15. Too Worry to Scare

46 6 12
                                    

Aku mencoba untuk hidup seperti biasa, menyikapi apa yang menimpaku dengan tenang namun lebih waspada. Meski terkadang, ketika sedang diam tak melakukan apa-apa, aku selalu terbayang suara lelaki cabul di telepon tempo hari. Kadang terbayang Rida yang menangis ketakutan, juga gelagat Caca yang gelisah.

Tetapi, aku harus mengubur dalam-dalam ketakutan itu, kan? Hanya aku, perempuan yang terlibat langsung menangani kasus-kasus kekerasan seksual belakangan ini. Bukankah aku harus bisa memberikan ruang nyaman bagi para korban?

Agaknya ... sesekali berdusta untuk kebaikan banyak pihak tidak masalah.

Setiap hari aku memberanikan melakukan segalanya sendiri. Pagi, siang, malam, aku merasa tidak aman, perasaan itu hanya akan membuatku celaka, kan? Sebabnya, aku perlu berlatih, seperti malam ini. Sengaja aku berjalan kaki ke bunderan komplek untuk membeli martabak telur. Aku berhasil pulang dengan selamat, meskipun ekor mataku tak henti menangkap sekeliling, berjaga-jaga takut ada yang menyergap.

Aku mengembuskan napas lega begitu membuka kunci pagar. Latihan hari ketiga, well done!

Sekonyong-konyong, suara lelaki memanggilku. Rupanya Farrel, ia tengah bersantai di teras bangunan di seberang indekos, lalu menghampiriku.

"Abis beli makan kok gak ngajak-ngajak, sih? Harusnya lo sambut tetangga baru lo ini, ajak makan bareng misalnya," katanya.

"Tetangga? Lo pindah ke kosan sebrang?"

"Iya, dong. Gue, kan, pengen tau siapa yang ngasih lo kado teror, siapa stalker yang ngincer lo, dan pengen deket-deket lo juga."

Aku berdecih dan tersenyum picik. "Ngincer stalker tapi malah stalking gue. Dasar edan!"

Tanpa peduli lagi, aku melangkah masuk ke dalam. Jangan sampai Farrel malah mengacaukan hariku yang telah tersusun dengan baik ini.

Indekos tempatku tinggal memiliki layout mirip rumah, di lantai bawah terdapat ruang tamu, dapur, dan empat kamar. Di lantai atas pun sama, bedanya ruang tamu digantikan dengan ruang komunal semi outdoor. Kamarku ada di lantai atas, tepat di ujung tangga; sebelah ruang komunal. Biasanya jika penghuni lantai atas menerima paket, Uni—ibu kos—akan menaruhnya di ambang pintu ruang komunal.
Barusan, mataku menangkap sebuah paket untukku.

Firasatku buruk. Kali ini, nama pengirimnya adalah N-jinc Official. Lagi-lagi mirip dengan kata 'anjing', aku yakin pengirimnya adalah orang yang sama seperti kemarin.

Begitu tiba di kamar, aku menomorduakan martabak telur yang masih panas. Kupasang ponselku pada phone holder, dan merekam proses pembukaan isi paket. Rasa takut dan khawatir seolah menjahit mulutku, degup jantung terus berpacu cepat hingga napasku memburu.

Untuk kesekian kalinya aku pura-pura berani. Menganggap hal ini adalah bagian dari "latihan" yang harus dijalani.

Saat terbuka, rupanya adalah kotak kado yang sama seperti sebelumnya: berwarna merah dengan pita hitam. Tutup kotak tersebut kubuka perlahan—agak dramatis, dan kali ini berisi ular mainan serta ... sebentar. Aku tak yakin dengan benda yang satu ini. Bentuknya seperti plastik, namun berbahan karet, agak lonjong dan bermotif bulat timbul.

Oh ... sial. Ini kondom!

Jantungku berhenti sejenak begitu aku melemparkan benda tadi ke dalam kotak tersebut. Aku terperanjat mundur, mencoba menenangkan diri dengan mengatur napas. Tanganku dingin dan basah karena keringat. Tidak, tidak boleh begini, aku harus berani.

Setelah beberapa saat kudekati lagi kado sialan tersebut, kuambil amplop berwarna krem, dan membaca surat di dalamnya.

In the name of God, you are damn gorgeous.

Beraninya orang gila itu membawa nama Tuhan dalam kejahatannya ini. Oh, astaga! Hasrat ingin menendang wajah pelaku dalam diriku meningkat tajam.

