33. Anticlimactic

32 6 0
                                    

"Nih. Pegang, ya."

Farrel menyerahkan ponsel dengan kameranya yang menyala kepadaku. Jujur saja aku masih meraba-raba apa maksudnya, apa yang akan ia lakukan terhadap orang itu?

"Lo diem di situ, liat gue biasa aja. Oke?"

Ia bersiap dengan motornya, memundurkannya sedikit, lalu berbelok ke kanan hingga berputar arah. Anehnya, di malam gulita ini Farrel samasekali tidak menyalakan lampu sorot.

Tiga detik kemudian, ia menabrakkan diri ke tiang listrik di samping pagar indekosnya. Terdengar suara lelaki yang meringis terkejut, yang jelas bukan berasal dari dirinya.

Gegas aku menghampiri Farrel. Cowok itu malah menyalakan lampu sorot, dengan wajah tak bersalah. Lelaki berpakaian serba hitam yang berdiam di dekat tiang listrik memalingkan wajahnya.

"Lo ngapain kayak maling di sini? Mau gue lapor ketua pemuda?" ujar Farrel.

Lelaki tadi menggeleng kuat. Punggungnya menunjukkan bahwa ia bernapas dengan tersengal, jelas ia merasa sakit, atau terkejut bukan main. Keadaannya cukup terhimpit karena terhalang motor Farrel, di samping kanan kirinya ada tembok pagar dan tiang listrik, sementara di belakangnya terdapat sebuah selokan yang kecil dan cukup dalam.

"Lo mau maling, kan? Ngaku!" Farrel menaikkan nada bicaranya, dan lelaki itu tetap menggeleng tanpa suara.

Ah, orang ini. Kalau mendapat pengakuan seseorang yang bersalah semudah dengan membentak, untuk apa tes masuk polisi sulit?

Aku bergerak maju, memutar tubuhnya agar menghadap kami. "Mas, kita udah liat—"

"Angga?"

Boom!

Lelaki berpakaian serba hitam itu adalah Angga. Wajahnya memerah, kini kedua tangannya terangkat di samping kepala. Sebelah tangannya memegang ponsel yang menampilkan kamera.

Farrel merebut ponsel Angga dari tangannya. "Jawaban gue ada di sini, kan?" katanya sambil menunjuk ponsel Angga.

"Gue bisa jelasin." Angga mulai berdalih. "Ini gak kayak yang kalian pikir."

"Emang lo tau gue mikir apa?" ketusku. "Bawa ke dalem dulu, Rel. Takut jadi rame."

Akhirnya kami membawa Angga ke dalam indekos Farrel. Ini benar-benar gila, aku tak habis pikir mengapa bisa Angga berdiam di tempat gelap, dengan pakaian tertutup serba hitam? Dia tidak sedang berperan menjadi kriminal, kan?

"Kalian berdua, pacaran?" kata Angga. Wajahnya sedikit memberengut sambil menatapku dan Farrel bergantian.

"Penting itu lo tanyain sekarang?" Farrel menyahut, tangannya dilipat di dada dan telinganya memerah. Sudah jelas, ia marah. "Lo ngapain ngendap-ngendap gitu di sebrang kosan Anya?"

"Gue cuma mau mastiin Anya aja. Gak boleh?" balas Angga sedikit tengil.

"Mastiin apa?"

"Bukan urusan lo."

Farrel membuang napas panjang. Jawaban Angga memang di luar nalar, benar-benar membuat frustrasi.

"Lo mau mastiin gue, Bang? Sekarang gue ada depan lo, nih. Mau mastiin gimana?" ujarku seraya membuat gestur yang siap diperiksa keadaannya.

"Udah. Lo baik-baik aja, udah cukup buat gue, Nya."

"Gak mungkin. Gue jelas liat dari spion lo ngarahin hape ke Anya." Farrel menyela, "Kasih bukti kalau omongan gue salah."

"Hak gue, lah, mau maen hape atau enggak. Lo kenapa rusuh, sih? Urusin noh nama HMP yang digugat anak Politik. Bego banget psikologi disingkat P."

"Gue pikir lo jauh dari logical fallacy, nyatanya lebih tolol dari anak SMP yang baru belajar adu argumen." Aku berdecih meremehkannya. "Buktiin, dong, kalau emang Farrel salah. Bukan bawa kesalahan di organisasinya."

"Kok lo percaya sama yang baru deket, sih, Nya?"

"Gue kenal Farrel dari SMA, ya. Tolong gak usah berkelit, gue udah capek banget ngontrol emosi. Lo peduli sama gue, tapi bisa hargain gue gak?"

"Lo kenapa, sih, Nya? Lo gak bisa terima gue gara-gara dia?"

Astaga. Ia kesal karena penolakanku rupanya, Ya Tuhan.

Sekonyong-konyong, Farrel merebut ponsel Angga dari saku celananya. Cowok itu lantas membuka ponsel tersebut tanpa izin, kunci terbuka begitu layar ponsel dihadapkan pada wajah Angga. Ia lalu mengotak-atiknya dengan serius, dan tak lama meletakkannya di lantai.

Layar ponsel Angga terlihat jelas menampilkan fotoku dari depan indekos. Farrel menggeser layar, dan foto lain ditemukan. Fotoku. Di depan ruang kelas, di jalan, di selasar gedung, di dalam minimarket.

Menjijikan. Selama ini Angga menguntit diriku. Bahkan ia tak layak disebut babi.

"Gue dapet foto lo dari Dito, Anya. Sumpah! Itu bukan hape gue, itu hapenya Dito!" Angga berkilah.

"Gue ... gampang banget ditipu, ya?" ucapku getir.  "Kalau emang itu hape Dito, kenapa face recognize-nya muka lo?"

"Lo juga yang ngirim foto penis ke anak HMK?" tanya Farrel.

Angga menggeleng kuat. "Sumpah bukan gue. Oke, gue emang stalking Anya. Tapi bocah yang lain bukan gue."

"Berarti lo tau siapa dalangnya?"

"Lo gak usah cari tau. Sadar diri, kaum jelata yang gak punya kuasa kayak kita gak bisa apa-apa." Angga berkata sinis. "Please kali ini aja percaya sama gue, Nya. Lo gak usah memperlebar masalah ini, lo juga diincer mereka."

"Mereka?" Lagi, Farrel mengajukan tanya yang mengintimidasi.

"Pelakunya gak sendiri. Mereka punya backing-an. Gue gak mau lo kenapa-napa, Anya."

"Terus kenapa lo teror Anya? Katanya lo gak mau dia kenapa-napa? Maksudnya dia gak boleh celaka kecuali lo yang lakuin gitu?"

Angga menunduk. Punggungnya bergerak naik turun sebelum akhirnya merosot lesu. "Gue mau Anya minta perlindungan ke gue."

"Brengsek," desisku. "Ternyata keputusan gue bener buat milih jauhin lo. Lo busuk, Angga."

Aku merampas ponsel Angga yang masih dipegang Farrel, kemudian beranjak pergi tak berpamit.

Mataku memanas hingga air mata berkumpul di pelupuk, lalu jatuh tanpa permisi. Ini bukan saatnya menangis, ini adalah awal dari kemenangan. Angga tahu siapa pelakunya, ia adalah saksi kunci. Persetan dengan kelemahanku, aku harus melaporkannya segera.

Kuhapus air mataku dengan kasar. Gegas aku menghubungi Bayan dan Musa melalui panggilan grup. Setidaknya, aku sudah mendapat pengakuan Angga tentang predator seksual itu.

"Gue gak ada waktu buat jelasin dari awal. Pokoknya Bayan ke kosan Farrel dulu sekarang, bisa, kan? Terus Musa, gue minta tolong lo hubungi penyintas buat bikin laporan. Angga tau siapa pelakunya."

"Alhamdulillah!" Musa berseru. "Bang Angga emang bisa diandelin, gue tau. Ya udah, gue hubungin dulu anak-anak, ya. Kabarin gue juga gimana progresnya." Usai mengatakan itu, Musa menutup sambungan telepon.

Musa, seandainya ia tahu kalau selama ini Tuhan menyusun takdir kita dengan antiklimaks.

"Bayan?" panggilku, cowok itu tak merespons sama sekali sejak tadi.

"Ya. Iya, Neng. Aku ke sana," sahutnya tersendat.

"Lo gak apa-apa?"

"Enggak. Aku ... lega aja. Tunggu, ya, Anya. Aku ke sana nanti sama Bulet."

"Oke, Yan. Hati-hati."

🌻🌻🌻

Re-calledWhere stories live. Discover now