21. RENTANG

99 39 58
                                    

"Kamu masih nggak yakin kalau ini aku?" tanya Kai pada perempuan berambut panjang di sebelahnya.

Mereka sedang di perpustakaan. Kai baru saja pulang dari rumah sakit dan mengajak Sakina berbicara berdua walau sebenarnya dia harus beristirahat. Sakina yang sejak kedatangan Kai, tak melepas tatapannya dari laki-laki itu. Masih tak percaya, bahwa laki-laki tersebut adalah orang yang sama dengan pemuda yang dikenalnya sejak kanak-kanak.

Kai saat ini terlihat lebih kurus di balik kaus oblong dan celana katunnya. Wajahnya terlihat lebih tirus dan suaranya mengalami perubahan dibandingkan saat kali terakhir mereka berkomunikasi. Terdengar lebih berat dan dalam. Rambut wajahnya dibiarkan tumbuh sehingga membuat Sakina tak mengenalinya.

Mendapat tatapan balik dari Kai, Sakina memilih menunduk. Menatap cangkir teh dalam genggamannya. Minuman tersebut disuguhkan Pak Dibyo lima belas menit yang lalu.

"Ini kayak nggak nyata," ucap Sakina seolah berbicara pada tehnya. "Aku menebak-nebak, seperti apa rupa kamu selama ini? Selama rentang enam tahun kita nggak berkomunikasi sama sekali."

"Kamu kecewa?" Pertanyaan Kai membuat Sakina mengangkat pandang. Ditatapnya wajah dengan cambang lebat di sebelahnya itu.

"Bukan, Kai. Kamu cuma, beda. Tapi itu bukan sesuatu yang buruk. Itu karena kita lama nggak ketemu," jelas Sakina.

"Maaf kalau keadaanku nggak sesuai ekspektasi kamu," ujar Kai beberapa saat kemudian. "Kamu nggak ketemu sama laki-laki yang sempurna dan sehat. Tapi sama laki-laki yang lumpuh dan lemah."

Perempuan di hadapannya menghela napas saat melihat sorot tajam Kai. "Nggak begitu. Ini bukan karena aku kecewa sama keadaan kamu. Tapi, selama enam tahun ini, aku khawatir dan takut.

"Kamu janji sama aku untuk pulang. Tapi kamu menghilang. Aku benar-benar takut kalau kamu sudah menemukan seseorang yang menggantikan aku. Apalagi keadaan keluargaku waktu itu benar-benar terpuruk. Aku khawatir kamu ninggalin aku. Walaupun aku udah mau menyerah, tapi aku masih berharap bisa ketemu kamu. Kalau pun akhirnya kita nggak bisa lanjut, seenggaknya kita pisah baik-baik."

Tenggorokan Sakina seketika tercekat. Seiring dengan air mata yang bergulir perlahan di pipinya. Perempuan itu segera menghapusnya seraya memalingkan pandang. Terlalu sesak perasaannya. Terlalu besar ketakutan yang dia rasakan untuk Kai dan bagaimana selama enam tahun Sakina memikirkan segala kemungkinan itu.

Pandangan Sakina kembali teralih pada Kai saat laki-laki itu mengambil cangkir teh dari tangan Sakina dan menyimpannya di meja. Dia menggenggam tangan Sakina dan menatap lembut kedua matanya yang berkaca-kaca.

"Aku yang takut, Na," ucap Kai. "Aku yang khawatir. Aku sampai depresi karena mengalami kelumpuhan. Aku sudah kehilangan orang tuaku. Nggak bisa bayangin kalau kamu juga harus pergi karena kondisiku kayak gini."

Ucapan Kai membuat air mata Sakina kembali mengalir. Laki-laki di hadapannya ini kembali berkata, "Sebenarnya, aku tahu apa yang kamu alami. Setelah Pak Dibyo kasih kabar kalau kamu dan keluarga kamu sudah pindah dari Surabaya, aku minta beliau buat cari jejak kamu.

"Baru empat tahun yang lalu, akhirnya ada informasi tentang kamu. Aku tahu yang terjadi sama orang tua kamu dan keadaan kamu yang terpaksa berhenti kuliah. Aku tahu tempat kerja kamu di mana aja. Di mana kalian tinggal. Aku juga tahu kalau Om Wawan udah meninggal. Tapi, aku nggak pernah punya nyali untuk nemuin kamu, Na. Aku terlalu takut. Gimana kalau kamu tolak aku? Gimana kalau aku diusir?"

Sakina menatap nanar pada Kai. Wajah laki-laki itu berubah sendu. Wajah yang sama dengan kali terakhir Sakina melihatnya secara langsung saat mereka berpisah di Bandara Juanda. Walau sekarang wajah tersebut terlihat lebih tirus dan lelah. Seperti seorang pengembara yang bertahun-tahun tak pulang.

"Apa yang terjadi sama kamu, Kai? Apa yang aku lewatkan?" tanya Sakina. Dia balas menggenggam tangan Kai.

"Terlalu banyak, Na," ucap Kai. "Setelah kecelakaan, aku banyak kehilangan. Orang tuaku, kemampuan kakiku, dan cita-citaku. Aku berpikir, mungkin masih ada harapan. Mungkin aku masih bisa sembuh sebelum ketemu kamu. Tapi sampai sekarang, itu nggak terjadi. Dokter sudah angkat tangan. Pengobatan alternatif nggak bekerja. Jadi, aku harus berdamai sama keadaan ini."