***

Aku baru berhasil menenangkan diri setelah setengah jam usai membuka kado barusan. Meski sudah tidak lapar, kupikir martabak yang telah kubeli harus disantap setidaknya satu atau dua potong. Kuletakkan beberapa di atas piring, lalu kutambahkan acar sedikit. Melihat potongan wortel dan timun yang segar di atas martabak telur, cukup membuatku tergiur.

Baru kumasukkan sepotong kecil ke dalam mulut, ponselku berdering karena panggilan masuk. Dari Farrel rupanya, beberapa detik aku menimang untuk mengangkatnya atau tidak, namun ia mematikan panggilannya. Ah, pasti hanya iseng. Sialan.

Lagi-lagi saat kuhendak melahap martabak, pintu kamarku diketuk. Malam-malam begini orang yang hendak menemuiku pasti antara Zafi atau Winda. Mereka takkan datang jika tak ada perlu.

Benar saja, Zafi dengan kardigan sedikit kusut berdiri di hadapanku sekarang. Wajahnya lesu, dan kuyakin ia masih menggunakan celana jeans dua hari lalu.

Tanpa basa-basi, ia menyelonong masuk ke kamarku, dan merebahkan diri pada kasur.

"Gue capek banget, Nya," katanya.

"Nih, gue ada martabak."

Zafi hanya bergumam. Ia menutup matanya menggunakan lengan.

Tanpa perlu menjelaskan lebih banyak, aku tahu Zafi benar-benar lelah. Mungkin ia mengurus Rida selama di rumah sakit, sambil menyelesaikan tugas-tugasnya di sana. Maklum, Rida sudah tak punya ibu, dan ayahnya sudah sakit-sakitan, mungkin kakak-kakaknya juga belum ada waktu untuk melakukan perjalanan ke luar kota—menjenguk Rida. Zafi selalu menolak bantuanku untuk bergantian menjaga Rida, ia bersikukuh agar aku fokus membantu Bayan dan Musa.

"Kalau lo capek beresin kamar, tidur aja di sini. Tapi ganti baju dulu," ucapku usai membiarkannya lama dalam posisi rebah tanpa suara.

Seketika, Zafi bangun, duduk menatapku yang berada di meja belajar.

"Tau gak apa yang bikin gue capek, Nya?" katanya meminta perhatian. "Si Musa! Buset dah, bener-bener tuh bocah!"

Aku memberengut. "Kenapa?"

"Siang tadi Rida udah boleh balik, kan, lo tau. Karna kita belum sempet bantu dia pindahan ke sini, makanya dibawa ke rumah Bulet."

"Hmm," gumamku sambil mengangguk. "Bayan yang nyuruh, ya? Tapi nyokapnya Bulet baik banget anjir, parah. Lo tenang aja, Rida bakal diurus banget pasti."

"Itu mah gue kagak ragu, Nya." Zafi menghampiriku, mengambil sepotong martabak lalu duduk kembali di lantai. "Yang bikin gue murka sampe nguras energi tuh, si Musa ribut sama Bayan. Dia nuduh Bayan jadi pelaku pelecehan itu. Emang bukan yang ribut baku hantam, tapi sampe debat sengit gitu lo paham, kan?"

"Kok bisa?"

"Kaget, kan, lo?" Zafi menggigit martabaknya. "Mulanya dia bantu gue jemput Rida di RS, sama si Bulet juga. Pas Rida udah istirahat di kamar adiknya Bulet, gue, kan, mau balik, ya. Eh, si Bulet nyamperin gue. Dia minta tolong buat nenangin Musa, itu bocah ngegas bener. Nyerocos kagak ada berentinya nyuruh Bayan ngaku."

"Ih, terus Bayan gimana? Gila, si Musa. Udah gue kata sabar dulu, kenapa, sih?!"

"Yang gue tau, Nya, Musa kalau udah berisik gini artinya dia udah muak." Zafi menghela napas. "Gue akhirnya bilang lah, kalau pelakunya ngaku jadi Musa. Intinya gue mempertanyakan juga lah ke Musa, dia ngibul gak. Emang, sih, dia sempet makin jadi karna nuduh Bayan pake identitas dia, sampe akhirnya out of nowhere mantan lo dateng, terus dia nunjukin hape Rida, udah. Kelar."

"Farrel dateng? Ke rumah Bulet?"

"Hooh, masih pada ngumpul tuh di sana."

Aku tak habis pikir dengan yang diceritakan Zafi. Musa melabrak Bayan, lalu Bayan tak mengelak, dan Farrel menengahi keduanya. Apakah maksud dirinya meneleponku tadi adalah ini?

🌻🌻🌻

Re-calledWhere stories live. Discover now