28. REUNI

85 33 69
                                    

Entah sudah berapa menit berlalu. Yang jelas, Sakina masih betah berada di tempatnya saat ini. Di tepi tempat tidurnya, menatap kosong pada jendela yang membiaskan sinar matahari pagi.

Sudah dua hari sejak Sakina kembali ke Yogyakarta. Perasaan risau itu masih menggayuti batinnya. Dia merasa bersalah sekaligus benar. Masih teringat akan perdebatannya dengan sang ibu. Dia sungguh menyesal telah melakukan itu. Namun, Sakina juga ingin menjalani pilihannya sendiri.

Suara ketukan mengalihkan perhatian Sakina. Dia bangkit dan bergegas membuka pintu kamarnya, lalu segera berjumpa dengan Kai. "Hai." Sakina berusaha tersenyum saat menyapa calon suaminya.

"Kamu baik-baik aja?" tanya Kai khawatir.

"I'm good." Sakina mengangguk.

"Bu Dibyo bilang, kamu nggak keluar kamar dari subuh tadi," tutur Kai.

Sakina menunduk. Merasa tak enak dengan segala hal yang terjadi. "Maaf. Aku bakal kerja habis ini."

Kai meraih tangan Sakina. "Aku nggak nyuruh kamu kerja," ucapnya. "Lagian, kamu nggak harus lakukan itu. Aku justru khawatir karena kamu sering murung setelah kita balik dari Kediri."

Sakina menghela napas sebelum menarik tangannya dan memasuki kamarnya kembali. Dia mengenyakkan diri di tepi ranjang seraya menopang dagu. Kai semakin bingung menatap tingkah calon istrinya. Laki-laki itu mendorong roda kursinya memasuki kamar Sakina dan berhenti di sebelah perempuan tersebut.

"Keputusanku ini bener nggak, sih, Kai?" tanya Sakina tanpa menatap laki-laki berkacamata di sebelahnya. "Aku udah menentang Ibu. Kami sering berdebat. Tapi dua hari yang lalu, aku kayaknya parah banget."

Kai menatap raut Sakina yang tampaknya sedang galau. "Kamu mau kita tunda pernikahan kita dulu?" tanyanya.

Sakina seketika menoleh pada calon suaminya, lalu menggeleng. "Bukan gitu maksudku," sanggahnya. "Aku merasa bersalah bukan karena hubungan kita, tapi hubunganku sama Ibu. Sejak kena musibah, aku sama Ibu hampir selalu berselisih. Dulu ada Ayah yang jadi penengah kami. Tapi setelah beliau nggak ada, aku dan Ibu sama-sama sulit mengalah."

"Kamu mau telepon Ibu? Nanti biar aku juga ikut ngomong," tawar Kai.

"Nggak usah. Sekarang masih masa sulit buat kami berkomunikasi," tolak Sakina. Dia menunduk dan memandangi kukunya. "Kai. Maaf untuk semua yang kamu dengar waktu kita di Kediri, ya. Apapun yang terjadi dan bagaimanapun keadaan kamu, aku tetap sayang sama kamu."

Kedua pasangan tersebut bertukar pandang. Hanya sorot ketulusan yang Kai lihat dari kedua manik mata di hadapannya. Sama seperti sembilan tahun yang lalu. Bahkan tahun-tahun sebelum Kai mengungkapkan perasaannya. Sakina masih perempuan yang sama yang selama ini dia kenal. Hanya saja, sekarang sosok itu lebih tegar meski terkadang sisi rapuhnya muncul.

"Aku tahu, Na," ucap Kai. "Terima kasih sudah bersabar dan tetap menerima aku."

Tangan keduanya saling menggenggam. Tak ada satu pun di antara mereka yang berbicara. Seolah, melalui genggaman tangan itulah, Kai maupun Sakina saling mengungkapkan apa yang mereka rasakan.

"Permisi," ucap seseorang seraya mengetuk pintu kamar Sakina yang masih terbuka. Saat keduanya menoleh, tampak Bu Dibyo berdiri di ambang pintu.

"Kenapa, Bu?" tanya Kai.

"Tamunya sudah datang, Mas," beritahu Bu Dibyo.

"Terima kasih, Bu. Habis ini saya sama Kina ke depan," ujar Kai.

Bu Dibyo membungkuk sebelum pamit kembali ke dapur. Kemudian, Kai kembai menoleh kepada Sakina. "Ayo," ajaknya.

"Ke mana?" tanya Sakina.

KULACINO [TAMAT]Where stories live. Discover now