Sakina menatap Kai. "Apa ... kamu yang meminta Usman buat nemuin aku? Kamu yang minta dia buat nawarin kerjaan ke aku?" selidiknya.

"Nggak." Kai menggeleng. "Usman dan Winda tahu kalau aku cari kamu. Mereka juga tahu kamu sekarang tinggal di Kediri. Tapi, setiap mereka mau bantu kita untuk ketemu, aku selalu menolak. Aku selalu bilang, belum saatnya. Sampai, entah gimana, Usman hubungi aku kalau nggak sengaja ketemu kamu waktu ke Kediri dan jalan-jalan ke toko kue. Padahal, setiap dia ke Kediri, dia selalu nahan-nahan buat cari alamat kamu."

Kai menunduk pada tangan yang digenggamnya. Yang selama sembilan tahun ini sangat dia rindukan. Dahulu, bagi Kai, menggenggam tangan Sakina selalu membuatnya tenang. Seolah anggota tubuh itu diciptakan sebagai obat kegelisahannya.

"Maaf, Na," ucap Kai lagi. "Aku nggak bermaksud apa-apa buat nawarin kamu kerja di sini. Itu ide Usman. Dia mendesak aku buat nemuin kamu setelah dapat nomor ponsel kamu. Aku nggak pernah mau menyusahkan kamu. Tapi Usman bilang, itu satu-satunya cara yang nggak mencurigakan. Hanya supaya kamu nggak terkejut sama keadaanku. Terus, aku pikir, mungkin ini kesempatan aku bisa lihat kamu dari dekat sebelum nantinya ... kamu menikah sama orang lain."

Tiba-tiba, Sakina melihat kedua mata Kai berkaca-kaca. Suaranya bergetar ketika kembali bicara, "Aku sangat bahagia waktu kamu ada di depanku, Na. Aku kepingin banget peluk kamu waktu kita ketemu lagi. Banyak yang mau aku certain ke kamu. Tapi lagi-lagi, rasa takutku lebih besar. Maaf kalau aku selalu ketus sama kamu. Marah-marah. Aku nggak tahu harus bersikap gimana di depan kamu. Tolong jangan benci aku, Na." Kai tersedu usai berbicara. Kepalanya menunduk dan genggaman tangannya mengendur.

Sakina menatap iba laki-laki di hadapannya. Terlihat berantakan dan rapuh. Bagaimana dia bertahan selama ini? Sendirian. Memang ada Pak Dibyo dan Bu Dibyo. Namun, tak ada keluarga yang benar-benar ada untuk Kai. Sakina tak dapat membayangkan bagaimana Kai menghadapi kegelisahannya selama ini.

"Kai," panggil Sakina. Kai mengangkat pandang. Menatap wajah Sakina yang penuh jejak air mata seperti dirinya. "Aku masih di sini. Nggak ada alasan untuk pergi. Kamu yang minta aku menunggu. Kamu janji bakal jadiin aku tempat untuk pulang. Kamu yang bilang, kalau kita adalah sepasang penyu. Sekarang, begitu tahu kalau kamu menepati janji, apa aku masih harus benci kamu?

"Aku memang hampir menyerah, Kai. Tapi aku akan melakukan itu kalau sudah memastikan kamu nggak akan kembali. Kalau aku tahu, dengan mataku sendiri, kamu memang sudah menemukan orang lain. Aku nggak segampang itu ninggalin kamu, Kai."

"Jadi, kamu nggak akan pergi?" tanya Kai khawatir.

Entah mengapa, ada perasaan aneh saat Sakina melihat raut khawatir Kai. Perasaan aneh yang baik. Laki-laki itu benar-benar takut Sakina akan pergi seperti keinginannya kemarin.

"Nggak." Sakina menggeleng. "Aku memang marah kemarin. Tapi, itu sebelum tahu siapa kamu dan keadaan kamu."

"Kamu nggak apa-apa aku seperti ini?" Kai kembali bertanya.

"Aku nggak peduli keadaan kamu seperti apa. Kalau kamu sendiri nggak menyerah sama aku walaupun tahu keadaan keluargaku seperti apa, kenapa aku harus menyerah?"

"Tapi aku bakal ngerepotin kamu, Na. Gerakanku terbatas. Aku nggak akan bisa terus menerus kamu andalkan–"

Ucapan Kai terhenti tiba-tiba. Kedua matanya melebar kala merasakan kecupan singkat Sakina di bibirnya. Jantung Kai berdegup sangat cepat. Membuatnya berada dalam zona bahaya karena benar-benar terjerat oleh Sakina. Perempuan itu menatap lekat kepada Kai.

"Apa itu cukup buat menghilangkan keraguan kamu?" tanya Sakina tanpa melepas tatapannya.

Tak ada jawaban dari Kai. Namun, tangannya bergerak. Menarik tengkuk Sakina agar wajahnya lebih dekat, dan menyentuh bibir perempuan itu dengan miliknya. Kedua mata mereka terpejam. Membiarkan degup jantung berbicara. Menumpahkan segala resah yang terpendam enam tahun lamanya. Seperti penyu yang menemukan pantai untuk pulang.



***

Ehm! Tutup matanya. Jangan ngintip.

***

KULACINO [TAMAT]Where stories live. Discover now