36. SEDEKAT NADI

119 33 75
                                    

Osteosarcoma. Mendadak, kata itu menjadi momok bagi Sakina. Kai menyembunyikan kenyataan itu selama ini. Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk bertahan dari kanker tulang. 

Awalnya, Kai menganggap, kelumpuhannya hanya karena dia mengalami cedera saat kecelakaan lalu lintas. Namun, saat menjalani pengobatan, Kai merasakan gejala lain dari tubuhnya. Dokter yang merawat, menyarankan untuk melakukan pemeriksaan lanjut. 

"Aku masih bisa Terima kalau Tuhan ambil kakiku, tapi aku sangat marah waktu dapat vonis osteosarcoma. Aku sangat takut kita nggak ada kesempatan buat bertemu, Na," tutur Kai pada Sakina. Setelah wanita itu lebih tenang, Kai menceritakan kronologi penyakitnya. Dokter mendeteksi sel kanker telah menggerogoti tulang kaki kanan Kai.

Pagi baru menjelang. Sakina dan Kai saling menggenggam tangan di kamar rawat inap. Pria itu membutuhkan kekuatan untuk sekali lagi menghadapi cobaannya. 

"Menurut dokter, aku sudah cukup lama menderita kanker itu. Sebelum mengalami kecelakaan di London. Cuma nggak menyadarinya," tutur Kai lagi. "Seharusnya, aku bisa tahu penyakitku sejak awal. Jadi bisa segera mengobatinya. Kadang, aku berpikir kalau mengalami kecelakaan masih lebih baik. Setidaknya, aku cuma lumpuh sepanjang hidupku. Tapi akhirnya, aku bersyukur bisa mengetahui penyakit ini lebih awal. Kalau pun aku nggak bisa sembuh, seenggaknya aku bisa mengulur waktu buat kamu."

Sakina menatap terenyuh suaminya. "Kamu pasti sembuh, Kai. Kita bakal hadapi ini sama-sama," hibur Sakina. Dibawanya tangan Kai untuk disentuhkan ke pipinya. "Gimana kamu menghadapi semua ini, Kai? Nggak ada orang tua dan kerabat yang nemenin kamu. Pasti berat, ya?"

"Iya. Berat." Kai tersenyum samar sebelum mengusap pipi istrinya. "Bukan berarti nggak ada yang mau menolong aku. Kerabat Mama dan Papa banyak yang menawarkan bantuan untuk merawat aku. Tapi aku memilih untuk nggak menerima tawaran mereka. Aku berusaha sendiri. Cuma Bapak dan Ibu Dibyo yang aku percaya untuk mengurus semua keperluanku."

"Kenapa?" 

"Karena … sejak dulu, yang aku kenal sebagai keluarga adalah orang tuaku dan  orang tua kamu," jelas Kai. "Kamu tahu? Mama sama Papa menikah tanpa restu keluarga besar. Papa nggak diterima keluarga Mama karena nggak satu ras sama mereka. Cuma Abah, ayahnya Mama, yang menerima Papa."

"Gimana dengan keluarga Papa?" tanya Sakina. Kini dia tertarik dengan kisah kedua mendiang mertuanya yang belum pernah didengar. 

"Cuma Eyang Putri, ibunya Papa, yang setuju." Kai tersenyum muram. "Papa dari kalangan bangsawan. Katanya sih, begitu. Tapi, Eyang Putri yang berpikiran modern, mendidik Papa dengan cara modern juga. Di antara saudara-saudara, Papa selalu ambil jalan berbeda. Walaupun sukses, masih sulit buat mereka menerima Papa."

"Tapi kamu diterima sama mereka."

"Papa pernah bilang, kadang, saudara bisa sejauh langit dan bumi. Sementara orang asing, bisa sedekat nadi. Pak Dibyo dan istrinya adalah orang asing, tapi mereka nggak pernah rusak kepercayaan Papa. Sementara yang ngaku saudara, mereka selalu punya niat tersembunyi di balik pertolongannya."

Sakina menatap iba suaminya. Tak menyangka jika selama ini hidup Kai berat. Dia teringat ucapan Bu Dibyo yang mengatakan bahwa tak pernah ada kerabat Kai yang menginap di rumahnya. Sepertinya, hubungan keluarga mereka cukup buruk. Walau beberapa kerabat Kai diundang pada saat dia dan Sakina menikah, tetapi suaminya tersebut tak terlihat begitu akrab dibandingkan saat Sakina menyambut beberapa kerabatnya yang menyempatkan diri ke Yogyakarta. Sekar, misalnya. 

"Cuma kamu motivasi aku buat bertahan, Na. Karena aku mau memenuhi janji untuk pulang ke kamu," ucap Kai lagi. 

"Kamu nggak berpikir waktu itu, kalau aku udah berubah? Aku aja mau terima tawaran kerja dari kamu karena gajinya besar. Gimana kalau ternyata aku manfaatin kamu?" tanya Sakina

KULACINO [TAMAT]Where stories live. Discover now