30. Hearsay

27 6 2
                                    

Sepanjang selasar lantai empat gedung FISIP menatapku sinis sambil berbisik. Zafi benar, gosip tentangku yang menjadi pelacur di media sosial sudah menyebar. Klarifikasi yang dibuat akun HMK hanya formalitas, pada kenyataannya mereka lebih memercayai apa yang ingin mereka percaya.

Mungkin bagi mereka, akun palsu itu lebih kredibel dibandingkan akun resmi himpunan jurusanku. Mau marah pun percuma, di dunia ini tidak ada yang bisa mengubah kepercayaan seseorang jika bukan hati mereka yang tergerak.

Aku sudah berusaha menyangkal akun palsu itu. Aku juga korban, aku tidak bersalah, aku tidak melakukan hal keji. Sudah cukup itu semua menjadi alasanku untuk tetap berdiri saat ini.

"Eh, Anya. Nomernya udah ganti, ya?"

Pertanyaan yang datang dari wajah usil itu patut diabaikan. Anya, teruslah berjalan lurus, ruang kelas tinggal beberapa meter lagi.

"Pantes cakep. Bisa perawatan. Kan, cewek booking-an."

Ah, itu juga pernyataan yang wajar setelah munculnya skandal. Lebih baik diabaikan.

Aku berhasil masuk ke ruang kelas tanpa mengacuhkan gunjingan orang-orang di selasar. Duduk di bangku belakang, bergabung dengan Zafi dan Lena yang lebih dulu datang.

"Lo pucet, anjir. Ngapain kelas, sih?" protesnya.

"Jatah bolos gue udah abis."

"Ke klinik, dong, Sayang. Minta surat dokter, aman pasti," sahut Lena seraya mengusap lenganku.

"Woi! Anya!" Suara Roberto menggema di ambang pintu, cowok itu berjalan cepat ke arahku. "Lo emang cewek sok pinter. Sok superior. Gila jabatan."

Kelas belum ramai. Hanya ada setengah mahasiswa di ruangan ini, mereka menjadikanku dan Roberto pusat atensi.

"Diem lo, bodat. Mood gue lagi jelek," ucap Lena.

"Kasih tau temen lo, Lena! Apa gunanya jadi ambisius kalau milih diem? Sampe sekarang dia kena fitnah keji, masih gak mau ramein kasus ini?"

Suara Roberto yang tegas cukup menarik atensi banyak orang. Bukan hanya dalam ruangan, mereka yang di selasar pun turut hening dan merapat ke ruang kelasku. Tentu, tujuannya menguping.

"Persetan sama akreditasi, kalau lo ditindas, lawan!" Roberto mendekat ke arahku, matanya melotot penuh emosi, lalu berteriak lagi, "LAWAN!"

"Heh, botol!" Lena mendorong tubuh Roberto agar menjauh dariku. "Lo kira lo teriak-teriak bentak si Anya bakal bikin masalah ini beres? Lo kira si Anya diem aja selama ini? Enggak, bodoh! Dia lawan sampe jadi korban juga! Anjing kau, ya, gak tau apa-apa maen labrak. Bikin ribut di kelas orang aja lo! Si Anya ini udah jadi korban, mau lo salah-salahin juga cuma karna gak bikin perlawanan yang keliatan mata lo?"

"Len, udah, gak apa-apa." Kutarik lengan Lena agar mundur. "Rob, kita bahas lagi nanti sama yang lain. Buat sekarang cukup dulu. Jangan sampe bikin rame di jam kuliah."

Roberto menatapku sinis, lalu beralih menatap Lena, agak lama.

"Suruh temen lo buat lawan!" katanya pada Lena sebelum beranjak pergi.

"Bapak lo gue suruh lawan!" balas Lena sengit.

Mereka yang bergerumul di ambang pintu menyingkir—memberi jalan untuk Roberto. Kami memang tidak sekelas di mata kuliah ini. Cowok itu melenggang pergi sambil membentak siapa saja yang menurutnya menimbulkan kerumunan.

Kerumunan di selasar pun terurai, aktivitas di sana kembali berjalan sebagaimana mestinya setelah membeku akibat perdebatan Roberto dan Lena tadi. Rahma yang baru saja memasuki ruangan, dan sepertinya terjebak di antara kerumunan tadi, memutuskan untuk menutup pintu kelas.

Sebelum pintu tertutup, aku melihat Farrel. Dengan jelas, ia berdiri di ambang pintu, mengintip ke dalam ruang kelas.

***

"Nya, udah nyarap belum? Kita ke rumah Bulet, yuk!"

Aku menggeleng menyahuti ajakan Rahma. "Gue udah makan, kalian aja."

Bukan hanya Rahma, Lena dan Zafi yang juga menungguku merapikan meja seketika menunduk lesu. Bahu mereka melorot, tampak jelas kekecewaan dari garis wajahnya.

"Gue mau jengukin Dito. Keluarganya masih gak bisa dihubungi, kasian dia di ICU sendirian."

Hanya itu yang dapat kujadikan alibi. Sejujurnya, aku takut mereka terkena "getah" dari apa yang kulakukan sekarang, atau mereka justru yang menjadi target pelaku selanjutnya.

Tidak, tidak. Lebih baik mereka menjauh dariku untuk sebentar. Jangan sampai mereka juga merasakannya.

"Emang dia belum sadar?" tanya Lena. "Ini udah tiga hari, lho, njir."

"Udah sadar, cuma masih jauh dari kata baik. Lukanya dalem, pembuluh darah sama beberapa sarafnya putus. Dia juga ada penyakit lain, jadi pemulihannya agak lama," sahutku sekenanya. "Gue duluan, ya."

Gegas aku meninggalkan mereka di ruang kelas dengan berjalan cepat. Aneh rasanya aku harus menghindar di saat ketakutan begini, tetapi sepertinya tak ada pilihan lain.

Pandanganku yang tertunduk lantas bertemu dengan sepasang sepatu putih yang menghadang jalan. Saat kumendongak, rupanya pemilik sepatu putih itu adalah Farrel. Sosok yang tadi pagi juga terlihat di sekitar ruang kelas.

"Lo di sini abis ikut kuliah tiga SKS?"

"Iya, dong. Matkul Bu Sukma, kan?" balasnya santai.

Ia benar-benar membuatku membuang napas panjang. "Lo di sini nungguin gue atau apa?"

"Emang gak boleh nungguin lo?"

"Gak boleh." Aku membalas dengan sinis mengikuti gayanya. "Fokus aja sama kuliah lo sendiri, Farrel. Mending jaga IPK lo, biar bokap lo bangga."

"Udah terjaga kuliah gue mah, makanya gue ke sini. Lagian gue gak ngusik lo, kan? Gue cuma mantau dari jauh. Lo hidup aja kayak biasa, anggap gue gak ada."

Lihatlah, betapa mudahnya pemuda ini bicara. Gayanya seperti abang-abang yang baru berhasil menamatkan satu buku filsafat.

"Tuh, kan. Lo kalau sinis begitu kayak ibu-ibu gosip, tau! Udah sono, gabung sama temen-temen lo! Ngapain sendirian, sih?"

"Kok jadi lo yang ngusir, sih?!" bentakku pelan, mencoba tidak menarik perhatian. "Denger. Banyak orang yang tau kita saling kenal, jadi gak usah bertingkah kalau gak mau munculin skandal baru."

"Ya makanya, lo jalan duluan sana." Ia memutar badanku, mendorongnya pelan agar aku pergi. "Udah sono jalan, biar gue jagain dari belakang. Gue gak mau nyesel lagi pernah ninggalin lo soalnya."

Huek. Sialan. Harusnya aku tahu, bicara dengan Farrel selalu berakhir menyebalkan.

🌻🌻🌻

Re-calledNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