Part 31

6K 241 27
                                    

tinggalkan vote, komentar dan follow jika berkenan sebagai apresiasi, terimakasih.

Senja, menurutnya adalah hal paling indah di bumi. Kehadirannya hanya sekali setiap hari, dan senja memang seindah itu.

Dari tempatnya duduk, terlihat jelas suasana kota yang kini sudah tak lagi asing baginya. Penghalang antara dirinya dan dunia luar saat ini hanya sebuah benda transparan yang terbingkai cantik. Dari tempatnya duduk, terlihat manusia berlalu lalang di bawah sana, mobil-mobil pun terlihat begitu kecil dari sini.

Genggamannya pada sebuah ponsel di pangkuan mengerat seiring kepalanya menunduk menatap benda itu. Tanpa sadar, setitik air jatuh dari matanya membasahi layar menyala yang menampilkan memori bahagianya, dulu.

Sama halnya hari ini, memori bahagia itu ditangkap ketika bulan bersiap menggantikan tugas matahari menemani bumi. Baginya, tak ada yang lebih membahagiakan dibandingkan memiliki sahabat yang benar-benar menerima apa adanya dia.

Di saat orang-orang disekitarnya mencibir dan menjauhinya, mereka merangkul, melontarkan lelucon membuatnya tertawa. Pukulan-pukulan ringan pun didapatnya saat mereka tertawa terbahak-bahak. Dia menggerutu, membalas pukulan itu seolah dia tidak menyukainya. Padahal, jauh dalam lubuk hatinya dia berterima kasih pada Tuhan, mengucap beribu syukur karena telah mengirimkan manusia yang membuatnya tertawa, di samping fakta bahwa Tuhan tidak memberikan banyak waktu untuknya tinggal lebih lama di dunia.

Jemari ringkihnya bergerak meraih pena yang terletak di atas nakas, beserta sebuah buku. Jemarinya bergerak lemah, menghadirkan coretan-coretan berisi ungkapan hatinya.

Tuhan tau, hatinya tengah gundah bukan main, tapi Tuhan yang menghadirkan gundah itu, membuatnya sadar, dan juga bersyukur atas hal luar biasa yang dimilikinya selama ini.

Setetes, dua tetes, tiga tetes, air berjatuhan membasahi kertas di pangkuannya. Isakan pedih keluar dari mulutnya mengisi sunyi ruang rawat luas ini yang hanya berisi dirinya sendiri. Dia memang meminta orangtuanya memberikan waktu sendiri. Hatinya takkan lagi sanggup membiarkan orang tuanya melihat sisi paling rapuh dalam dirinya.

Selama ini, dia berusaha kuat, berusaha tegar, berusaha mati-matian untuk menyembunyikan tangis ketika ia telah lelah. Setidaknya dia tidak menambah tangis di mata ibunya.

Tapi disaat seperti ini, disaat dia sendiri, dia tak perlu lagi menutupi sisi paling rapuh yang ada dalam dirinya. Sekarang, hanya ada dia dan tuhan.

Bibirnya bergetar tak kuasa menahan sesak yang terasa meremas jantungnya, denyutan mulai terasa di kepalanya. Namun sedetik kemudian, sebuah senyum tulus terbit. Ia rasa, kertas ini sudah cukup untuk menyampaikan salam pada dua sahabatnya.

Sebuah salam perpisahan.

***

Zhivanna terbangun, dahinya berkerut menyesuaikan cahaya yang masuk pada indera penglihatannya. Ruangan gelap ini hanya disinari cahaya yang berasal dari sebuah jendela di sebelah kanan ruangan. Tempat yang sangat asing bagi Zhivanna.

Kesadarannya sedikit demi sedikit mulai terkumpul merasakan ada sesuatu yang menutupi mulutnya, Zhivanna mencoba bangkit dari terlentang namun sesuatu menahannya, membuatnya sadar bahwa lengan dan kakinya terikat padan tangan dan kaki ranjang. Seketika kepanikan menyergap Zhivanna, mencoba sekuat tenaga menggerak-gerakkan lengan dan kakinya namun semua sia-sia.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 14, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Possessive MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang