16. Intermezzo

36 6 9
                                    

Anyeaa
Kalau lo udah beres kelaz, kumpul di kamar Bayan yeah
-Musa ganteng tapi gue lebih ganteng

Aku hanya membalas "oke" kepada Bulet yang mengirimkanku pesan. Rasa khawatir lagi-lagi menyesakkan dadaku. Setelah mendengar cerita Zafi semalam, jujur saja aku takut ketua dan sekretaris umum HMK pecah, lalu tim yang menangani langsung kekerasan seksual turut bubar, juga pertemanan kami usai.

Kalau boleh menyuarakan ego, aku ingin berteriak bahwa semua ini terlalu kacau dan membuatku stres. Aku hampir gila!

Hari ini memang aku belum bertemu Bayan ataupun Musa. Kami mengambil konsentrasi jurusan yang berbeda sehingga memiliki jadwal yang sedikit beda juga. Karenanya, aku belum sanggup mendengar apa pun dari keduanya usai insiden semalam. Hal-hal buruk terus terbayang di benakku, dan tentu saja menyakitkan.

"Anya."

Kepalaku mendongak untuk menyahut kepada seseorang yang memanggilku.

Angga. Ia datang dengan ranselnya, pasti baru selesai kelas.

"Kamu nyamperin Dito lagi?" tanyanya seraya duduk di sebelahku. Memang, saat ini aku berada di ruang internet access, tetapi bukan untuk menemui Dito. Aku hanya ingin sendiri, dan tempat yang terpikirkan olehku hanya di sini.

"Enggak, tadi abis ketemu temen," sahutku bohong.

"Oh, kirain." Ia memiringkan kepalanya sambil mengamatiku lekat. "Kamu sakit? Matanya sayu, lho."

"Enggak, kok."

Angga menghela napas. "Kamu kecapean, ya? Keliatan lemes banget soalnya. Tadi makan siang gak?"

Aku menggeleng pelan. Jangankan makan siang, sarapan pun kulewatkan. Bahkan kalau Angga tidak bertanya begitu, aku lupa kalau sejak tadi perutku meminta asupan.

"Tuh, kan. Pantes lemes banget. Ayo kutemenin makan, di kantin FISIP aja yang deket, ya? Mumpung masih buka juga."

Ah, aku tidak berselera makan di kantin sore hari begini. Pasti menunya banyak yang habis, dan kalau pun ada, sudah dingin. Lebih baik makan di warung nasi Mama Bulet.

"Gak apa-apa, Bang. Ini juga mau langsung balik, anak kos udah pada masak. Gak enak kalau makan duluan." Aku berbohong lagi. Ah, kasus ini membuatku sering berbohong untuk hal-hal kecil.

"Oh, gitu." Wajahnya terlihat kecewa. "Ya udah, kuanter pulang aja, ya?"

"Ya ... boleh. Makasih." Daripada berbohong lagi, lebih baik kuiyakan. Aku bisa berjalan kaki dari indekos ke rumah Bayan, tidak terlalu jauh juga.

***

Selepas mobil Angga menjauh dari depan indekos, aku bergegas menuju rumah Bayan dengan berjalan cepat. Mereka mungkin sudah lama menungguku, dan kekhawatiran yang kurasa tak bisa terus menahanku untuk menunda bertemu Bayan dan Musa.

Rumah Bayan adalah rumah Bulet. Sehingga, sebelum menaiki tangga dekat pagar untuk langsung menuju kamar Bayan, aku perlu menyapa Mama Bulet yang menjaga warung lebih dulu. Beliau sudah biasa melihat teman-teman Bayan berkumpul di kamar lelaki itu, warungnya juga biasa digunakan sebagai tempat nongkrong oleh beberapa mahasiswa.

Setibanya di kamar Bayan, aku menghela napas melihat Musa; Bayan; Farrel; dan Bulet tengah duduk menghadap papan tulis yang lebih besar daripada yang terakhir kali kami gunakan. Mereka semua menoleh padaku dan tersenyum menampakkan gigi.

Sengaja kubiarkan pintu terbuka, lalu bergabung dengan mereka.

"Masalah semalem udah beres?" tanyaku seketika.

"Sini, sini, duduk dulu." Bulet menyahut sambil menepuk sofa di sebelahnya.

"Iya, Anya. Duduk dulu, napas dulu. Minum dulu tuh," kata Musa.

"Gak!" tegasku. "Gue sebel sama lo, Mus! Udah gue bilang, kan, lo boleh curiga ke siapa aja termasuk gue. Tapi enggak langsung nuduh tanpa bukti gitu, dong! Gue tau lo udah puyeng, udah muak sama kasus ini. Gak perlu gegabah bisa, kan?!"

Matanya membola mendengar nada bicaraku yang meninggi, juga napasku yang memburu.

Bayan yang duduk di samping Musa pun merautkan ekspresi serupa. Kemudian ia berdiri dan menghampiriku, tangannya kutepis kasar begitu dirinya mencoba untuk menyentuh bahuku. "Lo juga, Yan! Lebih transparan bisa gak, sih? Gue tau lo ketuanya di sini, tapi keputusan lo yang ujuk-ujuk kayak nentuin psikiater kemaren bikin kita mikir jelek. Argumen lo yang kosong juga nambah-nambah pikiran negatif. Lo pada ngerti, kan, situasi sekarang tuh bikin kita rentan saling fitnah?!"

Semua orang menatapku tanpa suara. Kubalas mereka satu per satu, menatap sambil menahan diri agar tidak semua ucapan buruk terlontar dari mulutku.

"Iya, Anya. Aku minta maaf, ya. Masalah yang kemaren udah selesai. Maafin aku, ya?" Bayan membujukku dengan halus. Ya, setidaknya tutur lembut yang begitu membuat amarahku sedikit mereda.

"Sini, sini, siniiiii." Bulet kemudian membawaku duduk di tempatnya, ia juga memberiku segelas air dan menitahku untuk meminumnya. "Jangan marah-marah, ya, sayangku, cantikku, kasihkuuuu."

Sial. Ia malah menggodaku di saat serius seperti ini.

"Anjir, salah nih gue," katanya yang kemudian mundur menjauhiku. "Anya sumpah, matanya biasa aja, please. Ini pertama kali gue liat lo ngamuk begini, jujur aja gak cocok banget."

"Bego!" desis Musa yang terdengar olehku.

"Tapi emang lebih lucu ngamuknya Japi!" Bulet menaikkan nada bicaranya.

"Ya udah sono samperin si Japi!" Musa balas membentaknya. "Bulet rada gila, Nya. Gak usah didenger. Intinya masalah kemaren udah selesai, dan gue memang salah karna gegabah. Gue juga minta maaf."

Aku menghela napas panjang mendengar ucapan Musa. Berarti, memang kemarin malam mereka menyelesaikan kesalahpahaman tersebut.

Suasana hening seiring dengan diamnya diriku yang menenangkan emosi. Semua orang di sini pasti terkejut karena pertama kali melihatku meledak-ledak.

"Anya." Suara Farrel. Ia membuatku mendongak dan memandangnya lurus. "Lo mau gue pesenin soto gak? Hari ini menu spesial Mama Bulet soto ayam, kuahnya kuning pake bihun."

Tentu saja ia menjadi pusat atensi semua orang di kamar Bayan. Aku tak mengerti jalan pikirannya sekarang, dan kuyakin yang lain pun merasakan hal yang sama.

"Ya ... kalau gak mau gak apa-apa. Gue cuma nawarin, karna seinget gue lo suka makanan berkuah gitu," katanya lagi.

Ucapannya tidak salah. Bahkan benar keseluruhan. Hanya saja ... ia tidak bisa membaca situasi, kah?

Aku enggan menjawabnya. Dengan sinis kutatap wajahnya, dari atas sampai ke bawah. Barangkali ada gesturnya yang menunjukkan penyebab si Farrel bicara keluar konteks. Namun, ia malah menatapku balik dengan senyum tipis. Wajahnya seolah merautkan rasa penasaran, menunggu apa jawabku.

Sial.

"Nah, iya, Nya. Lo mau sekalian gue bikinin es kelapa jeruk, gak? Gratis! Bill ditanggung Bayan sama Musa. Ya? Mau, ya?" Bulet menyahut, mungkin hendak mencairkan suasana.

Ya, memang tidak nyaman juga, sih, saling diam begini. Musa dan Bayan terlihat kaku, sedangkan Bulet yang biasa heboh juga terlihat canggung. Ah, aku merasa tak enak karena telah memarahi mereka.

"Iya, Nya!" Musa berseru. "Gue traktir lo hari ini. Besok gue bawain kacang arab juga, deh."

"Anya lebih suka cokelat arab, Mus." Farrel menyahut sambil tersenyum. "Ya, kan? Masih suka, kan?"

"Lo kenapa jadi sok akrab banget sih, Rel?"

"Ya ... masa gak boleh?"

"Boleh, sih. Tapi masalahnya gue gak mau akrab sama lo."

Cowok itu diam tak menjawab. Pun dengan yang lain, tak ada yang bersuara.

Aku menghela napas panjang. "Sorry, gue lagi badmood banget hari ini. Jadi, kita mau bahas apa?"

🌻🌻🌻

Re-calledWhere stories live. Discover now