4. SEBUAH NAMA

115 40 118
                                    

Sakina baru diantar ke kamarnya pada pukul setengah dua belas malam. Tubuhnya begitu lelah. Namun, tidak enak rasanya menyudahi obrolan dengan Bu Dibyo dan Pak Dibyo yang sangat supel. Sudah pasti ditemani nasi gudeg lezat masakan Bu Dibyo seperti yang dipromosikan Pak Dibyo saat mereka dalam perjalanan menuju rumah tersebut.

"Selamat istirahat ya, Mbak. Kalau butuh apa-apa, Mbak Kina bisa ngomong saya," titah Bu Dibyo usai mengantar Sakina.

"Terima kasih, Bu," ucap Sakina. "Uhm ... tapi ... kamar saya beneran di sini, Bu?"

"Ya, iya. Memang kenapa?"

"Ng ... kayaknya terlalu luas dan bagus buat saya deh, Bu. Mana tempatnya di ruang utama begini," ujar Sakina sambil mengedarkan pandang ke ruangan tersebut. Rasanya, kamar di tempat majikan lamanya dulu tidak semengkilap ini.

Bu Dibyo menyunggingkan senyum sebelum menjawab, "Tapi, ini memang kamar Mbak Kina. Saya sudah bersihkan. Mbak bisa langsung tidur. Jangan upa cuci kaki."

Sakina menoleh Bu Dibyo. "Tapi kayaknya ini berlebihan buat saya. Gimana kalau saya di kamar belakang aja, Bu?"

"Nggak ada kamar lagi di belakang. Sudah ditempati saya sama Pak Dibyo."

"Kalau gitu, saya aja yang nempatin. Bapak sama Ibu pindah sini aja. Kan Bu Dibyo sama Bapak berdua. Kayaknya lebih pas kalau di kamar ini."

Permintaan Sakina membuat Bu Dibyo tertawa kecil. "Ojo, Mbak.¹² Saya malahan yang nggak enak kalau Mbak Kina harus pindah," ucapnya. "Wis. Nggak usah mikir macem-macem. Pokoknya, Mbak Kina tidur di kamar ini. Pintu di sebelah kamar Mbak itu perpustakaan sekaligus ruang kerjanya Mas Saga. Kalau kamar Mas Saga, pintu yang di pojok itu."

"Bu, beneran jangan deh. Apa nggak ada kamar lain yang lebih kecil? Atau, gudang mungkin." Sakina masih memaksa.

"Heh! Moso tidur gudang?! Nggak boleh. Nanti malah saya yang kena masalah kalau Mbak Kina tidur di gudang," tolak Bu Dibyo sengit.

"Tapi, Bu–"

"Mbak. Tulung nggih.¹³ Istirahat dulu saja. Wong Mas Saga juga nggak apa-apa, kok," sela Bu Dibyo. Sakina tampak hendak protes saat Bu Dibyo kembali berucap, "Nanti kalau ada apa-apa, saya yang tanggung jawab. Ya? Tidur dulu. Nggak boleh protes."

Akhirnya Sakina mengangguk walau masih merasa tak enak. Bu Dibyo pamit menuju kamarnya karena ingin segera beristirahat. Sepeninggal wanita tersebut, Sakina menutup pintu kamar dan mengamati ruangan tersebut. Lebih luas dari kamarnya di Kediri, lebih bersih, perabotnya lebih lengkap dan tampak baru.

Saat meletakkan tas di dekat lemari, Sakina menyadari ada pintu lain di sudut kamarnya. Perempuan tersebut mendatangi pintu kayu bercat cokelat tua itu dan mendorongnya. Rahang Sakina seakan hendak jatuh ke lantai saat melihat kamar mandi modern yang berkilau dan menebarkan aroma pengharum ruangan.

"Masa kamar mandi pembantu bagus begini?" gumam Sakina penuh kekaguman. "Perasaan dulu kalau mau pakai kamar mandi di rumah majikan lama harus ke kamar mandi khusus pembantu di belakang rumah orangnya. Aduh, nggak beres, nih."

Getar ponsel mengalihkan perhatian Sakina. Dia segera mengambil benda tersebut dari dalam tas bahunya. Terlihat nama Nia terpampang di layar. Perempuan itu menghela napas menyadari adik perempuannya belum tidur di waktu selarut ini.

"Halo?"

"Mbak Kina!" jawab Nia riang. Rupanya dia tak sendiri. Sakina juga menangkap suara Lisa. Perempuan tersebut tersenyum kecil mendengar suara kedua adiknya. Padahal mereka baru berpisah tadi sore. Namun rasanya sudah sangat rindu.

"Kalian kok belum tidur?"

"Masih sore, Mbak," jawab Lisa.

"Iya. Masa mahasiswa jam segini udah tidur?" timpal Nia.

KULACINO [TAMAT]Where stories live. Discover now