Part 8

4 1 0
                                    



Aku tidak tahu apakah kegiatan kemarin itu pantas disebut sebagai kencan. Teman-temanku biasanya melakukan kegiatan kencan dengan cara pergi ke mall untuk menonton film, makan ke restoran, dan ke taman hiburan. Sedangkan kami hanyalah duduk di bawah bintan dan awan, lalu mendengar kicauan burung malam yang menakutkan, terkadang mendengar riak air dari ikan yang mengambil udara ke permukaan.

Bisa jadi kejadian itu hanya untuk melepas suntuk di antara kami setelah berhari-hari terkatung di depan materi skripsi, atau pun bagiku yang selalu mendengar ocehan mulut rewel pengunjung cafe. Tidak ada kelanjutan setelah kami pergi berdua. Padahal kami sangatlah begitu dekat, bercerita berdua, tertawa, menanggung rasa sedih yang kami ungkapkan, puncaknya ketika wanita itu menyentuh tanganku.

Sepulang dari mencari dosen yang tidak kunjung bisa aku temui, dua orang menculikku untuk pergi. Siapa lagi kalau bukan Erik dan Sofia. Padahal, siang ini aku berencana balik ke rumah untuk melanjutkan game yang sempat tertunda.

"Bagaimana yang kemarin? Ada kelanjutan?" tanya Erik sembari melihat ke samping. Pria itu sedang menyetir. Sementara Sofia dengan dagunya bersender di bahu Erik, persis seperti sepasang kekasih.

"Tidak ada ... kami tetap seperti biasa. Tadi aku bertemu dengan Bella di fakultas, dia sedang ada bimbingan skripsi."

"Bagaimana bisa dia yang menyuntuh tanganmu, tetapi setelah itu kalian bersikap biasa saja?!" sindir Sofia.

"Aku mana tahu."

Erik tertawa pelan sembari memutar stir mobil.

"Insting perempuan itu menungu, sedangkan pria itu berburu. Ajaklah dia berbicara lama, ciptakan topik, singgung lagi tentang yang kemarin, lalu dari sana kau bisa masuk untuk mengajaknya pergi lagi."

"Yang jelas, kita mau ke mana hari ini?"

Sofia menyentuh rambutku. "Potong rambut. Walaupun kita tidak tampak tampan secara wajah, setidaknya mandi dan rapi."

Aku menyentuh rambutku yang sudah relatif panjang. "Aku sedang tidak punya uang untuk ke barbershop. Kita ke potong rambut biasa saja."

"Kami menyebutnya dengan dana kenakalan, kau bisa gunakan itu untuk ke barbershop," sambung Sofia.

"Iya, kami berbisnis barang-barang di game virtual, lalu menggunakan uangnya bersama untuk di dunia nyata. Kau boleh bergabung kalau kau mau nanti."

"Oh ya? Menarik .... nanti aku akan pikirkan."

Sesampainya di barbeshop, aku didudukkan oleh Sofia di atas bangku pangkas. Sementara Erik duduk santai dengan rokok elektriknya, Sofia mengarahkan barber mengenai gaya rambut yang akan diterapkan padaku. Setelah pengarahan berakhir, bunyi alat pangkas pun berdengung di tepi telingaku. Satu per satu helai rambut jatuh, aku perlahan memerhatikan rambutku yang mulai berubah segar.

Barber memberikan sentuhan terakhirnya. Sofia mendekat setelah itu dengan bertumpu pada pundak, sama halnya yang ia lakukan dengan Erik.

"Wajahmu mungkil, cocok dengan gaya rambut ala Korea. Beda hal dengan Erik yang berwajah tegas, aku lebih suka jika ia gondrong."

Terlihat Erik membayar tarif pangkas rambut, lalu beranjak keluar tanpa melihat kami. Di luar toko, asap mengawang di ujung bibirnya. Erik menunjukku tepat di dada.

"Kau harus pakai pemberianku."

"Ini dia ...." Sofia mengeluarkan kotak jam dari tasnya, sekaligus memasangkannya ke pergelangan tanganku.

The Man RulesOù les histoires vivent. Découvrez maintenant