Part 7

5 1 0
                                    



"Kau ingin hitam atau putih?" tanya Sofia.


"Bedanya apa?"

"Ksatria kuda hitam selalu jadi pahlawan yang disegani, misterius, dan berani. Ksatria kuda putih selalu dikenal karena kebaikan hati dan percaya diri."

"Beri dia hitam, kulitnya sudah cerah," sambung Erik di belakang yang sedang bersandar pada dinding.

Aku seperti bukanlah diriku. Bayang-bayang lampu jalanan yang berbekas di kaca mobil menampakkan tubuhku yang sudah didandani oleh Sofia. Ia mengendus sedikit di bagian leher seperti anjing mencium makanan. Tangannya tidak lama kemudian melingkar di pinggangku, diikuti oleh Erik yang berada di sebelah kiri Sofia. Tatkala angin menerpa senyum bibir wanita tinggi itu, tersirat jika ia cukup manis ketika kupandangi lama. Hanya saja, kelakuannya saja yang sering membuatku malu.

"Kami seperti melepas anak untuk kencan pertama," ucap Sofia.

"Diam kau," pungkasku dengan cepat.

Ya, benar. Mereka seperti kedua orangtua yang sedang melepas anaknya sedang berkencan. Aku terus saja memerhatikan mereka di tepi spion, hingga perhatianku tertukar ke layar handphone bertuliskan nama Bella. Aku mencoba mengangkatnya dan mengatakan jika aku sedang berangkat ke rumahnya.

Tidak banyak waktuku ketika Bella sudah menelpon diriku dua kali. Berbekal alamat berbekal dari Erik, sampailah aku di depan kediaman Bella. Ia sudah menunggu di sana sembari bertegak pinggang pertanda aku sudah lama menjemput. Tangannya melambai selembut gerakan awan, dibalas oleh senyumku untuk membukakan pintu untuknya.

Bella sangat cantik dengan blus yang sedang ia kenakan. Aku tidak ingin memuji penampilannya sesuai dengan intruksi dari Erik, terlalu canggung untuk aku lakukan sekarang.

"Kita mau ke mana?" tanya Bella.

"Hmmm ... iya juga ya ...." Seharusnya kalimat itu tidak aku ucapkan, tetapi sudah terlanjur terucap. "Mungkin kita bisa makan ramen, setelah itu nonton film."

"Membosankan," ucapnya dengan singkat.

Rasanya mantanku sebelumnya tidak pernah mengatakan makan ramen dan menonton film merupakan hal yang membosankan. Teman-temanku yang lain pun berlaku hal yang sama.

"So, kau mau ke mana?"

"Let me drive ....."

"Oh ya? Kau mau menyetir?"

"Nanti setelah kita turun ke warung kecil di dua blok jalan ke depan."

Aku berhenti ketika ujung jemarinya menyentuh daun pendingin udara di dashboard. Sedari tadi ia memainkan arah pendingin udara ke kiri dan ke kanan. Ia keluar sebentar, sekitar dua menit bernegosiasi dengan pemilik warung, lalu tidak lama kemudian kembali lagi ke mobil dengan membawa sebotol vodka.

"Awas ...."

Aku terpaksa menggeser tubuhku ke bangku samping agar ia bisa mengambil alih kemudi. Ia turut memintaku memangku botol vodka ukuran sedang itu.

"Sebenarnya aku tidak mau teler malam ini ....."

"Maka aku paksa kau teler malam ini ....."

Kalimat itu berakir dengan gas panjang mobil di jalanan sepi. Kami melewati jalan kota yang terang berlampu, lalu tenggelam dengan romantisme muda-mudi yang menongkrong di gelapnya bangku-bangku kota. Beberapa pemuda skateboard tampak menggesek roda papannya di atas trotorar. Hal itu menjadi pemandangan sendiri bagi para pejalanan kaki yang bergandengan tangan atau pun kendaraan yang kebetulan terjebak macet di sana.

The Man RulesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang