Keroyok

166 31 4
                                    

  "Maju satu persatu atau ku bunuh kalian?" Ucap Sanzu.

  Bukannya maju satu persatu kedelapan pria gede itu malah maju bebarengan. Padahal Sanzu sudah memberi kesempatan, kalau mereka maju satu-satu paling cuma babak belur tapi kalau keroyokan ya Sanzu tidak bisa jamin nggak ada mayat.

  "Bacot lo banci."

  Belum lama ucapan itu terlontar, Sanzu sudah memukul tengkuk pria itu hingga tersungkur. Kakinya lantas menginjak leher belakang pria itu sampai patah. Dua orang bersenjatakan tongkat kasti menyerang bersamaan, mereka hendak memukul kepala Sanzu.

  Dengan cepat Sanzu menunduk lantas tangannya meraih rambut keduanya dan menjedukkan kepala mereka berdua hingga keluar darah dari hidung salah satunya. Tak sampai disitu Sanzu masih membanting kedua kepala itu ke tanah hingga mungkin saja tengkorak mereka pecah.

  Sekarang tiga orang maju menggunakan pedang panjang yang sangat tajam. Mereka mengayunkan pedang mereka secara acak dan tentu saja dengan mudah Sanzu bisa menghindarinya. Sanzu mengayunkan pipanya ke salah satu orang tepat di tulang lunak hidungnya hingga berkucuran darah.

  Tak ingin menyiakan waktu, Sanzu mengambil pedang orang itu dan menusuk perut pria dihadapannya. Ketiga pria tadi tergelepar di tanah. Di tangannya kini ada dua pedang, tapi masalah tak sesimpel itu lagi.

  Dari sisi kanan dan kiri Sanzu dua orang tengah mengarahkan pistol ke arah kepalanya, bukannya takut Sanzu malah tersenyum senang.

  Dooorrr...
  Dooorrr...

  Dua peluru ditembakkan bersamaan, bukan menghindar justru Sanzu menangkis nya dengan pedang di tangannya. Sebelum tembakan kedua diluncurkan Sanzu terlebih dahulu melemparkan kedua pedang itu ke kepala mereka masing-masing.

  Delapan pria berbadan besar tumbang tak butuh waktu 10 menit. Sanzu menarik badan mereka dan menumpuknya menjadi satu, beberapa sudah mati dan beberapa hanya pingsan. Tubuh Sanzu memanas, tangannya bergetar dan bibirnya tersenyum lebar. Rasa luar biasa menjalari tubuhnya, tidak tau disebut apa itu tapi Sanzu menyukainya.

  Sanzu menusuk-nusuk tubuh mereka, tak payah pula tangannya menembakkan peluru pistol ke wajah mereka. Kakinya menginjaki badan mereka seolah sampah. Sanzu tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri kali ini, dia tidak bisa berhenti membuat wanita yang meminta tolong tadi lebih takut kepada Sanzu daripada kedelapan orang tadi.

Tangannya tak bisa berhenti mengobrak-abrik jasad itu, mengeluarkan bola mata, memotong lidah, menarik urat nadi, mengacak-acak isi perut mereka. Beruntunglah keadaan sedang sepi sepinya sehingga tak satupun tahu terkecuali wanita tadi, Baji, dan kamera CCTV.

  Tubuh Sanzu yang penuh darah mengeluarkan ekspresi wajah yang sulit dijelaskan, tangannya yang masih menggenggam pankreas manusia membuat wanita tadi pingsan melihat semua adegan itu.

  Baji membiarkan wanita itu tergeletak di tanah, yang terpenting baginya kini adalah Sanzu. Ia menghampiri Sanzu, melihat kekasihnya yang mungkin merasa tersiksa. Baji menaikkan dagu Sanzu yang penuh darah, Baji mencium dan melumat lembut bibir ranum itu.

  Sebenarnya Baji ingin membantu sedaritadi, tapi ia tau seberapa keras kepalanya Sanzu yang ingin melakukan semuanya sendiri. Tangan Baji bergerak membelai rambut Sanzu dan menyelipkan beberapa anak rambut Sanzu yang menghalangi wajahnya.

  Perlahan Sanzu mulai sadar kembali tatapannya tak se binar tadi lagi, deru nafasnya mulai tenang, tubuhnya berhenti bergetar dan sudah tidak sepanas tadi lagi. Sanzu menepuk bahu Baji agar dilepaskan ciumannya, Baji pun melepaskan tautan mereka.

  Pandangan Sanzu kini kearah bawah menatap cincangan daging manusia, bibirnya nyengir kecil.

  "Hehe."

  "Heha hehe heha hehe, lihat ini ulahmu." Baji geleng kepala.

  "Bantuin ya sayang."

  "Iya iya pacarku."

  Baji mengambil 5 karung besar dan mencomoti potongan daging manusia itu. Untuk darah yang pececeran ditutupi dengan tanah. Daging daging tadi dibawa mereka ke belakang apartemen dan dibakar hangus hingga tak menyisakan bekas serta bukti apapun.

  Mereka masuk apartemen melalui pintu belakang dan langsung menuju kamar Sanzu, seperti tidak melupakan sesuatu Sanzu langsung bergegas mandi tentu saja dengan Baji yang ngikut dibelakangnya.

  "Ji, kelupaan sesuatu ga sih?"

  "Kaga kayaknya."

  "Oh, oke."

  Sanzu menenggelamkan tubuhnya ke bathup, tentu saja Baji sudah disana memangku dirinya. Belum juga lama berendam suara bel dari luar pintu terdengar jelas, Sanzu tak menghiraukan dan tetap enjoy mandi.

  Bunyi bel itu tak kunjung berhenti dan semakin brutal ditekannya. Dengan terpaksa Sanzu menyudahi acara mandinya, ia memakai handuk untuk menutupi perut sampai pahanya dan barulah Sanzu membuka pintu apartemen.

  "Kenapa?"

  "Aaaaa cabul!"

  "Anjing kamu!"

  Sanzu menarik wanita dihadapannya ini masuk ke dalam apartemen, ia menyuruhnya menunggu sedangkan Sanzu kembali ke kamar untuk memakai baju.

  Wanita itu menunggu di ruang tamu, ia merasakan hawa dingin mendekatinya. Bau maskulin pekat di indra penciuman nya.

  "Lo bisa lihat gua kan?" Tanya Baji.

  "Astaghfirullahalazim lahaula walla quwata illa billah."

  "Kaget lo."

  "Tiba-tiba datang aja bikin kaget, iya aku bisa lihat kamu, ada apa?" Wanita itu masih mengelus dadanya.

  "Loh kok tanya gua, harusnya gua yang tanya lo. Ngapain lo ke apart pacar gua?" Baji berkacak pinggang.

  "Pacar? Oh! Mas Sanzu pacarmu?" Tanyanya sambil senyum-senyum sendiri.

  "Iyo, dih bukan ilfeel malah senyum, gws?"

  "Aing fujo soalnya." Wanita itu cengengesan.

  Tak selang lama Sanzu keluar menggunakan celana pendek dan kaos oblong putih. Wanginya membuat siapapun yang mencium itu akan ingin memeluknya setiap hari.

  "Kenapa disini? Eh, kamu cewek itu ya?" Ucap Sanzu menggantung reader.








































TBC

Meng nganu, sory kalo jadi lelet update.
Pokoknya kalo lelet gini gua abis paketan.
Awowkowk biasalah nasib pengangguran, update pas ada hospot kawan aja.
Aslinya gua dah mager nerusin, tapi gegara keinget komennya aina san itu emg moodbooster cuk😔 langsung semangat☝🏻

🅴lvagos || Baji X Sanzu (bxb) EndingWhere stories live. Discover now