Prolog

51 7 12
                                    

— t e c t o n a  g r a n d i s —

”Inna haazaa lahuwa haqqul-yaqiin..."
"Fa sabbih bismi robbikal-'azhiim..."
"Shadaqallahul adzim...”

Suara beberapa manusia remaja didalam masjid sayup-sayup terdengar sampai halaman. Orang-orang yang hendak melaksanakan sholat Isya pun turut ikut menyimak di balik tembok masjid.

"Terus amalkan surah Al-Waqiah ini, faedahnya banyak sekali." Ujar seorang didepan sana —— Ustadz Samingun yang kerap di sapa Bapak Samingun.

"Faedahnya apa aja ya Pak?." Tanya seorang Gadis dengan mukena navy sambil mengacungkan tangan.

"Kepooo!." Celetuk laki-laki diujung sana, meledek.

Alia, gadis itu mendelik tak terima, "Namanya juga ngaji masa nggak boleh nanya Pak?." Protesnya sambil menyandarkan tubuhnya pada tembok dibelakangnya. "Rese banget Nafis!."

"Lagian setiap pelajaran nanya mulu." Balas Nafis, salah satu remaja laki-laki yang menjadi peserta ngaji bareng setelah sholat Maghrib berjamaah.

"Ya 'kan biar ngerti!."

"Nanti juga di---"

"Udah-udah jangan berteman!." Potong seorang sambil mengangkat tangannya sok-sokan melerai.

"Ana-ana bae Ona lho, mereka emang musuhan dari lahir Na." Balas Rafka ikut-ikutan nimbrung.

"Kalian ini, lagi ngaji lho bukan ajang debat." Tectona Grandis, kerap di sapa Ona mendengus sebal walau dia juga agak terhibur dengan perdebatan mereka.

"Tau tuh!." Sahut Pinkan. "Nggak boleh!.” Ujar dia sambil cengengesan khasnya.

Pak Samingun hanya tertawa kecil melihat tingkah laku murid-muridnya. Mereka tidak banyak berubah sejak kecil sampai beranjak dewasa.

"Sudah-sudah," Lerainya sambil berusaha menjelaskan materi awal. "Salah satu faedah utama yaitu membuka pintu rezeki."

"Aku tau! Berarti aku harus baca surah Al-Waqiah tiap hari biar uangnya banyak!." Balas Ona sambil menegakkan tubuhnya yang semula bersandar pada tembok.

"Nggak gitu konsepnya Na! Kok malah jadi ikut-ikutan kayak Alia sih?." Protes Nafis.

"Heh! Ona 'kan sahabat aku dari kecil, jadi sikap kita juga nggak beda-beda amat." Sahut Alia sambil memincingkan matanya.

"Kok jadi curhat sih Mbak?." Ledek Nafis sambil tersenyum lebar.

"Apaan si Nafis! Rubes banget tau dikit-dikit komeeen terus!." Gadis dengan mukena putih itu pun ikut-ikutan terpancing emosi melihat wajah Nafis.

"Berisik deh Pinkan Mambo, suara kamu kenceng banget kayak Toa rusak!." Lihat, Nafis ini adalah remaja laki-laki yang sangat gemar mengusik ketenangan jiwa.

"Nafiiis...!"

"Sudah-sudah aku udah bilang, jangan berteman!." Ujar Ona setengah berdiri. Mendengar mereka berdebat membuatnya agak malu sendiri didepan gurunya. Mereka ini bukan anak kecil lagi, tapi remaja yang beranjak dewasa.

"BERANTEM!.” Seru mereka kompak menggugah tawa Pak Samingun.

"Allahu akbar allahu akbar!" Adzan isya berkumandang memutus perdebatan mereka semua. Terdiam sambil menyimak suara panggilan untuk beribadah bagi umat muslim.

Setelah Adzan selesai dikumandangkan, Pak Samingun kembali melanjutkan penjelasannya yang sempat beberapakali terpotong oleh perdebatan mereka.

Guru ngaji laki-laki itu tampak sudah sangat terbiasa dengan tingkah mereka, karena itu sudah makanannya sehari-hari. Beruntung dia bukan tipe guru killer yang tatapannya saja membunuh siapapun yang bersuara.

LOVING AMBULANCEWhere stories live. Discover now