Chapter 17 : Took It Or Leave It

69 8 8
                                    

Suhu benar-benar terasa dingin karena hujan deras yang mengguyur sejak sore. Kini sudah hampir tengah malam, tetapi Rachel masih sibuk dengan novel-nya.

Gadis manis itu mengembuskan napas besar. Rachel tidak bisa fokus karena wajah Aldean terus terbayang, juga tentang apa yang dibisikkan cowok itu membuat telinganya sedikit berdengung kencang.

Rachel mengarahkan pandangannya keluar jendela, menyandarkan kepala di tembok, menatap rintikan hujan yang turun dan mencium bumi.

"Gue gak mau kalo Aldean nantinya harus sakit. Gue gak bisa, gue gak mampu. Dia terlalu baik dan manis buat gue yang jahat kayak iblis."

Rachel memejamkan matanya. "Alam, gue bingung. Entah gue harus tetep berjuang, atau mulai nerima Aldean."

***

"Rachel, ada yang nyariin tuh di depan kelas!" teriak Vio di balik pintu.

Rachel sempat mengernyit heran sebelum akhirnya melangkah keluar untuk menemui orang yang dimaksud Vio.

"Iya, ada ap—" Seketika Rachel memutar bola mata malas. Rachel kira siapa. Mengapa Vio berkata begitu? Padahal bisa saja 'kan dikatakan bahwa Abil yang menunggunya? Lagi pula mengapa anak tengil ini tidak langsung masuk saja ke dalam kelas?

"Lo gak ada kerjaan? Ngapain, sih? Gue lagi sibuk, gak mau ngeladenin kegabutan lo," ketus Rachel dengan wajah judes khas-nya.

Abil berdecih, kadang bertanya-tanya mengapa bisa Aldean mengukai mak lampir semacam Rachel. "Ikut gue," titahnya sambil menarik pergelangan tangan Rachel.

"Ikut ke mana? Lo jangan aneh-aneh!" Rachel berjalan menuruti Abil dengan dahi yang mengerut kesal.

Rachel mengedar pandangan. Mengapa Abil membawanya ke taman belakang? Tidak ada murid di sini, karena memang tempat ini terlarang. Kabarnya, dulu pernah ada siswa yang bunuh diri karena ditolak oleh gebetannya.

"Sono!" Abil mendorong kasar tubuh mungil Rachel, kemudian berlari kecil meninggalkannya.

Rachel mendengus keras karena hal tersebut. Namun, tatapannya terarah pada sosok jangkung di depan. Ada Aldean yang sedang berdiri tegap membelakanginya di sana. Rachel menghela napas, sudah tahu pasti apa yang akan dilakukan budak jangkung itu.

"Mau ke mana?"

Langkah kaki Rachel terhenti, mengurungkan niat untuk pergi. Keduanya saling menatap dengan perbedaan raut wajah 180 derajat. Rachel yang beraura judes, bersama Aldean yang beraura humoris.

"Mau ngapain, sih?" tanya Rachel ketus. "Masih pagi, jangan bikin gue emosi."

Aldean melempar senyuman manisnya sambil berjalan mendekati Rachel. Tangan cowok itu terulur, menunjukkan kotak kecil berwarna merah muda. Lantas Rachel menautkan sebelah alis, heran dengan tingkah Aldean.

"Buka," titah Aldean.

Dengan ragu, Rachel membuka tutup kotak tersebut secara perlahan. Sudut bibirnya menyungging singkat begitu dapati sebuah jepit rambut merah muda berbentuk hati yang terlihat begitu memikat.

"Sesuai janji, bidadariku," kata Aldean bangga. "Yang ini lebih bagus dari punya Sarah, kan?"

"I–Ini buat gue?" tanya Rachel memastikan.

"Bukan, buat Abil," jawab Aldean dengan ekspresi datar. "Ya, lo pikir buat siapa? Masa buat sapi yang mau dikurbanin?"

Rachel terkekeh singkat, tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. "Thanks."

Aldean memelotot kaget. "Apa, Piyak?"

Rachel membuang pandangan dengan malas, lalu merebut kotak yang dipegang Aldean, dan mendorong jidatnya. "Jangan pura-pura, nanti budek beneran."

✔. ₊ The Piyak AddictTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang