Part 6

5 1 0
                                    


Dirinya Bella, gadis bertubuh mungil yang harus menjinjit jika ingin mengambil buku di atas rak perpustakaan. Sifanya yang lembut dan suara yang kecil sering kali membuat wajahku tidak ingin berpaling. Ia cukup aktif di kampus, tidak sama dengan diriku yang hanya menjadikan kampus sekadar tempat belajar. Bella cukup banyak memiliki relasi organisasi yang membuatnya dikenal, tidak heran jika Bella mengenal Meisy.

Aku memang mengenal dirinya, tetapi tidak sebegitu dekat seperti para pria yang mencoba mendekati. Berbicara singkat sepulang kampus atau pun bersapa di iringan anak tangga sudah cukup untuk memenuhi candu rindu. Aku tidak mengapa jika harus tanpa ponsel yang saling berhubungan seperti hubungan pendekatan orang lain. Dirinya yang tersenyum padaku dari kejauhan pun sudah cukup memenuhi memoriku hari itu untuk mengenang dirinya.
Asap mengawang di atas rumput halaman belakang rumah Erik. Dua kaleng bir dituang ke masing-masing gelas untuk menemani pembicaraan. Terkadang aku berpikir akan menjadi pecandu alkohol ketika berteman dengan mereka. Entah mengapa di lemari pendingin pria itu selalu tersedia alkohol.

"Bella .... dia cukup pendek. Hanya sedadaku. Ukuran dadanya juga kecil ...." Sofia secara frontal mengomentari bentuk tubuh Bella.

"Tidak semua pria yang suka dada," balas Erik dengan santai. "Apa yang bisa kau harapkan hanya dari segumpal lemak yang ditutup."

"Aku kira semua pria suka dada."

"Pembicaraan macam apa ini ....."

Sofia melihat padaku. "Aku sarankan kau mencari wanita dengan buah dada yang besar. Itu baik untuk perkembangan anak-anakmu."

"Aku menikah bukan karena dada," jawabku singkat.

"Singkat saja, jadi ... apakah kemarin itu berlanjut selangkah?" tanya erik.

Aku mengangguk kecil. "Hmm ... kami bicara sedikit di depan kelas."

"Bicara apa?" Erik penasaran

"Aku bertanya apa dia bimbingan hari ini," balasku.

"Kemudian?"

"Bella jawab iya, dan dia langsung pergi."

Sofia menundukkan kepala seraya merangkulku.

"Terkadang hidup itu tidak adil, kawan. Keadilan ada kalau kita sudah mati ...."

Sofia si wanita aneh itu selalu saja berujar hal yang tidak aku pahami. Masih dengan rangkulan dari Sofia, aku dituangkan bir kalengan untuk kuminum.

"Caramu salah ...."

Aku dan Sofia menatap Erik.

"Salah kenapa?"

"Kalau kau mau memperpanjang pembicaraan dengan wanita, jangan pernah bertanya dengan kata apa. Sini aku beri contoh ...." Erik menoleh kepada Sofia. "Celana dalammu warna apa?"

"Hmm .... biru aku rasa."

"So, what?" Aku bingung dengan simulasi percakapan yang dilakukan oleh Erik.

"Coba dengan cara ini." Ia menoleh lagi kepada Sofia. "Celana dalam yang bagaimana kesukaanmu?"

"Oh kalau itu aku memang suka warna yang biru."

"Kenapa?"

"Bagiku biru itu warna yang sexy. Tapi tidak semua orang yang suka warna biru, terkadang merah."

The Man RulesOù les histoires vivent. Découvrez maintenant