nggak bisa jemput kok tiba-tiba aja sudah ada di butik mama?"

"Nggak jadi lembur Ma, makanya aku segera jemput Dayana eh ternyata sudah pulang, yaudah Ma aku segera pulang aja."

.
.
.

Sementara di sebuah apartemen yang terbiasa menjadi tempat singgah bagi keduanya, Pandu memeluk Dayana, lalu melepaskan pelukannya perlahan dan menatap wanita yang ia cintai dengan mata berkaca-kaca, ia usap wajah Dayana yang juga menahan tangis, seminggu lagi Pandu akan melepas masa lajangnya, keduanya seolah sama-sama takut kehilangan tapi tak tahu harus bagaimana.

"Menikahlah denganku Dayana."

Pandu terus menciumi pipi Dayana, perlahan Dayana memegang wajah Pandu dan menatap wajah laki-laki yang sangat ia cintai. Dayana menggeleng pelan.

"Nggak mungkin, seminggu lagi kamu akan menikah, mungkin cara yang baik bagi kita adalah saling melupakan dan aku akan mencoba mencintai Kak Abimanyu, laki-laki yang memang sejak awal dijodohkan denganku oleh mamamu, aku menghargai wanita yang telah berjasa membuat aku jadi wanita yang layak."

"Jangan Dayana, jangan tinggalkan aku, aku nggak bisa jauh dari kamu." Pandu merintih, lagi-lagi ia rengkuh Dayana ke dalam pelukannya

"Lalu kita harus bagaimana?"

"Jalani saja, karena hidup tidak harus kita mengerti, hidup ini terlalu puitis untuk kita, cukup kita rasakan meski kadang tak ada makna."

Pandu memeluk wanita yang sejak awal sampai di rumahnya telah membuat hatinya selalu tidak baik-baik saja, kisah setahun sebelumnya terlalu lekat dalam pikiran Pandu dan tak mungkin untuk dihapus, karena selamanya akan menjadi kenangan indah. Namun apa daya, Pandu sudah terikat sejak lama dengan Syila, wanita manja yang sudah lima tahun dekat dengannya karena dijodohkan bahkan telah bertunangan dan akan segera menikah seminggu lagi.

Keduanya saling melepas pelukan, menatap dalam-dalam dan tanpa aba-aba telah saling menautkan bibir, kembali kisah kelam keduanya berulang, tanpa jeda, tanpa hitungan waktu dan tak peduli pada hari yang bergerak semakin malam. Saling mereguk kenikmatan diantara tangis, deru nafas, erangan dan desah keras, Dayana tak lagi menghindar, ia menikmati saat-saat terakhir dengan Pandu, dengan sepenuh hati.

Sementara di tempat lain Syila cemas menunggu untuk fitting baju pengantin, ia hilir mudik menunggu Pandu dengan wajah kesal, tak terhitung berapa kali panggilan pada Pandu yang tak terjawab sedang Abimanyu pun cemas karena Dayana yang tak kunjung pulang, Abi khawatir ada apa-apa dengan Dayana.

"Yana belum pulang Bi?" Renata melihat wajah cemas Abimanyu.

Abimanyu menggeleng, ia masih berdiri di depan jendela menatap ke luar, hujan sangat deras seperti tercurah dari langit.

"Belum Ma."

"Ah aku khawatir dia ke butik lagi."

"Ya nggak mungkinlah Ma kan sudah pulang, hanya aku penasaran dia pulang sama siapa, dari tadi aku telepon Yana dan Kak Pandu nggak diangkat, nggak biasanya aja Kak Pandu nggak ngasi kabar."

.
.
.

Hawa kamar yang semakin panas, diselingi desah keras, erangan dan sesekali teriakan membuat Pandu dan Dayana lupa jika mereka sama-sama ditunggu oleh orang-orang yang mencemaskan keduanya. Hingga jarum jam berputar tak terhitung berapa kali, keduanya yang kelelahan saling memeluk dan terlihat tak mau saling melepaskan. Napas mereka masih memburu.

"Betul kan tubuhmu tak akan bisa lepas dari aku selamanya Dayana, selamanya, meski mungkin aku telah memiliki Syila dan kau memilih hidup dengan Abimanyu."

Dayana memejamkan mata, ia tahu selanjutnya hidupnya tak akan pernah baik-baik saja. Cintanya yang terlalu besar pada Pandu tak akan pernah bisa ia bagi pada yang lain. Baru kali ini ia merasa takut kehilangan Pandu. Ia biarkan Pandu memeluknya bahkan ia juga membalas pelukan Pandu, keringat keduanya masih sangat basah.

"Atau mungkin lebih baik kau tak perlu kembali ke rumah Yana, karena jika kau kembali ke sana maka kau akan jadi milik Abi dan kita tak bisa seperti ini lagi."

"Rasanya nggak mungkin,

"Tetap ada cara kita bertemu, aku akan mengatakan pada Syila jika dia harus tinggal di rumah mama jika dia mau menikah denganku, akan aku jadikan syarat sebelum kami benar-benar menikah jadi kita masih bisa bertemu."

"Lalu? Sama saja kan, dia pasti nggak akan mau."

"Dia pasti mau, jadi kita ..."

Pandu lagi-lagi mereguk bibir manis Dayana, mengulang rasa lelah namun memabukkan. Dayana hanya bisa pasrah mengikuti irama hidup yang entah ke mana akan membawanya pergi dan berlabuh, cinta dan nafsu akhirnya jadi sulit dibedakan bagi keduanya.

.
.
.

"Dayana?"

Dayana tercekat ia tak menyangka Abi akan menunggunya meski sudah dini hari.

"Kamu sama siapa?"

"Diantar."

"Diantar siapa?"

"Anak panti, aku ke panti tempat aku dulu tinggal Kak."

Suara Dayana benar-benar terasa sulit ke luar, ia lagi-lagi berbohong dan merasa bersalah pada Abi.

"Masuklah ke kamarmu, kamu terlihat baru selesai mandi, rambutmu terlihat basah, Yana."

"Iya ... kak, di sana gerah jadi aku mandi sebelum balik ke sini."

"Oh iya."

Dayana segera berlalu, ia segera menuju kamarnya dan menguncinya, ia terduduk di kasur dan menangis, menangisi nasib cintanya yang tak akan pernah ada ujung.

💔💔💔

7 Juli 2022 (18.44)

Dayana (Ketika Nafsu dan Cinta Tak Bisa Dibedakan)Where stories live. Discover now